Mongabay.co.id

Keuntungan Ekonomi Hilirisasi Nikel Terlibas Dampak Negatif

Kawasan PT WIP di Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Keuntungan ekonomi dengan hilirisasi nikel berkurang dalam delapan tahun dan rusak oleh dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, lingkungan, sektor perikanan,  dan pertanian.

“Meskipun diklaim terdapat masa depan yang menjanjikan dan peluang sangat besar bagi negara yang bisa didapat dari industri nikel ini, dampaknya terhadap masyarakat sekitar, terutama kesehatan dan sumber mata pencaharian, menempatkan mereka pada risiko yang besar,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif CELIOS, saat peluncuran studi bersama dua lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) baru-baru ini.

Studi ini fokus pada dampak perkembangan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Bhima mengatakan,  kehadiran industri pengolahan nikel membawa dampak ekonomi yang perlu dilihat secara komprehensif. Satu sisi, katanya, industri ini mampu mendongkrak laju ekspor khusus produk feronikel dan nickel pig iron.  Namun, penghitungan dampak ekonomi, perlu melihat berbagai aspek termasuk keberlangsungan PLTU dan standar industri nikel yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Dalam skenario kondisi saat ini atau business as usual (BAU) riset ini menemukan operasi industri pengolahan nikel di tiga provinsi ini menghasilkan nilai tambah (produk domestik bruto) positif US$4 miliar atau sekitar Rp62,8 triliun pada tahun ke lima atau tahap konstruksi.

“Kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatif terhadap total output perekonomian. ‘

Bhima mengatakan, degradasi lingkungan mengakibatkan penurunan manfaat ekonomi secara bertahap terutama setelah tahun ke delapan. Indikator negatif muncul pada tahun ke sembilan. Proyeksi ini,  juga berlaku baik di tingkat nasional maupun regional.

Hal lain yang menjadi sorotan riset ini, kegiatan industri pengolahan nikel punya dampak kecil terhadap pengurangan angka ketimpangan antar wilayah.

Skenario lain yang digunakan yakni dengan menambah energi terbarukan untuk menggantikan PLTU dan pengendalian polusi udara (air pollution control/APC) untuk mitigasi dampak buruk dari emisi gas buang.

“Analisis kami menunjukkan, dampak ekologi dan biaya kesehatan para pekerja dan masyarakat lokal tidak dapat dimitigasi sepenuhnya,” kata Bhima.

Dia mengatakan, mitos tentang proyek industri nikel mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah juga terbantahkan oleh sudi ini.

Total akumulasi upah pekerja di berbagai sektor yang dihasilkan selama 15 tahun US$14,71 miliar (Rp228 triliun). Dalam skenario BAU proyeksi upah pekerja dalam jangka panjang cenderung turun karena pendapatan pekerja cukup terdampak oleh aktivitas industri pengolahan nikel. Pekerja yang menghadapi penurunan produktivitas akibat pencemaran udara ikut mempengaruhi pendapatan yang diterima.

Industri ini juga membawa dampak negatif untuk sektor pertanian dan perikanan di tiga provinsi ini dengan menghasilkan kerugian lebih dari US$387,10 juta atau Rp6 triliun untuk kedua sektor. Dengan kata lain, petani dan nelayan kehilangan pendapatan US$234,84 juta atau Rp3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan.

Sisi lain sebaran emisi dari industri logam di Indonesia berubah drastis sejak hilirisasi nikel dimulai. Ia ditandai pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020.

Dengan pesatnya perkembangan industri nikel yang pengolahannya berbasis batubara, Pulau Sulawesi dan Maluku menjadi titik utama sumber emisi.

 

 

Nelayan berjalan di atas cemaran lumpur yang menutupi permukaan pasir laut saat surut. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Hampir 80% total emisi di tiga provinsi dari evaluasi CREA berasal dari proses pengolahan nikel. Sisanya dari PLTU captive yang beroperasi untuk memenuhi kebutuhan listrik ke unit-unit smelter nikel.

“Pertumbuhan industri nikel yang pesat, jika tidak diatur akan menyebabkan lebihd ari 3.800 kematian pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030,” kata Katherine Hasan, analis CREA.

Emisi dari smelter dan PLTU captive di tiga provinsi yang diteliti diperkirakan memberikan dampak beban ekonomi tahunan US$2,63 miliar atau Rp40,7 triliun pada 2025. Tanpa intervensi berarti untuk mitigasi emisi, beban ini diperkirakan meningkat lebih 30% atau US$3,42 milar (Rp53 triliun) pada 2030.

“Masyarakat yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah akan menanggung dampak kerugian ekonomi dan kesehatan paling parah akibat paparan udara beracun dalam waktu lama,” ujar Katherine.

Dia contohkan, PT Obsidian Stainless Steel dengan kapasitas produksi tahunan 2,2 juta ton feronikel dan 3 juta ton baja tahan karat, diperkirakan menyebabkan lebih dari 1.000 kematian setiap tahun dan menempati posisi teratas.

Perusahaan lain yang masuk dalam lima besar yakni PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, PT Alchemist Metal Industry, PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Gunbuster Nickel Insdutry diperkirakan menyebabkan antara 300 dan 500 kematian setiap tahun.

“Tanpa pengendali pencemaran udara yang tepat, 1,2 juta penduduk akan terpapar NO2 dan SO2 dengan konsentrasi yang melebihi ambang batas harian,” tambah Lauri Myllivirta,  analis utama CREA.

 

Kawasan industri nikel di Halmahera. Foto: dari video CRI

 

Dengan menggunakan APC, katanya, lebih 3.500 kematian terkait emisi dan pengolahan dan 250 kematian terkait dengan emisi dari PLTU dapat dihindari pada 2030.

Kalau semua pusat pengolahan nikel di tiga provinsi ini menerapkan standar kualitas udara ketat, ada 55.600 kematian dan kerugian US$38,2 miliar (Rp592 triliun) dapat dihindari pada 2060. Hal ini, karena analisis menunjukkan tingkat deposisi merkuri dapat mencapai 2,5 kali lipat dari ambang batas aman yaitu 125 mg/ha per tahun dengan kontaminasi tinggi pada kawasan perairan.

Endapan partikel beracun dapat mencapai 80kh/ha per tahun di daerah sekitar pusat pengolahan yang menyiratkan risiko dampak negatif ekologi dan biologis tinggi.

Kondisi ini, katanya, mengancam keanekaragaman kelautan dan hutan di Indonesia khusus di Sulawesi dan Maluku. Mereka terancam terkontaminasi partikel logam berat dari PLTU dan pusat pengolahan.

Beberapa kawasan lindung yang bisa terdampak yakni Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Taman Hutan Raya Murhum/Nipa-Nipa, Taman Laut Pulau Tokobae, dan Taman Laut Teluk Lasolo.

Untuk itu,  mereka meminta pemerintah merevisi peraturan terkait pembangunan PLTU di kawasan industri dan segera memasukkan rencana pensiun dini PLTU captive dalam kesepakatan JETP dan rencana ketenagalistrikan. Pemerintah juga perlu membatasi izin smelter baru di kawasan industri dan menata ulang seluruh standar terkait pengelolaan limbah, pengendalian emisi gas buang dan keselamatan kerja.

Selain itu, pemerintah juga bisa meningkatkan kontribusi berupa royalti dan dana bagi hasil dari aktivitas smelter maupun pertambangan nikel kepada daerah.

“Masyarakat perlu dilibatkan aktif melalui diskusi publik yang rutin dan membangun transparansi dan akuntabilitas data emisi dan izin lingkungan termasuk hasil pemantauan dan evaluasi.”

 

Perairan di Halmahera kala ada kawasan industri nikel. Foto: dari video CRI

 

Juga perlu memperkuat tata kelola dengan melibatkan pemerintah daerah secara bermakna. Kemudian, menyiapkan peta jalan dan kebijakan teknis diversifikasi ekonomi lokal ke sektor non ekstraktif.

Untuk menstabilkan harga jual industri nikel, katanya,  Indonesia perlu mendiversifikasi pasar olahan dengan komoditas nikel berstandar tinggi.

“Secara konsisten perlu mengembangkan rantai pasok nikel dalam negeri yang terintegrasi untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan dan transportasi listrik secara nasional,” kata Lauri.

Bhima menambahkan, alih-alih fokus pada industri pertambangan dan pengolahan nikel, insentif fiskal perlu reformasi dengan memprioritaskan industri daur ulang baterai yang dapat mendukung efisiensi penggunaan nikel dan membantu mengamankan ketersediaan cadangan nikel di Indonesia dalam jangka panjang.

“Nikel yang bersih adalah nikel yang tidak pernah ditambang,” katanya.

Andi Yulianti,  Plt Asisten Deputi Industri Kemenko Maritim dan Investasi, mengatakan,  hlilirisasi nikel perlu untuk menurunkan emisi dan mencapai target transisi energi.

“Dengan hilirisasi kandungan nikel bisa mendapat nilai tambah sampai enam kali lipat,” katanya.

Meski demikian, pemerintah tidak memungkiri dampak hilirisasi. Namun dia meyakinkan, pemerintah tidak akan membiarkan industri merusak “diri kita sendiri apalagi masyarakat.” Industri ini, katanya, berdiri dengan tahapan perizinan termasuk izin lingkungan.

Paul Butar Butar dari Sekretariat JETP mengatakan,  sekretariat JETP memang sebelumnya mengeluarkan PLTU captive dari dokumen The Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) karena tidak ada data andal mengenai PLTU di kawasan industri ini. CIPP kemudian memasukkan pembangunan jaringan antar pulau agar pengiriman energi berbasis energi terbarukan dapat menjangkau pelanggan yang jauh dari sumber energi.

Sekretariat JETP juga membentuk working group yang akan fokus pada efisiensi energi dan elektrifikasi, salah satunya akan memperbaharui bahasan mengenai PLTU captive.

 

Kondisi air laut di Pulau Garaga, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan yang tercemar aktivitas tambang. Foto : DKP Halmahera Selatan

 

******

 

Catatan Akhir Tahun: Karut Marut Hilirisasi Nikel, Persulit Hidup Masyarakat, Lingkungan Makin Sakit

Exit mobile version