Mongabay.co.id

Harga Ikan Murah, Nelayan Natuna Banting Setir Ganti Profesi. Bagaimana Solusinya?

 

Belum selesai persoalan kapal ikan asing, sekarang nelayan Natuna, Kepulauan Riau, dihadapkan permasalahan murahnya harga ikan. Nelayan terpaksa harus melaut lebih lama. Bahkan tidak sedikit bagi mereka yang banting setir kerja darat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Seperti yang dilakukan Imran (39 tahun), nelayan asal Serasan Natuna yang terpaksa bekerja di kebun cengkeh milik orang lain karena karena laut tak lagi menjanjikan.

Turunnya harga ikan di Natuna itu terjadi sejak November 2023 lalu. Misalnya ikan tenggiri biasanya dijual Rp55.000 sekarang turun menjadi Rp40.000. “Turunnya memang sedikit, tetapi itu terasa sekali bagi kami. Kalau harganya Rp50.000 itu ada songnyalah (keuntungan) dari modal melaut dan ransum. Tetapi kalau turun seperti sekarang bisa tekor,” kata Imran saat dihubungi Mongabay, Kamis (18/04/2024).

Imran mengatakan, nelayan bisa menjual ikan lebih mahal di pasar tradisional yang ada di Natuna. Tetapi kebutuhan ikan masyarakat Natuna tentu terbatas. “Tidak semua ikan yang dihasilkan nelayan tradisional mampu dibeli oleh masyarakat Natuna. Kalau dijual ke penampung harganya murah,” katanya.

Pengepul atau penampung di Natuna terpaksa membeli ikan nelayan dengan harga murah karena ikan mereka juga dibeli perusahaan di Jakarta dengan harga murah. “Sudahlah ikan susah didapat, harganya turun lagi,” keluhnya.

Karena susah dan murahnya ikan di Natuna membuat Imran harus melaut lebih lama belakangan ini. Biasanya ia hanya melaut pergi pagi pulang sore, namun sekarang ia harus menginap sampai 4 hari di laut.

Bahkan kata Imran, saat ini musim timur yang banyak ikan jumlah ikan tangkapan nelayan juga berkurang hingga 20 persen. “Kita tidak tahu penyebabnya,” katanya.

Imran berharap pemerintah serius memperhatikan nelayan terutama mencarikan solusi permasalahan ikan murah ini. Misalnya dengan didirikan koperasi-koperasi nelayan di daerah termasuk di Natuna. Koperasi itu akan menampung ikan yang didapatkan nelayan. “Kalau ada koperasi atau usaha penampungan dari pemerintah, harga ikan bisa diatur, tidak ada monopoli pihak ketiga (pengepul),” katanya.

Koperasi tentunya bersifat jangka panjang, tidak seperti bantuan yang rutin diberikan kepada nelayan. “Bantuan untuk nelayan memang ada, tetapi itu hanya sekedar bantuan. Kalau sudah habis diberikan lagi. Begitu saja terus. Nelayan akhirnya tidak berkembang. Kami berharap ada permodalan alat tangkap atau kapal yang harganya tidak bisa kami jangkau,” katanya.

Baca : Tidak Ada Ikan Segar Saat Cuaca Ekstrem Melanda Natuna

 

Seorang nelayan menunjukkan ikan beku yang siap dijual di Pasar Baru Ranai, Natuna, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dampak Impor Ikan

Murahnya harga ikan tersebut juga disampaikan, Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri. Tidak hanya berdampak kepada nelayan, murahnya harga ikan membuat para pengepul atau penampung ikan di Natuna merugi, bahkan terancam tak bisa membeli ikan nelayan kecil lagi.

Hendri mengatakan, karena murahnya harga ikan pasokan tentu melimpah. Sehingga gudang-gudang penampung ikan di Natuna penuh. “Bahkan sampai menumpuk ratusan ton,” katanya yang juga pengepul ikan di Natuna.

Bahkan perusahaan penampung ikan di Jakarta juga sudah penuh. “Tidak ada yang membeli,” katanya. Sedangkan jika ikan dijual ke Singapura, harga disana juga sangat murah. “Akhirnya disimpan dalam gudang,” katanya.

Menurutnya, salah satu penyebab murahnya ikan adalah banyaknya ikan impor yang masuk ke Indonesia. Salah satunya, impor ilegal ikan salem yang belakangan ini aktivitasnya dihentikan KKP. “Kalau impor terus, otomatis pasar banjir ikan, harga akan murah,” katanya.

“Misalnya harga beli ikan disini Rp10.000/kg, tetapi harga jual di Jakarta hanya Rp7.000/kg, bahkan ada yang Rp3.000/kg. Bagaimana mau untung menjual (ke Jakarta?),” katanya.

Menurut Hendri, murahnya harga ikan ini tidak hanya di Natuna, tetapi juga terjadi di daerah lain, sehingga para nelayan melakukan protes. “Seperti yang dilakukan nelayan Pati, mereka membuang ikan berton-ton saat protes harga ikan ini,” katanya,

Hendri berharap pemerintah mencarikan solusi atau jalan keluar terkait turunnya harga ikan di Natuna. Salah satunya menghentikan kegiatan impor ikan, sekaligus mendorong ekspor. “Pemerintah hanya bisa mencari PNBP saja, tetapi nelayan kecil tidak diurus dengan benar,” katanya.

Tidak hanya harga ikan murah, lanjutnya, nelayan Natuna juga masih berhadapan dengan kapal asing dan aturan penangkapan ikan terukur (PIT) yang tidak jelas sampai saat ini. “Kami tidak mendapatkan sosialisasi soal penangkapan ikan terukur, apakah kapal yang sekarang melaut di Natuna (merupakan kebijakan) PIT atau tidak, kita tidak tahu itu,” katanya.

Baca juga : Laut Natuna Utara Tetap Jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan

 

Nelayan kecil Natuna melaut di pesisir Pulau Natuna. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Skema Pasar untuk Nelayan

Menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, murahnya harga ikan disebabkan berbagai faktor, mulai dari banyaknya ikan impor tidak adanya skema pasar, hingga dominasi tengkulak yang mengakibatkan harga ikan yang tak terkendali.

Susan juga mengkritik, belakangan ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlihat hanya berorientasi produksi tetapi tidak menyiapkan skema pasar yang tepat untuk menyerap hasil tangkapan nelayan. Semua itu, lanjutnya, membuat kebijakan pemerintah terlihat tidak sejalan.

Begitu juga impor ikan, cara gampang untuk memenuhi pasar, tetapi mempengaruhi harga ikan. “Ketimbang melakukan serapan ikan yang ditangkap oleh nelayan, akhirnya nelayan juga bersaing dengan komoditas ikan impor yang masuk,” katanya.

Skema pasar yang bagus itu, menurutnya, KKP harusnya mendirikan koperasi-koperasi setiap daerah. Meskipun KKP telah menginisiasi pembentukan koperasi, tetapi operasionalnya belum berjalan maksimal.

“Walaupun ada koperasi inisiasi KKP, tetapi (koperasi) itu seperti siluman, hanya untuk untuk menyerap program KKP saja, tetapi kemudian bagaimana koperasi itu melakukan atau menolong nelayan lain tidak disiapkan,” katanya.

Menurutnya, koperasi tidak hanya didirikan, tetapi harus dibimbing agar bisa memberikan manfaat kepada nelayan. Ia melihat selama ini KKP tidak punya program terintegrasi soal koperasi nelayan ini. “Malahan menghabiskan anggaran saja. Skema pasar amburadul, sehingga siapa kuat dia yang bertahan,” katanya.

Namun, katanya, ada beberapa koperasi daerah yang berhasil. Seperti koperasi di Sumatera Utara dibangun mandiri oleh masyarakat, sekarang sudah bisa memutus ketergantungan terhadap tengkulak

Begitu juga di Demak, Jawa Tengah, ada koperasi perempuan berhasil tanpa bantuan dari kementerian manapun. “Malahan mereka baru dapat bantuan dari pemerintah setelah koperasi ini berhasil,” kata Susan.

Minimnya koperasi menurut Susan membuat skema pasar buruk, apalagi rantai produksi perikanan di Indonesia masih terdapat permainan tengkulak. “Jadi jika skema pasar tidak ada, nilai ekonom nya bermain. Ketika pasokan melimpah harga ikan akan murah,” katanya.

Selain koperasi, pemerintah juga harus mempersiapkan tempat pelelangan ikan (TPI) di daerah-daerah. Banyak TPI yang ada, katanya, tidak berfungsi secara maksimal. “Saya kira negara tidak banyak mengambil peran bagaimana produk-produk perikanan nelayan diserap,” pungkasnya.

Baca juga : Kapal Ikan Vietnam Ditangkap di Natuna, Mulai Mengancam Zona Konservasi

 

Suasana pelabuhan perikanan terbesar di Natuna, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Penjelaskan KKP

Asisten Produksi Perikanan Tangkap SKPT Natuna Sarmidi membenarkan murahnya harga ikan belakangan ini terutama untuk wilayah Natuna namun hanya untuk beberapa komoditas. SKPT KKP melihat berbagai solusi harus dilakukan agar ikan yang dihasilkan nelayan Natuna terserap.

Sarmidi membenarkan beberapa penampung ikan di Natuna mengalami penumpukan stok ikan karena tidak laku di daerah tujuan seperti Jakarta.

Dari hasil temuan di lapangan, katanya, penyebab menumpuknya stok ikan karena dua hal utama, yaitu proses pengiriman melalui jalur tol yang terbatas. Kedua, karena kualitas ikan yang dihasilkan di Natuna menurun karena jarak tempuh melaut yang dilakukan nelayan sangat jauh. “Karena jauh, ikan tersebut terlalu lama tersimpan, sehingga mutunya berkurang, akhirnya perusahaan ikan di Jakarta tidak mau menerima, atau dihargai dengan murah,” katanya.

Solusinya, volume pengiriman ikan melalui jalur tol laut itu harus diperbanyak. Sehingga stok ikan yang berada di penampung tidak menumpuk. “Selain itu kalau pemerintah bisa menjembatani untuk ekspor ikan hasil tangkapan nelayan Natuna ke Singapura. Itu lebih baik, harganya lebih mahal. Selama ini tidak terjadi (ekspor ikan ke Singapurs) karena aksesnya tidak ada,” ucapnya.

Sarmidi setuju dengan masukan yang disampaikan nelayan Natuna maupun Sekjen KIARA. Pemerintah harus lebih banyak mendorong dibukanya usaha penampungan ikan, salah satunya dengan skema koperasi. “Kalau itu terlaksana, tentu harga bisa distabilkan dengan baik,” tambahnya. (***)

 

 

Butuh Upaya Sangat Keras untuk Mengembangkan Industri Perikanan Natuna

 

 

 

Exit mobile version