Mongabay.co.id

Nasib Suku Anak Dalam, Berkonflik Lahan dengan Anak Usaha PTPN

 

 

 

 

 

Warga Suku Anak Dalam Batin 9 sempat menaruh asa dengan janji manis perusahaan karet, PT Alam Lestari Nusantara (ALN) di Sorolangun, Jambi.  Dahwas, misal, perusahaan janjikan bangun rumah dan gaji seumur hidup asalkan mau menyerahkan lahan. Kenyataan, hanya omong kosong.

Keluarganya puluhan tahun tinggal di hutan Sepintun, sebelum terbabat untuk perkebunan karet ALN pada 2014.  ALN merupakan anak perusahaan patungan PT Perkebunan Nusanatara (PTPN) VI dan PTPN XII. PTPN VI 81,28%,  sisanya, 18,72% PTPN XII.

ALN mendapatkan izin HTI seluas 10.785 hektar pada 2010.

Pada 2016, Is, Humas ALN mendatangi Dahwas dan meminta bapak tujuh anak itu tidak lagi menuntut lahan yang kadung tergarap perusahaan. Lahan seluas 75 hektar itu dijual seseorang ke ALN tanpa sepengetahuan Dahwas. Karena iming-iming rumah dan gaji seumur hidup, Dahwas setuju menyerahkkan lahan ke ALN tanpa ada surat perjanjian.

“Aku dijanjikan dibangunkan rumah, gaji dan makan seumur hidup. Tapi aku dibohongi,” kata Dahwas.

Tujuh tahun lewat, dia Dahwas hanya terima tiga bulan gaji selama penyerahan lahan. Rumah juga tak pernah terbangun hingga sekarang. Dahwas merasa tertipu.

“Jadi,  waktu itu aku percayo bae. Kerno aku jadi orang tidak pernah lengkak-lengkok. Aku jujur dengan manusio,” katanya kecewa.

Sekarang Dahwas kembali menuntut janji ALN tetapi manajemen perusahaan berkilah, kalau janji yang dibilang Is tanpa sepengetahuan mereka.

“Alasan PT dio tidak tahu kalau Is berjanji dengan aku. Itu tanggung jawab PT, karena Is itu humas PT.”  Dahwas gusar.

 

Buruh sadap karet di PL ALN. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2020, Dahwas dan keluarga menduduki lahan 35 hektar milik Cik Aman, abangnya di Afdeling X. Sebetulnya, lahan itu sudah dijual ke ALN tetapi Dahwas berkeras lahan itu sebagai ganti tanahnya yang perusahaan garap.

“Kami sudah 13 tahun tinggal di situ—tanah Cik Aman. Di situ jugo ado kuburan keluargo kami, ado pohon sialang dan batang durian.”

Ada tiga pondok yang ditempati Dahwas bersama anak dan menantunya. Bangunan panggung itu dibuat dari kayu bulat dengan dinding papan. Sebagian dinding dari kulit pohon.

Gegara perkara ini, Dahwas dan keluarga bolak-balik didatangi petugas suruhan perusahaan. “Tiga kali datang. Tapi aku bentang masalah tu, diam aparat tu.”

Pada 19 September 2023, dia kembali didatangi Hikmat Agustian, Manager SDM ALN, Edi Karta, asisten SDM, Ahmad Zuhri, securiti, dan mandor Sulyadi, serta pengawas internal, Desi. Dahwas dan keluarga terpaksa menandatangani surat perjanjian.

Aini, istri Dahwas ketakutan karena ALN akan memenjarakan suaminya kalau menolak menandatangani surat perjanjian.

“Kalau dio (Dahwas) tidak ada, anak-anaknya yang akan ditangkap,” kata Aini.

 

PT. Alam Lestari Nusantara. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

 

 

Akhirnya, dia meminta suaminya menandatangani surat itu, meski tidak tahu apa isinya. Keluarga Dahwas semua buta huruf.

“Kami takut kalau diciduk polisi gimana makan keluarga, kami tidak tahu nak ngurus ke kantor ini itu,” ujar Aini.

Dalam surat tertanggal 19 September 2023 itu tertulis: sesuai hasil musyawarah kesepakatan, ALN mengangkat dua tenaga kerja—Dahwas dan Aini—dengan upah UMP masing-masing Rp2,6 juta, dan akan dibayar sesuai kondisi perusahaan.

Pengangkatan Dahwas sebagai tenaga kerja ALN merupakan penyelesaian klaim areal lahan di Afdeling X, blok AO-II, AP-II, AR,II dan AS-II. Dahwas dan keluarga dilarang menghalangi pekerja yang menyadap karet di wilayah itu.

“Jika kemudian hari, Dahwas dan keluarga melakukan klaim lahan kembali, penyelesaian akan dibawa ke jalur hukum. Perjanjian ini berlaku seumur hidup,” bunyi surat perjanjian itu.

Sejak perjanjian itu ditandatangi, Dahwas baru terima gaji satu bulan. “Gaji Oktober baru dibayarkan Desember 2023.”

Dahwas bilang, gaji dari ALN tidak cukup untuk biaya hidup dia dan 13 orang keluarganya, tujuh anak, cucu empat, menantu dua orang.

Gaji kontanan di ALN untuk setiap kilogram getah hanya Rp2.600. Dalam seminggu Dahwas dan keluarganya paling banter dapat 100 kilogram. Belum lagi dipotong timbangan 10-15%.

Untuk pekerja harian akan dipotong Rp95.000 per hari kalau tidak masuk kerja.

“Tekor,” sahut anak Dahwas.

“Sekarang kami ngumpulin utang, bukan ngumpulin uang.”

Aini hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. “Kalau tidak ada beras, ubi, gadung yang direbus. Kadang-kadang ado pisang muda direbus. Dak ada minyak sayur, direbus pakai garam, micin sudah,” katanya.

Mano cukuplah gaji itu, jadi—makan—apo adonyolah.”

Dahwas bilang, tetap ingin menggarap lahan Cik Aman yang sekarang dia tempati. “Kalau—nyadap karet—itu masih mending, gak ada beras, ada getah sekeping jual di sano—penampung—dapat beras.”

Pengepul getah di luar berani membeli getah lebih mahal dibanding ALN. “Di luar itu biso Rp700.000 sepikul (100 kg). Tetapi kalu dijual ke ALN cuma Rp200.000,” kata Dahwas.

Sekarang,  anak-anak Dahwas sering pergi berburu rusa, kijang, babi, dan jernang untuk dapat tambahan uang, karena gaji dari ALN sering telat. Sayangnya,  hewan buruan tidak selalu dapat.

“Kadang dua bulan sekali baru dapat sikok (satu) rusa,” katanya.

 

Mugiono menunjukkan peta lahannya yang digarap PT ALN dan salah membayar ganti rugi.Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

 

Salah bayar ganti rugi

Mugiono jengkel sudah 11 tahun perkara ganti rugi lahan miliknya tak rampung-rampung. Lelaki paruh baya itu masih ada 90 hektar lagi lahan yang belum dibayar ALN sampai sekarang.

Perusahaan berkelit tidak bisa membayar ganti rugi lantaran lahan itu jadi kawasan konservasi.

“Tapi itu kan tanahku, masalah jadi kawasan konservasi atau kebun karet itu urusan ALN.” Mugiono kesal.

Yang membuat tambah mangkel, uang ganti rugi lahan 76,5 hektar Mugiono justru dibayarkan ke orang lain.

“Punyaku 76 hektar belum diganti rugi kok ngomong sudah habis. Aku ambil peta—lahan—ternyata di situ dimasuki nama orang lain. Ada 25 hektar, 5, 9, 15, 10 dan 12,5 hektar. Mereka punya lahan, tetapi di tempat lain. Artinya, PT salah bayar.”

Lelaki 60 tahun itu awalnya membeli lahan dari Mat Aji, Suku Anak Dalam Batin 9 seluas 250 hektar akhir 2012 saat masih belukar, sebagian ditanami pohon durian dan ubi kayu. Lahan itu dia bayar dengan 12 motor berbagai tipe, delapan motor baru dan empat  motor bekas.

Menurut Mugiono, baru 86 hektar lahan dapat sagu hati—ganti rugi—dari ALN. Setiap hektar Rp1,5 juta.

Dia minta, ALN membayar ganti rugi lahan 76 hektar yang sebelumnya salah bayar ke orang lain, tetapi sudah bertahun-tahun tidak juga selesai.

Sejak 2014,  Mugiono bolak-balik menemui Farhan, Manager PT ALN, minta ganti rugi lahan. Tetapi saat sudah ada kesepakatan ganti rugi, Farhan diganti.

“Hampir setiap bulan manager ganti, jadi urusan tidak selesai-selesai. Alasan manager yang sekarag itu urusan orang lamo. Aku bilang, orang boleh ganti, tapi dokumen itu tidak biso diganti.”

Jailani, SAD yang dulu Ketus RT di Trans III mengatakan, tidak dilibatkan ALN saat pengukuran lahan pada 2013, meski dia tahu persis siapa pemiliknya.

“Yang dilibatkan hanya tumenggung dan kadus, RT dilewatkan. Maka banyak salah bayar,  termasuk tanah Mugiono.”

Santer beredar kabar lahan ALN di Afdeling 3, 7, 8, 9 dan 10 bakal diambil alih Sinarmas, termasuk tanah Mugiono di Afdeling 9.

Mugiono mengaku ketemu orang Sinarmas. Dia diminta memberikan tanda tanah yang belum diganti rugi ALN.

Berulang kali dia minta agar anak perusahaan negara itu segera melunasi ganti rugi laha tetapi selalu mengulur waktu.

“Selama ini ALN cuma janji-janji. Alasannya, mau diurus mau diurus tapi gak ada batas waktunya.”

 

 

Marhoni SAD Batin Telisak yang menjadi piawang lebah madu sialang. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Lebah sialang hilang

Ribuan hektar hutan di Desa Sepintun jadi perkebunan karet ALN. Pohon-pohon seperti kedondong (Spondias sp), keruing (Depterocarpus sp), pulai (Alstonia scholaris), kempas (Kompassia malaccensis) yang jadi tempat lebah madu sialang bersarang ikut hilang. Tak pelak, madu yang jadi sumber ekonomi warga SAD sejak lama pun menyusut.

Marhoni, SAD Batin Telisak juga pemanen madu sialang merasa kelihangan mata pencarian karena pembukaan hutan ALN.  “Rotan, jernang habis dibabat. Pohon sialang juga banyak ditebang.”

Marhoni adalah Ketua Kelompok Madu Hutan di Trans III, Desa Sepintun. Warga Sepintun, katanya,  sudah lama usaha madu, bahkan sejak zaman kolonial Belanda.

“Sejak ado ALN masuk, madu menurun. Madu hutan itu diambil dari sari bunga-bunga di hutan. Sekarang, pohon-pohon itu tidak ada lagi karena habis ditebang untuk kebun karet ALN.”

Bukan hanya ALN, hutan di Sepintun habis terkavling-kavling untuk izin HTI Sinarmas, PT. Agronusa Alam Sejahter, dan PT. Samhutani.

Kata Marhoni, di dalam konsesi Sahutani ada 40 pohon madu sialang tetapi tidak pernah lagi panen, karena pohon liar di sekitarnya sudah terbabat habis. Seharusnya, 100 meter dari pohon sialang dibiarkan alami hingga lebah madu  tetap produksi.

“Kalau di ALN banyak sialang ditebang. Dulu, orang jual lahan samo sialangnyo, jadi habis dibayar, sialang ditebang, tidak mikir ke depan lagi.”

 

Keluarga Dahwas di tinggal di pondok yang dibangun di tanah Cik Aman yang kini menjadi perkebunan karet PT. ALN. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

 

Jual ke Sri Trang

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu lingkungan di Jambi menyebut, masuknya ALN ke Sepintun menyebabkan banyak masalah. Dalam catatan Perkumpulan Hijau, ada ratusan hektar lahan masyarakat yang ALN garab belum mendapatkan ganti rugi hingga memicu konflik.

“Belum lagi masalah salah bayar ‘sagu hati’ yang nggak selesai-selesai.”

Belum lagi para pekerja yang dibayar murah. Bahkan, pembayaran upah kerap terlambat. “Misal, gaji bulan ini baru dibayarkan bulan depan. Orang kerja cari makan, kalau bayar telat, kasihan orang yang jadi buruh sadap.”

ALN, katanya,  menjual getah ke PT Star Rubber—pengolahan karet alam di Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo, Jambi—milik Sri Trang Group, produsen karet terkemuka di Thailand.  Pada 2022, Sri Trang menyuplai 11% permintaan karet alam global.

Dari 35 pabrik tersebar di Thailand dan Indonesia, perusahaan ini mampu memproduksi lebih 3,18 juta ton berbagai jenis produk karet per tahun untuk memenuhi beragam kebutuhan pelanggan di seluruh dunia.

Sri Trang Gloves Public Company Limited di Thailand yang jadi andalan Sri Trang Group, berhasil menjadi produsen sarung tangan karet papan atas yang digunakan dalam bidang kedokteran dan industri di 170 negara di dunia.

Pada laman website mereka, Sri Trang Group berkomitmen tidak menebang hutan, dan fokus pada kesejahteraan masyarakat serta komunitas.

Feri mendesak, Sri Trang Group menghentikan pembelian karet ALN karena perusahaan itu merusak hutan dan menggusur masyarakat adat.

Pertengahan Desember 2023, saya mendatangi Kantor ALN dan bertemu Azzuhri, sekuriti. Dia bilang, Hikmat, Manager ALN sudah ganti Lukman dan Asdum ALN Edi Karta Siagian tidak ada di kantor. Edi, izin pulang lebih awal karena kurang enak badan.

Saat itu, Lukman terlihat di kantor, tetapi Azzuhri melarang saya menemuinya. Menurut dia, Lukman tidak tahu masalah Dahwas dan Mugiono. “Yang tahu masalah itu Pak Edi dan Is, mantan humas ALN,” katanya.

Saya minta nomor keduanya agar bisa konfirmasi tetapi Azzuhri alasan handphone ketinggalan di rumah.

“Nomornya disimpan di HP yang satu lagi, ketinggalan di rumah. Nanti saya kirim ke abang,” katanya.

Saya tinggalkan nomor telepon di buku tamu agar bisa dihubungi tetapi sampai sekarang tidak pernah ada pesan dari ALN.

Pada 2 April,  saya datang ke Kantor PTPN VI—sekarang berubah jadi PTPN IV regional IV—di Kota Jambi. Jhoni Hadi Hambali, bagian humas PTPN mengatakan, sebagai anak perusahaan, ALN bertanggung jawab penuh pada semua permasalahan yang terjadi.

“Kita (PTPN) hanya sebagai pemberi modal, pengelola dan penanggung jawabnya ALN. Kalau kita juga yang ngurus, ngapain kita kasih modal ke orang lain.”

Soal, kabar konsesi ALN akan dijual ke Sinarmas, Jhoni tak ingin komentar.

“Ini murni masalah bisnis, kita belum bisa bicara itu.”

Dia meminta saya menghubungi Novalindo, humas PTPN IV, atasannya. Pada 4 April, saya mengirim pesan untuk wawancara terkait ALN, tetapi tidak ada respons.

 

 

***

Dahwas bilang, lahan yang digarap ALN seluas 70 hektar. Menurut dia, perjanjian dengan ALN yang ditandatangani September lalu hanya untuk lahan 35 hektar milik Cik Aman. “Jadi hak aku masih ado 35 hektar lagi,” katanya.

Dia berniat mengambil lagi lahan 35 hektar yang belum diganti rugi.

Kalau ALN kembali berusaha menipunya lagi, dia tidak hanya akan mengambil lahan 35 hektar, tetapi 140 hektar.

Sayo tidak mau dibohongi lagi. Sayo biso nekat.”

 

Getah karet di kebun PT. ALN. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

 

*******

 

Mulai Langka di Hutan, Suku Anak Dalam Budidaya Jernang

Exit mobile version