Mongabay.co.id

Hari Bumi 2024: Burung Laut Paling Terancam Sampah Plastik Akibat Ulah Manusia

 

 

Setiap 22 April diperingati sebagai Hari Bumi. Tahun 2024 ini, tema yang diangkat dalam peringatan global adalah planet vs plastic. Persoalan ini diangkat sebagai seruan penghentian penggunaan plastik demi kesehatan manusia dan Planet Bumi, serta menuntut pengurangan produksi plastik sebesar 60% pada 2040. Tujuan akhirnya, membangun masa depan yang bebas dari plastik demi generasi mendatang.

Para ilmuwan menjelaskan, lebih dari 170 triliun partikel plastik diperkirakan mengapung di lautan dunia sehingga diperlukan solusi mendesak. Kondisi ini membuat burung laut, sebagai spesies di Bumi, yang paling terancam karena 90% dari mereka mengonsumsi plastik yang mengapung di lautan.

“Burung laut memakan sampah plastik yang mengambang karena baunya seperti makanan. Ganggang pada sampah plastik yang mengapung, mengeluarkan senyawa belerang yang baunya mirip kril [krustasea kecil] yang menjadi makanan burung-burung laut,” demikian temuan para peneliti dalam jurnal Science Advances.

Burung laut seperti mengirim sebuah alarm berbahaya bagi kita untuk menyelamatkan Bumi dari ancaman sampah plastik. Sebab, ketika mengonsumsi sampah plastik tersebut, banyak burung laut sakit dan bahkan berujung kematian. Para ilmuwan menyebut, penyakit baru berkaitan dengan plastik adalah: plasticosis.

 

Burung penggunting-laut kaki lebar [Puffinus carneipes] yang makanannya tidak luput dari ancaman sampah plastik. Foto: Wikimedia Commons/Patrickkavanagh/Creative Commons Attribution 2.0 Generic

 

Seperti yang telah diberitakan Mongabay Indonesia, dalam jurnal berjudul “Plasticosis: Characterising macro- and microplastic-associated fibrosis in seabird tissues”, ilmuwan mempelajari burung penggunting-laut kaki lebar [Puffinus carneipes] dan mendapati bahwa benda-benda plastik yang dikonsumsi burung ini telah menyebabkan penyakit fibrosis lambung yang disebut plastikosis.

Saat induk burung ini memberi makan kepada anak-anaknya, yang umumnya selama 80-90 hari, mereka biasa memberikan cumi-cumi dan ikan ke mulut. Persoalannya, saat melintasi lautan mencari makanan, perairan laut dunia telah tercemar dan dipenuhi pelbagai mikro plastik.

Partikel-partikel plastik kecil ini dengan mudah disalahartikan oleh induk burung sebagai makanan, yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya. Pengukuran fibrosis plastik yang dilakukan para peneliti didasarkan pada 21 sampel bangkai burung penggunting-laut kaki lebar di Pulau Lord Howe, pulau yang terletak 700 km lepas pantai Sydney, Australia. Pulau ini adalah lokasi koloni sekaligus tempat berbiak terbesar burung penggunting-laut.

Hasil temuan adalah, sebagian besar anak burung yang mati memiliki rata-rata sekitar 30 potongan plastik di perut mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus ditemukan hingga 200 potongan plastik. Saat ditemukan mati, burung-burung itu memiliki ‘massa tubuh’ yang sangat rendah. Ketika para peneliti menganalisis lambung kelenjar, atau bagian lambung yang berperan dalam pencernaan, mereka menemukan sebagian besar burung memiliki bekas jaringan luka parut yang menunjukkan fibrosis terkait plastik, atau plastikosis.

”Semua potongan plastik ini, menimbulkan luka-luka kecil di lambung. Lambung [secara alami] akan coba memperbaiki luka selama penyembuhan dengan lapisan jaringan parut. Tetapi jika seluruh lambung terluka parah, itu yang disebut fibrosis,” jelas Hayley Charlton-Howard, penulis utama dan peneliti pada Adrift Lab, kepada Mongabay.

Persoalannya besarnya, kematian burung laut yang mengonsumsi plastik tersebut ditenggarai sebagian besar berasal dari sumber-sumber industri.

Beberapa plastik yang ditemukan dalam usus burung laut itu di antaranya, tongkat pendar yang digunakan dalam penangkapan ikan komersial, pelet resin atau pelet plastik kecil yang digunakan dalam pembuatan produk plastik, tutup botol, tutup pena, dan pecahan plastik dalam berbagai warna dan yang telah bertahan begitu lama.

 

Ilustrasi bagaimana sampah plastik mengancam kehidupan burung laut. Sumber: Journal of Hazardous Materials, 15 May 2023/Hayley S. Charlton-Howard

 

Burung sebagai indikator lingkungan

Meskipun burung laut sebagian besar terkena dampak polusi plastik, hal yang sama juga terjadi pada burung-burung darat. Penelitian terbaru berjudul “Birds as bioindicators of plastic pollution in terrestrial and freshwater environments: A 30-year review”, 25 Maret 2024, menganalisis lebih dari 106 penelitian yang menemukan cedera dan kematian burung pada 15 kasus yang dilaporkan terjerat plastik, mulai 1994 hingga 2023.

Meski sebagaian besar penelitian berfokus pada dampak polusi plastik di lingkungan laut, namun riset ini mendeteksi di lingkungan darat dan air tawar dengan sumber utama di daratan termasuk tempat pembuangan sampah, karena plastik dapat diakses berbagai macam organisme. Biasanya, spesies burung air tawar dan darat kurang terwakili dalam penelitian polusi plastik dibandingkan dengan spesies burung laut.

“Burung merupakan bioindikator efektif karena burung memiliki jangkauan yang luas, dan merupakan bagian dari berbagai tingkat trofik dan jaring makanan yang kompleks yang sering kali mengandung polutan yang terakumulasi secara hayati,” ungkap Mansfield dan kolega.

 

Sampah plastik yang membuat burung air kesulitan mencari makan di habitatnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Burung telah digunakan sebagai bioindikator sejumlah polutan utama seperti logam berat. Sebagian besar penelitian polusi plastik yang menggunakan burung sebagai bioindikator difokuskan pada burung-burung di lingkungan laut. Namun, seiring meningkatnya minat terhadap plastik sebagai polutan dan pemahaman tentang berbagai titik masuknya plastik ke dalam lingkungan terestrial, seperti melalui pertanian, maka semakin banyak pula penelitian yang dilakukan untuk menangani polusi plastik di darat dan air tawar serta burung.

“Burung dapat berinteraksi langsung dengan plastik di lingkungan dan terjerat di dalamnya. Cedera dan kematian terjadi pada semua 15 penelitian yang melaporkan kejadian terjerat plastik,” jelas laporan tersebut.

Pada peringatan Hari Bumi 2024, untuk mencapai pengurangan plastik 60% tahun 2040, maka hal penting yang ditekankan adalah meningkatkan kesadaran publik luas tentang kerusakan yang disebabkan oleh plastik terhadap kesehatan manusia, hewan, dan semua keanekaragaman hayati.

Untuk itu, penelitian mendalam perlu lebih banyak dilakukan terkait dampak buruk plastik pada kehidupan makhluk hidup di Bumi.

 

Mengenal ‘Plastikosis’: Penyakit Pembunuh Burung-Burung Laut yang Diakibatkan Serpihan Plastik

 

Exit mobile version