- Penambangan dan pengolahan bijih nikel ini terus mengorbankan ruang hidup warga dan mencemari lingkungan dari Kepulauan Sulawesi hingga di Halmahera, Maluku Utara. Kasus terbaru, pencemaran di perairan Maba, Halmahera Timur, dan Sungai Sagea di Halmahera Tengah, tepat pada hari Natal, 25 Desember lalu.
- Alfarhat Kasman, Pengkampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, proyek hilirisasi nikel selama ini memicu perluasan perampasan ruang produksi-konsumsi warga. Mulai dari lahan-lahan pertanian, wilayah tangkap nelayan, hingga mencemari air, air laut, merusak ekosistem kawasan hutan, dan berdampak pada terganggunya kesehatan warga.
- Moh. Taufik, Koordinator Jatam Sulawesi Tengah, mengatakan, hilirisasi nikel sebetulnya juga menjadi pemicu meningkatnya kemiskinan bagi warga di tapak operasi penambangan nikel. Di Morowali, misal, ratusan hektar persawahan terdampak lumpur hingga hasil panen masyarakat menurun drastis.
- Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara mengatakan, pertambangan nikel saat ini menjadi salah satu penyebab deforestasi terbesar menyusul pertambangan batubara dan sawit. Angka deforestasinya lebih dari 200.000 hektar jelang akhir 2023.
Tutupan-tutupan hutan di hulu atau gunung dan perbukitan hilang berganti galian tanah berwarna oranye kecoklatan. Air di aliran sungai yang membelah hutan hingga ke pesisir dan lautan pun berubah warga oranye kecoklatan terkena limbah ore nikel (nikel mentah) dari kerokan tanah di hulu tadi.
Kondisi seperti ini bak jadi pemandangan sehari-hari di daerah yang ada pertambangan nikel bahkan lengkap dengan pabrik-pabrik pengolahannya.
Penambangan dan pengolahan bijih nikel ini terus mengorbankan ruang hidup warga dan mencemari lingkungan dari Kepulauan Sulawesi hingga di Halmahera, Maluku Utara. Kasus terbaru, pencemaran di perairan Maba, Halmahera Timur, dan Sungai Sagea di Halmahera Tengah, tepat pada hari Natal, 25 Desember lalu.
Beberapa hari lalu, tungku smelter nikel PT Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di Morowali, Sulawesi, meledak dan menewaskan belasan pekerja, tercatat sudah ada 19 pekerja meninggal hingga 27 Desember lalu. Kawasan industri nikel itu juga sebelumnya mengubah bentang alam dan mencemari perairan laut di Sulawesi.
Pencemaran ruang laut, sumber air, hingga peristiwa mengenaskan di dua wilayah timur Indonesia pada penghujung akhir 2023 ini hanyalah secuplik dari masalah besar di sentra proyek hilirisasi nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Proyek hilirisasi nikel selama ini memicu perluasan perampasan ruang produksi-konsumsi warga. Mulai dari lahan-lahan pertanian, wilayah tangkap nelayan, hingga mencemari air, air laut, merusak ekosistem kawasan hutan, dan berdampak pada terganggunya kesehatan warga,” kata Alfarhat Kasman, Pengkampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Dalam praktiknya, program hilirisasi itu juga memicu masifnya kekerasan dan intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidup.
Baca juga: Masyarakat Protes, Was-was Tambang Nikel Hancurkan Gunung Wato-wato
Jatam mencatat, warga di Pulau Obi, Halmahera Selatan, harus kehilangan lahan karena jadi lahan industri tambang nikel Harita Group. Sumber air, sungai, dan laut tercemar sedimentasi ore nikel. Warga juga dipindah-paksa ke kawasan pemukiman baru (eco-village), satu warga masuk penjara karena mempertahankan tanah.
Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, PT Gema Kreasi Perdana–tak lain anak usaha Harita Group–warga yang mempertahankan ruang hidup justru mengalami kekerasan, intimidasi, sampai 35 orang dikriminalisasi. Operasi tambang di pulau kecil Wawonii juga mencemari sumber air warga, yang memicu munculnya penyakit gatal-gatal, hingga air laut keruh-kecoklatan akibat limbah tambang.
Kedua pulau itu, kata Alfarhat, mesti menanggung risiko lingkungan dan kemanusiaan serius. Sementara, di wilayah daratan dan perairan Kepulauan Halmahera dan Sulawesi juga alami kebangkrutan ekologis secara masif.
Rencana penambangan nikel di Gunung Wato oleh PT Priven Lestari, mengancam sumber air bagi hampir 20.000 warga di Kecamatan Maba, Halmahera Timur.
Padahal, katanya, sumber air ini andalam warga Subaim, Kecamatan Wasile, merupakan salah satu lumbung pangan (padi) terpenting di Maluku Utara.
Di Halmahera Timur, tempat dimana PT Aneka Tambang (Antam) beroperasi. Perusahaan pelat merah ini disebut mengokupasi daratan, mencemari pesisir dan laut, serta memporak-porandakan pulau kecil, seperti Pulau Gee dan Pulau Pakar.
Sementara, wilayah sentra hilirisasi nikel di Halmahera Tengah juga tak luput dari krisis. Operasi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) disebut menjadi “zona pengorbanan”.
“Dimana pembongkaran nikel, operasi pabrik smelter, dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara meninggalkan kerusakan, kehilangan, dan mewariskan penyakit yang sulit dipulihkan, serta melenyapkan hak veto rakyat.”
Di Sulawesi, operasi PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan ratusan pertambangan nikel juga dinilai berjalan ugal-ugalan. Aktivitas industri ekstraktif ini berdampak serius pada alih fungsi lahan skala besar, termasuk mencemari perairan dan merusak kawasan hutan, hingga berdampak pada terganggunya kesehatan warga.
“Ironisnya, dampak eksternalitas dari hilirisasi itu, tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, [dan] semua dibebankan kepada warga. Padahal, daya rusak itu pada akhirnya juga berdampak pada terganggunya income, daya beli, dan menjadi sumber kemiskinan,” kata Alfarhat.
Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar
Memiskinkan warga
Moh. Taufik, Koordinator Jatam Sulawesi Tengah, mengatakan, hilirisasi nikel sebetulnya juga menjadi pemicu meningkatnya kemiskinan bagi warga di tapak operasi penambangan nikel.
Di Morowali, misal, ratusan hektar persawahan terdampak lumpur hingga hasil panen masyarakat menurun drastis.
Selain sumber air bersih dan areal pertanian, Taufik bilang, limpasan ore nikel juga mencemari tambak-tambak ikan, hingga budidaya rumput laut warga.
Ruang-ruang hidup warga seperti pertanian dan perairan laut yang tercemar, justru menyebabkan masyarakat yang tidak bisa bekerja di industri tambang nikel kehilangan mata pencaharian.
Kalau melihat data badan pusat statistik (BPS), kata Taufik, angka kemiskinan di wilayah pusat pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara justru tinggi—kendati pertumbuhan ekonomi di wilayah sama juga tinggi.
Secara detail, merujuk laporan Kompas, kemiskinan tercatat naik paling tinggi di sentra penghasil dan pengolah nikel terbesar di Sulawesi, yaitu, Sulawesi Tenggara dengan angka kemiskinan naik 0,16% poin dari 11,27% pada September 2022 jadi 11,43 persen pada Maret 2023.
Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua ada di Sulawesi Tengah, yang naik 0,11% poin dari 12,30% menjadi 12,41%. Sulawesi Selatan, juga wilayah penghasil nikel, mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04% poin dari 8,66% menjadi 8,70% .
Kemiskinan juga terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel di Maluku Utara. Per Maret 2023, kemiskinan wilayah yang dahulu dikenal dengan kepulauan rempah-rempah ini naik 0,09% poin dari 6,37% pada September 2022 menjadi 6,46%.
Naiknya angka kemiskinan disebut kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah ini setelah hilirisasi nikel.
Dari kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) terkait dampak lingkungan hidup dan sosial di Halmahera, Maluku Utara, Morowali dan Morowali Utara, juga menunjukkan, industri nikel tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat di wilayah tapak.
Dari kegiatan ekonomi industri nikel di Morowali, katanya, hanya 4,35% dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang tinggal atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Sekitar 95% lainnya ke luar. Di Morowali Utara, hanya 15% nilai PDRB dirasakan masyarakat. Sedangkan, 84% keluar.
“Ini yang membuat angka kemiskinan di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka kemiskinan kabupaten di Sulawesi Tengah,” kata Pius Ginting, Koordinator AEER beberapa waktu lalu.
Dia bilang, masyarakat di area industri nikel harus mengeluarkan biaya lebih tinggi. Ongkos hidup bertambah. Sungai yang tidak sehat memaksa warga membeli air bersih. Juga angka penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut yang tergolong tinggi menambah biaya kesehatan.
Menurut Taufik, kesehatan masyarakat di wilayah industri nikel sangat terancam. Penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara menjadi penyebab angka penyakit di wilayah kawasan industri makin tinggi.
“Hingga hilirisasi yang dibangga-banggakan ini sebenarnya tidak melihat fakta di lapangan, bahwa ada yang penting kita evaluasi dari hilirisasi. Ternyata [hilirisasi nikel] justru hanya menimbulkan masalah baru,” kata Taufik.
Baca juga: Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]
Deforestasi
Selain merampas ruang hidup, pertambangan dan smelter nikel juga berpotensi mengancam kelestarian hutan alam dan keanekaragaman hayati. Masifnya ekspansi besar-besaran industri ekstraktif ini, terutama untuk kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik disebut menjadi penyebab deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara mengatakan, pertambangan nikel saat ini menjadi salah satu penyebab deforestasi terbesar menyusul pertambangan batubara dan sawit. Angka deforestasinya lebih dari 200.000 hektar jelang akhir 2023.
Menurut dia, angka deforestasi ini bisa berubah karena tahun masih berjalan–meski tersisa beberapa hari—hingga ada kemungkinan terjadinya perubahan data, seperti deforestasi meluas.
Eskalasi deforestasi dari nikel ini, kata Timer, mayoritas terjadi pada era Presiden Joko Widodo.
Dari analisis Auriga, menemukan setidaknya pada rentang delapan tahun (2015-2022) Jokowi berkuasa, tercatat luas deforestasi mencapai 125.988 hektar mencakup 64% total deforestasi nikel sejak 2000-2022 seluas 195.963 hektar.
Dari analisis data Auriga, penerbitan izin tambang nikel di Indonesia pada medio 2000-2022 terlihat fluktuatif namun eskalasi deforestasi terus meningkat. Tercatat, pada rentang 2000-1010, terdapat satu izin tambang nikel, terekam deforestasi seluas 10.681 hektar.
Angka penerbitan izin baru terjadi sejak 2011. Misal, pada 2011-2016, terdapat 521 izin tambang nikel seluas 2,16 juta hektar. Angka itu menyusut setengah pada 2022, terdapat 260 izin tambang seluas 779.000 hektar.
Pada 10 tahun terakhir, 2011-2022, deforestasi mencapai 185.281 hektar. Jadi total deforestasi selama 22 tahun terakhir sejak 2000-2022 seluas 195.963 hektar.
Deforestasi ini terjadi di berbagai wilayah penambangan nikel, antara lain dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Papua.
Timer mengatakan, deforestasi yang meningkat di masa pemerintahan Jokowi karena pembangunan pabrik pengolahan atau smelter nikel untuk baterai kendaraan listrik digenjot.
Proyek hilirisasi nikel yang digaungkan ramah lingkungan ini bagi Timer merupakan salah kaprah. Proyek andalan presiden dua periode ini, katanya, dibangun tanpa ada kejelasan hingga memicu berbagai macam masalah dari hulu hingga hilir.
“Hingga yang terjadi over eksploitasi atau eksploitasi yang tidak berencana,” katanya.
Timer bilang, penambangan dan pengolahan bijih nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, bukan hanya berdampak pada deforestasi, juga merampas ruang hidup warga dan mengancam keanekaragaman hayati.
Bagi Timer, hilirisasi salah kaprah ini telah mengancam ruang perikanan dan pertanian di Maluku Utara. Misal di Weda, Halmahera Tengah, dan Pulau Obi, di Halmahera Selatan, lahan pertanian dan ruang laut dicemari industri nikel untuk proses bahan baku baterai.
Sementara keanekaragaman hayati, kata Timer, juga terdampak cukup serius. Masih banyak spesies yang belum diketahui di wilayah yang telah dibongkar hutan alamnya karena tidak banyak riset terkait, misal, di kawasan industri PT IWIP di Weda yang punya satwa endemik.
“Itu banyak spesies lain yang belum kita ketahui,” katanya.
Dia khawatir, satwa yang belum diketahui ini akan punah begitu saja karena pembongkaran hutan. “Biodiversitas itu paling rentan, tidak bisa membela diri.”
Ancam masyarakat adat
Praktik pertambangan nikel sejak dahulu, kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selalu berhadap-hadapan dengan wilayah adat yang jadi ruang hidup masyarakat adat.
Pemerintah selalu membuat pengecualian bersyarat terhadap wilayah-wilayah adat dan diperuntukan pertambangan skala besar. Wilayah adat dianggap negara dan korporasi tambang sebagai tanah tak bertuan.
Kasus Suku O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam di hutan Halmahera, misal, diusir paksa dan terancam ruang hidupnya karena pembukaan lahan skala besar oleh industri tambang PT Weda Bay Nickel (WBN)–di bawah PT IWIP, karena dianggap kawasan tempat suku penjaga hutan ini bukan pemilik ulayat.
Masalah lahan adat Padoe di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, juga terancam karena diterobos PT Vale Indonesia–sebuah perusahaan tambang nikel yang menguasai sebagian wilayah Sulawesi.
Setelah wilayah adat rusak, mereka diiming-imingi pekerjaan berbasis ekonomi uang tambang. Padahal, masyarakat adat, kata Arman, bukan tidak punya pekerjaan. Mereka sudah punya pekerjaan sejak dulu, sebagai petani, sebagai pemburu-peramu, dan lain-lain di wilayah adat.
“Hal paling mendasar yang tidak selesai sampai hari ini adalah bagaimana memastikan proses-proses bisnis yang masuk ke dalam wilayah adat itu menghormati, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat adat,” katanya.
Masyarakat adat dan wilayahnya, kata Arman, sekadar jadi jargon politik, namun dalam praktik justru dikangkangi dengan proyek atau program-program yang merusak dan mengancam masyarakat adat.
“Pemerintahan Jokowi itu meninggalkan jejak buruk terhadap praktik-praktik yang baik selama ini menjaga ruang hidupnya, kemudian melanjutkan proses penghancuran budaya lewat proyek-proyek strategis nasional, salah satunya hilirisasi nikel.”
Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti di Sajogyo Institut, mengatakan, selama ini proyek hilirisasi nikel tak menjawab masalah struktural yang dihadapi masyarakat. Justru sebaliknya, keuntungan dari rantai pasok nikel mengalir kepada segelintir oligarki dan membuka pintu korupsi.
Menurut Eko, proyek ambisius pemerintahan Jokowi ini telah menciptakan eksplorasi dan ekspansi brutal ke wilayah-wilayah konservasi, kawasan hutan, wilayah adat, sungai dan karst Bokimaruru di Sagea, Gunung Wato Wato di Halmahera Timur, hingga pengusiran terhadap suku Tobelo Dalam, di hutan Halmahera.
“Tidak ada contoh baik bagaimana pertambangan nikel itu hormat ekologi dan hormat hak asasi manusia, atau hormat masyarakat adat, masyarakat lokal, nelayan, petani, perempuan, dan kelompok rentan di sekitar tambang? Kan tidak ada. Justru makin brutal,” ujar Eko.
Baginya, industri nikel sebagai salah satu bahan baku untuk produksi baterai kendaraan listrik tampak berjalan brutal dan kejam. Dia sampai mengistilahkan bahwa kondisi yang dihadapi masyarakat, terutama Masyarakat Adat Tobelo Dalam dengan perusahaan tambang nikel di Halmahera adalah etnogenisoda.
“Mereka [Tobelo Dalam] juga sama akibatnya itu akan musnah. Sekarang [kondisinya] makin hari makin terancam punah. Secara subtantif, itu sama saja dengan etnogenosida masyarakat adat. Kenapa? Karena hidupnya hanya dari hutan, situ rumahnya, terus pelan-pelan miskin, sumber airnya hilang, obat-obatannya hilang, terus tersingkir,” kata Eko.
“Setelah tersingkir, kalau nggak ditolong, kemudian nggak punya keturunan. Artinya musnah. Bisa dong kita sebut sama dengan etnogenosida.”
Akahkah ada perbaikan?
Lantas bagaimana dengan pemerintahan setelah Jokowi? Tampaknya proyek hilirisasi nikel pemerintahan Jokowi yang dinilai bermasalah ini akan lanjut pemerintahan berikutnya. Terlihat dari sikap ketiga bakal calon presiden dan wakil calon presiden dalam debat beberapa waktu lalu.
Bagi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, calon presiden dan wakil presiden, proyek andalan Presiden Jokowi itu mesti lanjut. Gibran, tak lain anak kandung Jokowi, misal, tegas mengatakan hilirisasi sebagai solusi konkret.
Hilirisasi bahan mentah tambang juga menjadi bagian dari dua agenda pasangan capres-cawapres lain, Ganjar-Mahfud dan Anies-Amien.
Pasangan Ganjar-Mahfud, misal, bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai pemain nikel raksasa dunia. Capres Ganjar bahkan mendorong hilirisasi tidak sebatas pada komoditas nikel, juga perluas ke sektor lain.
Sementara, pasangan Anies-Muhaimin juga mendukung program hilirisasi ini. Menurut Anies, hilirisasi harus didorong dengan re-industrialisasi hingga akan tercipta 15 juta lapangan pekerjaan dalam lima tahun kedepan.
Bagi Alfarhat, tiga pasangan capres-cawapres itu tampak menjadikan agenda hilirisasi sebatas mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mendalami siapa sesungguhnya pihak yang meraup keuntungan.
Basis data Jatam menyebut, hilirisasi nikel selama ini justru menguntungkan Tiongkok. Mengingat perusahaan yang melakukan hilirisasi kebanyakan dari Tiongkok, hingga keuntungannya justru lebih banyak lari ke negara tirai bambu itu.
“Selain itu, perusahaan-perusahaan yang mengolah nikel (smelter) juga banyak mendapatkan insentif, salah satunya melalui tax holiday atau insentif pembebasan pembayaran pajak.”
Timer pesimis berharap pada tiga capres-cawapres ini. Menurut dia, di balik capres-cawapres ini ada oligarki yang menyokong berjalannya pemilu. Orang-orang yang berada di sekitaran ketiga kandidat kebanyakan pemain bisnis di sektor tambang nikel.
“Saya tidak teryakinkan, mereka punya program melindungi lingkungan. Menurut saya, siapapun diantara mereka [yang menang jadi presiden], akan melanjutkan perusakan yang ada,” kata Timer.
“Hingga yang harus dibangun adalah bagaimana energi untuk meredam daya rusak [yang] mereka [lakukan].”
Operasi pertambangan dan smelter nikel juga disebut sarat praktik korupsi, ditengarai menjadi salah satu biang kerok kemiskinan di wilayah sentra nikel.
“Elit politik dan pengusaha pertambangan memperoleh izin usaha melalui praktik suap, dugaan pemalsuan dokumen, dan kemampuan berjejaringan dengan penyelenggara negera,” kata Alfarhat.
Eko berpendapat, hilirisasi nikel dibalut atas nama nasionalisme bahwa seolah-olah keuntungan dari rantai pasok nikel untuk negara dan rakyat. Faktanya, orientasi proyek ini sekadar melayani pemilik modal besar meraup keuntungan dan oligarki.
“Potret negeri ini kan timpang. Harus kita periksa, sama dengan asumsi infrastruktur, kemudian mobil listrik, itu untuk siapa? Keuntungannya buat siapa? Kalau buat negara, negara yang mana? Jadi sama sekali bukan untuk rakyat,” kata Eko.
Pasca Undang-undang Cipta Kerja—omnibus law, desentralisasi perizinan tambang, termasuk tambang nikel, justru berpotensi korupsi lebih besar.
“Jadi korupsi nggak berkurang, oligarkinya makin kuat.”
Dia juga nilai sangat sulit ada perbaikan tata kelola nikel, terutama hilirisasi.
“Para calon presiden dan wakil presiden selama debat kemarin tidak ada yang membicarakan atau mengoreksi praktik-praktik korupsi di sektor tambang nikel.”
******