- Para ilmuwan mengidentifikasi penyakit fibrosis lambung baru yang disebut ‘plastikosis’ pada burung penggunting-laut kaki lebar (Puffinus carneipes), satwa liar yang hidup tergantung mencari makanan di perairan laut.
- Pada bagian lambung dari spesimen burung penggunting-laut kaki lebar yang diamati, ditemukan bekas jaringan luka parut yang terkait dengan luka-luka kecil akibat plastik.
- Saat ini ada diperkirakan ada sekitar 170 triliun keping plastik dari sekitar 450 juta metrik ton plastik yang diproduksi setiap tahunnya. Sebagian menjadi cemaran di perairan.
- Cemaran plastik dan kepingan mikro plastik dapat berpengaruh pada hampir setiap organisme, termasuk manusia, tanpa terkecuali.
Ilmuwan yang mempelajari burung penggunting-laut kaki lebar (Puffinus carneipes) menjumpai bahwa benda-benda plastik yang dikonsumsi jenis burung ini telah menyebabkan penyakit fibrosis lambung yang disebut: ‘plastikosis’ (plasticosis). Demikian menurut temuan yang dirilis dalam Journal of Hazardous Materials.
Saat induk burung ini memberi makan kepada anak-anaknya, yang umumnya selama 80-90 hari, mereka biasa memberikan cumi-cumi dan ikan ke dalam mulut anak-anaknya. Persoalannya, saat melintasi lautan mencari makanan, perairan laut dunia telah tercemar dan dipenuhi oleh pelbagai mikro plastik.
Partikel-partikel plastik kecil ini lalu dengan mudah disalahartikan oleh induk burung sebagai makanan, yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya.
Pengukuran fibrosis plastik yang dilakukan para peneliti didasarkan pada 21 sampel bangkai burung penggunting-laut kaki lebar di Pulau Lord Howe, pulau yang terletak 700 km lepas pantai Sydney, Australia. Pulau ini adalah lokasi koloni sekaligus tempat berbiak terbesar burung penggunting-laut.
Hasil temuan, sebagian besar anak burung yang mati memiliki rata-rata sekitar 30 potongan plastik di dalam perut mereka. Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan hingga 200 potongan plastik. Saat ditemukan mati, burung-burung itu memiliki ‘massa tubuh’ yang sangat rendah.
Ketika para peneliti menganalisis lambung kelenjar (proventrikulus), atau bagian lambung yang berperan dalam pencernaan, mereka menemukan sebagian besar burung memiliki bekas jaringan luka parut yang menunjukkan fibrosis terkait plastik, atau plastikosis.
”Semua potongan plastik ini, menimbulkan luka-luka kecil di lambung,” jelas Hayley Charlton-Howard, penulis utama dan peneliti pada Adrift Lab, kepada Mongabay.
“Lambung [secara alami] akan coba memperbaiki luka selama penyembuhan dengan lapisan jaringan parut. Tetapi jika seluruh lambung terluka parah, itu yang disebut fibrosis.”
Saat burung laut terkena plastikosis, kemampuan mereka untuk mencerna dan mengolah makanan berkurang. Burung-burung itu bisa kesulitan saat coba mencerna nutrisi makanan, mereka pun kehilangan kemampuan melawan infeksi atau parasit. Para peneliti tidak mengetahui berapa lama jenis burung laut ini dapat bertahan hidup dalam kondisi ini.
Para peneliti yakin bahwa fibrosis ini diakibatkan oleh plastik, bukan benda tajam alami seperti bagian tubuh keras cumi-cumi atau batu apung yang biasa termakan tak sengaja oleh burung penggunting-laut kaki lebar.
Jack Rivers-Auty, kolega penulis studi sekaligus pakar biologi dan imunologi dari Universitas Tasmania, menyebut dia percaya bahwa plastik adalah pemicu respon peradangan karena komposisi kimianya.
“Bekas luka itu ada di mana-mana,” katanya.
Dia merasa amat terkejut setelah melihat begitu parah dan luasnya jaringan parut fibrosis plastik yang ada dalam lambung burung. Bahkan dalam beberapa kasus, para peneliti menjumpai plastikosis pada burung dengan sedikit plastik di perutnya.
Tidak hanya pada spesies burung-burung laut. Menurut sebuah penelitian, sekitar 1.200 spesies laut terkena dampak plastik.
Bahaya Partikel Plastik
Meski plastikosis sementara ini baru teridentifikasi pada burung penggunting-laut kaki lebar, para ahli menyebut bahwa hampir setiap organisme, -termasuk manusia, dapat terpapar plastik yang terus meningkat di lingkungan kita.
Plastik tidak bisa dipisahkan dari budaya modern manusia. Ia ada dimana-mana, termasuk pada pakaian, kemasan makanan dan minuman, dan pada produk-produk harian lainnya.
Hanya sedikit plastik yang benar-benar dapat di daur ulang, pada akhirnya sebagian besar plastik akan berakhir sebagai limbah tak terurai di lingkungan kita.
Limbah plastik ini pun dapat berupa potongan besar, terurai menjadi potongan lebih kecil, hingga potongan yang disebut sebagai mikro plastik. Mereka mencemari tanah, perairan, udara, dan dapat berakhir di makanan, air maupun di dalam tubuh.
Manusia pun mengkonsumsi plastik. Dalam sebuah studi para ilmuwan menyebut kita menelan sekitar 5 gram mikro plastik setiap minggunya, melalui makanan, air yang kita minum dan udara yang kita hirup. Ada juga bukti adanya partikel plastik dalam darah dan plasenta manusia.
Banyak plastik mengandung aditif kimia beracun. Plastik juga dapat bertindak layaknya ‘spons’ yang menarik zat beracun lainnya, dan membahayakan organisme yang mengkonsumsinya.
Di lautan, para ilmuwan menyebut saat ini ada sekitar 170 triliun keping plastik. Di masa depan, akan lebih banyak lagi selama plastik terus digunakan. Diperkirakan saat ini ada sekitar 450 juta metrik ton plastik yang diproduksi setiap tahun, dengan proyeksi produksinya akan semakin berlipat ganda di tahun 2045.
Referensi:
Charlton-Howard, H. S., Bond, A. L., Rivers-Auty, J., & Lavers, J. L. (2023). ‘Plasticosis’: Characterising macro- and microplastic-associated fibrosis in seabird tissues. Journal of Hazardous Materials, 450, 131090. doi:10.1016/j.jhazmat.2023.131090
Eriksen, M., Cowger, W., Erdle, L. M., Coffin, S., Villarrubia-Gómez, P., Moore, C. J., … Wilcox, C. (2023). A growing plastic smog, now estimated to be over 170 trillion plastic particles afloat in the world’s oceans—Urgent solutions required. PLOS ONE, 18(3), e0281596. doi:10.1371/journal.pone.0281596
Leslie, H. A., Van Velzen, M. J., Brandsma, S. H., Vethaak, A. D., Garcia-Vallejo, J. J., & Lamoree, M. H. (2022). Discovery and quantification of plastic particle pollution in human blood. Environment International, 163, 107199. doi:10.1016/j.envint.2022.107199
Ragusa, A., Svelato, A., Santacroce, C., Catalano, P., Notarstefano, V., Carnevali, O., … Giorgini, E. (2021). Plasticenta: First evidence of microplastics in human placenta. Environment International, 146, 106274. doi:10.1016/j.envint.2020.106274
Santos, R. G., Machovsky-Capuska, G. E., & Andrades, R. (2021). Plastic ingestion as an evolutionary trap: Toward a holistic understanding. Science, 373(6550), 56-60. doi:10.1126/science.abh0945
Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: ‘Plasticosis’: the new disease killing seabirds and likely many other species. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.