- Nelayan di Bahadopi, Morowali, Sulawesi Tengah dalam beberapa tahun ini sudah mulai merasakan sulitnya melaut. Sebelum ada kawasan industri nikel, nelayan tradisional dengan perahu ketinting bisa melaut di perairan dekat sudah bisa memenuhi keperluan keluarga. Kini, tinggal kenangan.
- Air laut di pesisir pantai Bahadopi sudah berubah warga oranye kecoklatan dan terasa lebih hangat. Ikan pun sulit di dapat. Jangankan untuk jual, untuk konsumsi sendiri pun kadang ikan susah didapatkan.
- Sumber air bersih alami warga pun hilang terkena reklamasi. Warga pun mesti beli air galon untuk konsumsi. Debu pun cemari pemukiman.
- Muhammad Taufik, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng , menduga aktivitas IMIP membuang limbah cairan panas ke laut Bahadopi menjadi penyebab masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian. Sebelum industri nikel hadir, sebagian besar masyarakat Dusun Kurisha hidup sebagai nelayan di pesisir laut sekitar.
Asap keluar dari cerobong-cerobong beton smelter nikel dan olahan baja tiada henti dari dalam Kawasan Industri Nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahadopi, Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Dari kejauhan, asap mengangkasa, terbang menyatu dengan kepulan-kepulan awan terbawa hembusan angin dari timur ke barat di pertengahan Mei lalu. Udara panas, gerah.
Kehadiran IMIP mengubah pesisir Bahadopi yang dulu sunyi jadi ramai. Pembangunan menjamur di mana-mana memfasilitasi kebutuhan hidup puluhan ribu karyawan yang datang dan pergi silih berganti.
Daying, nelayan Bajo usia paruh baya dari Desa Fatufiya, tak bisa melaut karena perahu rusak. Lut merupakan sumber penghasilan utama keluarga. Sumber pencarian terus menurun sejak laut berubah warna jadi oranye tercemar lumpur dan cairan limbah panas yang merusak terumbu karang.
“Sekarang setengah mati (dapat) ikan,” ujar Daying.
Siang itu, dia berada di depan rumahnya–bersiap-siap menemui nelayan lain yang sedang tidak jalankan perahu ketinting.
Daying tidak punya solusi untuk pekerjaan, selain meminjam ketinting sebagai jasa ‘ojek’ laut–mengantar jemput ABK kapal-kapal berukuran besar yang berlabuh. Kapal-kapal itu mengangkut segala kebutuhan, bahan baku, hasil olahan nikel dan baja IMIP.
Istrinya, Selviani, jadi buruh harian pada pengepul ikan untuk memenuhi pemintaan satu perusahaan di IMIP, berjarak ratusan meter dari tempat tinggalnya.
Dia sudah tidak sanggup membiayai sekolah kelima anaknya, lantaran biaya hidup terus meningkat dari waktu ke waktu.
Baca juga: Nasib Macaca di Tengah Himpitan Kawasan Industri Nikel Morowali
Selviani menceritakan, pengembangan kawasan industri nikel IMIP menghilangkan akses ruang hidup perempuan pesisir di sini.
“Kalau dulu kan dalam satu hari ada kita dapat Rp500.000. Sekarang, kalau turun ke laut hanya dapat sampai dua kg, hanya untuk makan saja. Syukur kalau ada. Kalau sekarang, tidak ada,” katanya.
Dia bilang, banyak orang tidak mau makan ikan dari perairan sekitar karena isi perut sudah hitam.
Nelayan terpaksa menempuh perjalanan jauh dengan biaya operasional tinggi ke kedalaman laut Banda untuk menangkap ikan. Mereka mengeluhkan sulit mendapatkan ikan di pesisir laut, lantaran jala ikan yang dibentangkan di dalam laut tercemar sedimen lumpur kental.
Bukan hanya terdampak lumpur, pekarangan laut mereka juga dicemari cairan limbah panas yang diduga bersumber dari saluran pembuangan air dari IMIP ke laut sampai ke pesisir Kurisha. Saluran ini dari kejauhan terlihat menyerupai aliran sungai.
“Kalau panas matahari begini, air laut naik, panas di atas panas di bawah. Kita seperti berada di dalam oven.”
Sebagai perempuan yang sangat bergantung dari hasil tangkapan laut, Selviani tidak bisa berbuat apa-apa lagi sejak ada IMIP menggusur dan menimbun hutan bakau tersisa, tidak jauh dari Dusun Kurisha.
Dia bilang, tubuhnya tenggelam setengah badan ke lumpur kalau ke tempat reklamasi hutan bakau itu mencari ikan. “Seperti lumpur hidup.”
Sumber air bersih alami warga pun hilang terkena reklamasi. Warga pun mesti beli air gallon untuk konsumsi. Sekarang, sudah memasuki tahun ke empat bagi Selviani berlangganan air mineral kemasan gallon untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak sehari-hari.
Siang itu, Selviani hanya memasak nasi dan mie instan sebagai lauk pengganti sayur di dapur yang berukuran sempit.
Debu pun cemari pemukiman. Semua perabot dapur yang tidak terpakai, dia bungkus menggunakan kantong plastik agar tidak terpapar debu hitam yang diduga limbah olahan batubara yang berterbangan dari dalam kawasan IMIP di malam hari.
Di salah satu perabot plastik yang tidak sempat tertutuo, menempel debu-debu hitam. Setiap pagi, dia sering mendapati air bersih dalam penyimpanan loyang tanpa penutup, berisi debu-debu kasar membuat air berwarna hitam.
Debu-debu masuk melalui atap seng yang bocor-cocor akibat paparan debu kasar hitam. “Padahal, atap seng itu baru dipasang dua tahun lalu, bantuan dari pemerintah,” kata Selviani.
Dia menunjuk ke kakinya, bekas gatal-gatal diduga terpapar air laut yang tercemar.
Mongabay berupaya mengkonfirmasi IMIP tetapi sampai berita ini terbit tak mendapat tanggapan.
Baca juga: Banjir Bandang di Kawasan Industri Nikel Morowali, Krisis Iklim Makin Mengkhawatirkan
Muhammad Taufik, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng , menduga aktivitas IMIP membuang limbah cairan panas ke laut Bahadopi menjadi penyebab masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian. Sebelum industri nikel hadir, katanya, sebagian besar masyarakat Dusun Kurisha hidup sebagai nelayan di pesisir laut sekitar.
Setelah kawasan industri beroperasi IMIP menyusul konsesi kawasan industri dan izin untuk membuang limbah, termasuk limbah cairan panas ke laut.
“Dugaan kami, hasil pendingin dari PLTU batubara yang dibuang ke laut…,” katanya.
Jatam menemukan, banyak nelayan di Dusun Kurisha tidak bisa lagi menjaring, memancing ikan, dan berburu gurita, seperti dulu dari laut di pekarangan rumah mereka.
Bagi nelayan tersisa terpaksa mengeluarkan biaya operasional dua kali lipat, dengan konsekuensi melaut sampai di tempat jauh–menginap di perarian wilayah lain.
Sebelumnya, Jatam Sulteng bersama Walhi pernah bersurat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengevaluasi atau membatalkan perizinan IMIP terkait pembuangan limbah cairan panas ke laut. Surat itu tidak ditanggapi.
Jatam Sulteng menilai, pemerintah mengabaikan derita masyarakat di sekitar industri nikel yang terdampak pencemaran antara lain polusi debu batubara. Terlebih, melalui produk politik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 Pelaksanaan Undang-undang Cipta Kerja, isinya mengeluarkan limbah fly ash dan bottom ash dari kategori limbah B3.
Sebelumnya dalam PP No 101/2014, menyatakan fly ash dan bottom ash masuk dalam kategori limbah B3. Fly ash dan bottom ash merupakan produk sisa dari pembakaran batubara.
Perubahan itu dinilai fatal karena banyak area dekat kawasan industri menggunakan PLTU untuk memproduksi bahan tambang.
Jatam berangapan pemerintah hanya mengejar untung dari penetapan proyek strategi nasional, namun mengabaikan standarisasi kelayakan wilayah industri di sekitar pemukiman warga.
“Kami belajar dari beberapa kerja-kerja lokasi kita,” seperti yang terjadi di pembangunan PLTU Panau di Kota Palu. Masyarakat sekitar terdampak debu fly ash dan bottom ash, hingga mengalami ISPA dan kanker kelenjar getah bening.
PLTU berkapasitas 350 MW dibangun di kawasan industri nikel IMIP di Morowali, untuk kebutuuhan energi smelter ferronickel dengan kapasitas produksi 380.000 ton pertahun.
“Ini masalah,” kata Taufik.
Awal Juni lalu, kebakaran dan ledakan terjadi di lokasi PLTU itu. Dari peristiwa itu, Walhi Sulteng mendesak pemerintah pusat dan Sulteng hentikan aktivitas PLTU captive di kawasan industri hilirisasi nikel Morowali Utara dan Morowali.
“Ketergantungan terhadap energi kotor batubara adalah pemikiran sesat yang mengancam keselamatan rakyat,” mengutip isi dari desakan Walhi Sulteng.
Sony Tandra, Ketua Komisi III DPRD Sulteng, mengaku belum pernah menerima laporan dari Dinas Lingkungan Hidup Sulteng dan dari masyarakat terkait dugaan aktivitas IMIP mencemari lingkungan sekitar. Sepengetahuan dia, belum ada indikator pencemaran yang melewati batas.
Bila IMIP di kemudian hari terbukti mencemari lingkungan, akan memberikan peringatan. “Kalau (sudah) tiga kali diingatkan bisa di bawa ke proses hukum,” ujar Sony.
Dia mengimbau organisasi perangkat daerah kabupaten maupun provinsi se-Sulteng selalu mengawasi aktivitas industri nikel demi mengantisipasi dampak negatif.
Sony meminta investor yang masuk ke Sulawesi Tengah taat regulasi, dan perundang-undangan hingga dalam beroperasi tidak membuat dampak berlebihan kepada masyarakat.
“Agar masyarakat tidak sakit, atau kehilangan lapangan pekerjaan akibat dampak itu.”
*******