- Gunung Wato-wato, Kecamatan Wasile Subaim, Halmahera Timur, Maluku Utara, menghadapi ancaman atas rencana penambangan nikel, PT Priven Lestari. Perusahaan kini mulai buka jalan menuju lokasi pertambangan. Masyarakat pun protes karena takut tambang nikel menghancurkan ruang hidup mereka.
- Warga sejak lama protes atas kehadiran perusahaan tambang. Gunung Wato-wato ini terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang berfungsi sebagai wilayah resapan air. Di sini, mata air mengalir melalui tiga sungai besar dan beberapa anak sungai, yang selama ini jadi sumber air utama ribuan warga.
- Dalam pernyataan sikap Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghentikan dan mencabut izin tambang Priven Lestari. Mendesak juga Menteri LHK untuk tidak memproses pengajuan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) Priven, serta memberikan sanksi hukum tegas perusak kawasan hutan.
- Anjas Taher, Wakil Bupati Halmahera Timur, sudah menandatangani pernyataan sikap masyarakat dan berjanji menindaklanjuti pencabutan izin perusahaan itu.
Belum usai persoalan Sungai Sagea di Halmahera Tengah, tercemar atas dugaan operasi tambang nikel di hulu, Gunung Wato-wato, Kecamatan Wasile Subaim, Halmahera Timur, Maluku Utara, pun menghadapi ancaman besar. Perusahaan tambang nikel, PT Priven Lestari, akan masuk dan menambang di gunung yang berfungsi penting bagi lingkungan hidup dan masyarakat ini. Kini, perusahaan kini mulai buka jalan menuju lokasi pertambangan. Masyarakat pun protes karena takut tambang nikel menghancurkan ruang hidup mereka.
Warga tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato, menggelar aksi 6 September lalu. Mereka menghimpun berbagai kalangan di Halmahera Timur dan protes industri ekstraktif di wilayah ini.
Aksi mulai dari warga berkumpul di Desa Buli Asal di depan rumah adat Lyantoa, tuan tanah orang Buli. Bersama tetua adat massa berpamitan dari rumah adat, minta restui perjuangan warga Buli. Mereka long much melewati empat desa, di situlah warga banyak bergabung padati Kantor Camat Maba.
Warga berkumpul sejak pukul 10.00 pagi di kantor camat meminta perwakilan Pemkab Haltmahera Timur datang. Perwakilan pemerintah melalui Anjas Taher, Wakil Bupati Haltim, tiba di hadapan massa sekitar pukul 15.00 WIT.
Massa meminta wakil bupati menandatangani permintaan warga dan menuruti.
Dalam aksi itu para tokoh masyarakat bersama warga juga turut menandatangani petisi yang disampaikan ke pemerintah daerah.
Petisi itu menyatakan, masyarakat Buli di Buli, Halmahera Timur, menyatakan, dengan kesadaran dan kesungguhan tak rela hutan dan gunung di belakang wilayah Buli ditambang perusahaan apapun.
“Kami menolak dan mengusir PT Priven Lestari yang menambang di Buli, Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur,” demikian bunyi petisi yang ditandatangani bersama itu.
Masyarakat menolak penambangan Gunung Wato-wato dengan Petisi Rakyat Tolak Priven itu, ingin mengusir perusahaan keluar dari wilayah mereka.
“Pesan utama kami ingin sampaikan adalah Priven terusir dari Buli,” kata Said Marsaoly, warga dan orator aksi.
Warga pun beramai-ramai dikawal polisi menarik sejumlah alat berat dari lokasi kerja Priven.
Anjas Taher sudah menandatangani pernyataan sikap berjanji menindaklanjuti pencabutan izin perusahaan itu.
“Wakil bupati menandatangani pernyataan sikap kami dan mendukungnya. Karena itu, kami bersama dikawal polisi menurunkan alat- alat berat milik perusahaan dari lokasi kerja mereka,”kata Said.
Dia mengatakan, di Gunung Wato-wato ini terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang berfungsi sebagai wilayah resapan air.
Di sini, katanya, juga ada mata air mengalir melalui tiga sungai besar dan beberapa anak sungai, yang selama ini jadi sumber air utama ribuan warga.
“Bahkan jadi sumber air baku bagi PDAM Buli. Jika ditambang akan menghancurkan semua sumberdaya yang ada.”
Di kaki Gunung Wato-wato ini, katanya, juga ada lahan pertanian dan perkebunan warga yang ditanami pala, cengkih, dan nenas. “Semua itu sumber utama perekonomian warga.”
Warga sejak lama protes atas kehadiran perusahaan tambang. Sejak pembahasan atau konsultasi publik analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2015-2018, penolakan sudah mereka suarakan tetapi seakan diabaikan.
Sebaliknya, rentetan aksi penolakan justru ditanggapi dengan upaya kriminalisasi warga penolak tambang. Upaya kriminalisasi terlihat dari kemunculan surat panggilan polisi terhadap 11 warga penolak tambang Juli 2023, katanya, dengan tuduhan mengada- ada.
“Penganiayaan, pengancaman, dan perusakan. Apa yang dilakukan warga semata-mata mempertahankan ruang hidup terakhir di Gunung Wato-wato dari cengkeraman tambang,” katanya.
Karena masalah ini, Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato, mendesak berbagai pihak termasuk pemerintah segera bersikap atas aktivitas pertambangan ini.
“Kami mendesak berbagai pihak segera menghentikan aktivitas penambangan ini.”
Dalam pernyataan sikap warga juga mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghentikan dan mencabut izin tambang Priven Lestari. Mendesak juga Menteri LHK untuk tidak memproses pengajuan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) Priven, serta memberikan sanksi hukum tegas perusak kawasan hutan.
“Mendesak aparat kepolisian menghentikan proses hukum warga yang dilaporkan, berikut jangan menjadi centeng korporasi.”
Mereka juga mendesak bupati dan DPRD Haltim, gubernur dan DPRD Malut segera mengeluarkan rekomendasi penghentian operasi dan pencabutan izin Priven Lestari ke Menteri ESDM.
“Mendesak Komnas HAM investigasi atas dugaan pelanggaran HAM Priven Lestari, pemerintah, dan aparat kepolisian.”
Pemerintah Haltim dukung warga?
Wakil Bupati mendukung aksi masyarakat ini. Di hadapan warga, dia menyatakan akan melanjutkan tuntutan yang disampaikan warga .
Anjas menyampaikan, beberapa poin penting terkait aksi warga itu. Pertama, pemerintah daerah mengokomodir tuntutan masyarakat dan akan menyampaian ke pemerintah pusat. Tujuannya, segera diambil langkah mencabut izin sesuai tuntutan masyarakat.
Kedua, berdasarkan tuntutan masyarakat, pemerintah daerah akan menindaklanjuti aspirasi ini. “Karena itu kami meminta pihak-pihak yang berwenang menghentikan aktivitas penambangan di Gunung Wato-wato. Pemerintah Halmahera Timur akan menghentikan aktivitas tambang apapun di kawasan Gunung Wato-wato,” katanya di hadapan massa.
Berdasarkan aspirasi masyarakat, katanya, Pemerintah Halmahera Timur akan menindaklanjuti tuntutan pencabutan izin perusahaan di Wato-wato dan akan menyampaikan ke pemerintah pusat.
Ridwan Muhammad, Kepala Teknik Tambang Priven Lestari dikonfirmasi 8 September lalu terkait protes warga dan desakan pencabutan izin perusahaan ini beralasan sedang cuti hingga tak bisa memberikan penjelasan.
Ridwan bilang, akan meneruskan daftar pertanyaan tertulis yang diajukan Mongabay, ke manajemen perusahaan. Sampai berita ini terbit tidak ada tanggapan perusahaan.
Halmahera Timur, yang sebelumnya kaya pala dan cengkih ini, memiliki 27 izin usaha pertambangan (IUP) seluas 172.901,95 hektar.
Dari total izin tambang itu, PT Aneka Tambang (Antam) adalah pemegang konsesi terbesar yang menguasai daratan Halmahera, hingga pulau kecil, Gee dan Pakal.
Pesisir dan laut Haltim banyak rusak karena tambang, kini Gunung Wato-wato, yang berfungsi penting bagi warga pun diincar Priven Lestari.
******