Mongabay.co.id

Difabel Pecinta Alam, Mendaki untuk Hapus Stigma dan Kampanye Kerusakan Alam

 

Yulia, 27 tahun, tertarik mendaki gunung sejak remaja. Mengikuti jejak ayah dan adiknya yang kerap mendaki gunung di Jawa Timur. Keterbatasan fisik, menjadi alasan ayahnya melarang Yulia mendaki. Keinginannya sangat kuat untuk ikut merasakan berpetualang di alam bebas. “Ingin ikut mendaki bersama, tapi bapak melarang,” kata Yulia, peyandang difabel netra.

Sejak 2022, ia bergabung Difabel Pecinta Alam (Difpala). Mengawali mendaki Gunung Panderman, Kota Batu. Kini, ia telah mendaki Gunung Arjuna dan Gunung Butak. Yulia dipercaya Difpala sebagai tim pionir untuk survei awal lokasi pendakian. “Senang petualangan,” katanya beralasan.

Sedangkan Heru Iswanto, 43 tahun, Warga Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, suka mendaki gunung sejak muda. Awalnya 2005, ia mendaki Gunung Arjuna bersama komunitas tuli. Pengalaman pertama mendaki bersama 10 teman tuli membekas, sehingga aktivitas pendakian terus menyala. Heru kecanduan mendaki gunung. Berlanjut mendaki Gunung Rinjani, Semeru, Slamet, dan Sindoro. Puluhan gunung telah didaki.

“Paling terkesan mendaki Gunung Semeru. Bagus. Sudah enam kali mendaki sampai puncak,” katanya dibantu juru bahasa isyarat. Bergabung dengan Difpala, Heru lebih banyak membantu para pendaki lain. Heru berperan sebagai sweeper untuk memastikan tidak ada pendaki yang tertinggal.

Baca : Kisah Pendakian Para Difabel ke Puncak Sesean

 

Anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala) mendaki Gunung Butak berketinggian 2.868 meter diatas permukaan laut (mdpl), Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang pada Oktober 2020. Foto: Difpala

 

Difpala merupakan unit Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Ketua Pembina LINKSOS Kertaning Tyas, 48 tahun, menjelaskan Difpala terbentuk sejak 2020. Aktivitas pendakian berawal dari pertanyaan anggota LINKSOS, apakah difabel boleh mendaki?, “Semua punya hak yang sama, termasuk difabel untuk menikmati alam termasuk mendaki gunung,” jawab Kertaning Tyas yang akrab disapa Ken Kerta.

Sebelum memulai pendakian, anggota Difpala diajak hiking di perkampungan dan persawahan. Sembari menikmati pemandangan alam, area perbukitan dan air terjun di Desa Turirejo, Lawang. “Dekat Gunung Wedon, 660 meter di atas permukaan laut (mdpl),” katanya. Setelah mendaki Gunung Wedon selama tiga kali, Difpala diputuskan layak mendaki gunung.

 

Setop Stigma Difabel

Ken Kerta mengaku menghadapi berbagai tantangan saat mendaki. Apalagi, Ken Kerta sebelumnya tak memiliki pengalaman mendaki dan mitigasi anggota Difpala yang memiliki beragam disabilitas. Apalagi, kondisi alam tak bisa diprediksi. “Ada yang difabel fisik, mental, sensori, penglihatan dan pendengaran,” katanya.

Untuk difabel fisik mendaki dengan bantuan tongkat, kadang  mengalami hambatan keseimbangan di medan tertentu. Terutama saat meniti di jalanan setapak. Sehingga dibutuhkan dukungan psikologis dari tim pendamping agar tidak grogi dan ragu.

Dia mengaku tertantang saat menghadapi anggota difpala yang mengalami disabilitas intelektual. Lantaran jika kambuh, katanya, ia mudah emosi. Sehingga dia harus menyiapkan berbagai mitigasi agar tidak mengalami gangguan atau kekambuhan. “Saat berangkat pastikan minum obat dan makan yang cukup,” ujarnya.

Baca juga : Inspirasi Ali Topan: Difabel Pengelola Bank Sampah, Bantu Masyarakat Miskin melalui Sedekah Sampah

 

Anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala) mendaki Gunung Butak berketinggian 2.868 meter diatas permukaan laut (mdpl), Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang pada Oktober 2020. Foto: Difpala

 

Untuk difabel netra didampingi satu orang. Sedangkan difabel tuli harus banyak berkomunikasi untuk memastikan butuh istirahat atau terus berjalan. Sehingga, Difpala selektif memastikan siapa saja yang akan mendaki. Tidak semua anggota Difpala diperbolehkan mendaki.

Pada 2021 dilangsungkan misi inklusi mendaki Gunung Arjuna. Menantang para pecinta alam non disabilitas untuk mendaki bareng. Lantaran selama ini, difabel kerap mengalami stigma dan diskriminasi. Tidak boleh mendaki gunung. Bahkan, saat mengurus surat kesehatan di Puskesmas, petugas kesehatan menyebut mendaki berbahaya bagi difabel.

Pada Maret 2022, dilangsungkan jambore nasional Difpala di Gunung Arjuna. Dilanjutkan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Difpala dengan Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas untuk memberikan advokasi kebijakan dan pemenuhan hak disabilitas

Ketua Harian Linksos, Widi Sugiarti kerap mendampingi anggota Difpala mendaki. Awalnya, Widi fobia dengan ketinggian. Namun, sebagai pendamping ia melawan ketakutan ketinggian saat mendaki di Gunung Kawi, Kabupaten Malang. “Jalurnya kanan kiri jurang dan tebing. Harus mengalahkan ketakutan. Sejak saat itu, tidak takut lagi dengan ketinggian,” ujarnya.

Widi khusus mendampingi difabel netra dan tuli. Ia mengisahkan saat mendampingi difabel netra harus menjelaskan kondisi jalur pendakian. Semua jalur pendakian harus dijelaskan detail. Misalnya, di depan sejauh tiga meter terdapat pohon tumbang. Sehingga harus berjalan dengan menunduk. Saat jalan, tongkat digunakan untuk mendeteksi jalur. Sedangkan saat jalan ekstrem tongkat dilipat.

Baca juga : Begini Semangat Komang Sarira, Difabel Penjaga Alam Desa Sumberkima

 

Anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala) mendaki Gunung Butak berketinggian 2.868 meter diatas permukaan laut (mdpl), Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang pada Oktober 2020. Foto: Difpala

 

Saat gempa Kabupaten Malang 2022, anggota terlatih Difpala membantu distribusi pangan dan logistik kepada korban gempa. Anggota Difpala juga mendapat pelatihan tanggap bencana difabel oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang.

 

Kampanye Kerusakan Alam dan Perubahan Iklim

Aksi Difpala turut mengkampanyekan kerusakan alam dan perubahan iklim. Sekaligus menjadi media kampanye untuk menghapus stigma. Beberapa kali menggelar penghijauan. Menanam pohon di sejumlah titik gunung yang didaki.

Menenteng bibit pohon, sebanyak 15 anggota Difpala mendaki Putuk Lesung, Purwodadi, Pasuruan. Di sebuah petilasan purbakala di ketinggian 1.740 mdpl mereka menanam bibit pohon.

Usai menanam, mereka membersihkan sampah pastik yang tercecer. Sampah yang terkumpul dibawa turun dan dibuang di lokasi pengolahan sampah. Kegiatan dilangsungkan pada Hari Air 22 Maret 2024. “Misi Aksi Difabel 1000 pohon untuk Gunung Wedon tercapai. Sepanjang 2021, telah menanam 1000 batang pohon,” kata Ken Kerta.

Baca juga : Gunakan Peralatan Seadanya, Difabel Ini Hasilkan Aneka Kerajinan Bambu Berkualitas

 

Sebanyak 15 anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala) mendaki dan menanam pohon di Putuk Lesung, Purwodadi, Pasuruan. Sebuah petilasan purbakala di ketinggian 1.740 mdpl. Foto : Difpala

 

Saat ini, anggota Difpala telah mendaki 12 gunung diantaranya Gunung Arjuna, Gunung Semeru, Gunung Lawu, dan Gunung Slamet. Pada Juli 2024, Difpala merencanakan mendaki tujuh gunung. Tujuannya untuk edukasi dan kampanye. Setop stigma dan diskriminasi. Bekerjasama dengan mahasiswa pecinta alam untuk mendampingi Difpala.

“Target bukan puncak tapi membuktikan jika difabel mampu mendaki gunung,” pungkas Ken Kerta. (***)

 

 

Begini Siasat Difabel untuk Tanggap Bencana Alam

 

 

Exit mobile version