Mongabay.co.id

Hancurnya Air Suci Kami, Kiamat bagi Ritual Keagamaan Indonesia?

 

Bagaimana idealnya air dikelola? Kebijakan sumberdaya air dinilai sarat kapitalisasi. Sejumlah proyek eksploitasi sumber air untuk komersialisasi air digagalkan kelompok masyarakat adat dengan alasan keyakinan adat dan perlindungan pertanian.

Sejumlah tokoh lintas agama dan aktivis membahas rusaknya sumber-sumber air yang distreaming di Padasuka TV, Sabtu (06/04/2024). Acara itu sebagai bagian dari merespon acara World Water Forum pada 18-25 Mei 2024 nanti di Bali.

Astono Chandra Dana, Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat memaparkan konsepsi air oleh umat Hindu. Alam semesta Buhana Agung, manusia sebagai Bhuana Alit. Apa yang dalam manusia ada unsur Bhuana Agung. Tubuh manusia berasal dari lima unsur yang disebut panca maha bhuta, pembentuk alam semesta. Pertiwi (tanah/bumi), apah (cair), teja (zat padat), bayu (udara), dan akasa (ruang/ether).

Dalam proses penciptaan alam semesta, unsur pertama menciptakan unsur ruang, lalu muncul udara, kemudian berevolusi menghasilkan zat padat, lalu zat cair, dan membentuk tanah. Dari sinilah hadirnya tumbuhan, binatang, dan manusia.

Unsur air sangat vital, karena menyebabkan terbentuknya bumi dan isinya. Manfaat air menurut kitab suci Weda di antaranya air sebagai penyembuhan seperti dalam bentuk tirta atau air suci yang dimantrai. Air dipuja dan disucikan, direkomendasikan sebagai sarana paling efektif untuk penyembuhan.

Baca : Bagaimana Menyelamatkan ‘Menara’ Air Bali?

 

Ritual menyucikan sumber air di Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Berikutnya air sebagai simbol kesuburan. Umat Hindu meyakini air perwujudan Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan yang menjadi pemelihara dunia. Saktinya Dewa Wisnu adalah Dewi Sri, dalam kehidupan sehari-hari dianalogikan sebagai padi. Karena itu kelompok sistem subak, pengairan tradisional di Bali, air disucikan dalam banyak cara seperti Mendak Toya, minta izin menggunakan air sebelum mulai bertani.

Setiap hulu mata air, umumnya dibangun tempat pemujaan seperti pura, Bale Basarah (Hindu Kaharingan), karena fungsinya tersebut. Secara simbolik menjadi tempat sakral agar sumber air terjaga. Sumber mata air ini biasanya alami, tidak digali. Tapi kini ada yang sudah menggalinya seperti sumur.

Sedangkan air sebagai keabadian, termaktub dalam kisah Tirtha Amertha. Gunung Mahameru dililit binatang mitologi yang menjaga sumber air, Naga Taksaka dan Naga Basuki dan sejumlah dewa dan asura mengaduk gunung untuk mendapatkan air suci ini karena diyakini mendatangkan keabadian. Air inilah diletakkan di puncak gunung untuk mengalir ke hilir. Banyak perusahaan besar air minum mencari atau eksplorasi air ke kawasan pegunungan karena kaya mineral.

Air sebagai siklus, dalam mitologi Manik Angkeran, ekor naga di puncak gunung, kepalanya di hilir atau sungai, laut. Refleksinya, saluran siklus air ini harus dijaga kebersihan dan alurnya agar air ini memberikan kesejahteraan. Jika rusak akan memberi bencana.

Terakhir air sebagai sumber pelestarian. Dua sumber air seperti permukaan dan bawah tanah menjadi sumber daya alam sangat penting.

Kondisi sumber air saat ini, menurutnya, masih ada yang terjaga keasriannya, namun ada yang rusak. Walau ada ritual Danu dan Segara Kertih, proses penyucian sumber air seperti danau dan sungai. Prosesi lain adalah Wana Kertih, menjaga hutan agar sumber air terjaga. “Tapi makin banyak kegiatan merusak hutan sehingga makin banyak bencana longsor dan banjir,” ujarnya.

Beragama tak hanya kepentingan diri sendiri tapi keberlangsungan alam semesta. Dari sinilah muncuk konsepsi Tri Hita Karana, tiga penyebab keseimbangan alam. Terdiri dari menjaga hubungan antar manusia (pawongan), manusia dengan Tuhan (parahyangan), dan manusia dengan alam (palemahan).

Baca juga : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Tiap hari ribuan orang, baik umat Hindu Bali maupun wisatawatn melukat atau membersihkan diri di Pura Tirta Empul, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Di Bali, lanjutnya, krisis air terjadi karena kekurangan air baku, terutama di kawasan selatan Pulau Bali. Salah satunya karena eksplorasi oleh industri pariwisata. Ada juga yang sudah tercemar bakteri Escherichia coli, dan terhambatnya pasokan air dari PDAM yang mulai menggunakan air bawah tanah.

Sedangkan Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) mengingatkan terbentuknya lembaganya pada 2002 setelah kejatuhan Presiden Soeharto untuk merespon kapitalisme atau penguasaan sumberdaya alam pasca krisis moneter.

Pembangunan dinilai merusak sumber air suci. Ia mencontohkan pengelolaan sumber daya air terpadu, dengan paket hutang dari Bank Dunia. Tapi bukan untuk rehabilitasi, namun mengubah kebijakan. Liberalisasi air ini syaratnya Indonesia mengadopsi integrated water resource dalam regulasinya, melahirkan UU baru untuk melegalisasi praktik seperti UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang digugat lewat Mahkamah Konstitusi (MK).

Reza mengatakan Ssejumlah regulasi berprinsip full cost recovery, air sebagai barang ekonomi. Investasi harus bisa dikembalikan dengan keuntungan. Hal ini juga digugat di MK, sampai prosesnya panjang dan lahirnya revisi UU No.7/2004 menjadi UU No.17/2019 tentang Sumber Daya Air. Sebagian besar pasal, implementasinya tergantung UU Omnibus Law yang juga digugat dan dinyatakan institusional bersyarat, jadi harus ada perbaikan dari pemerintah.

Dia melanjutkan bahwa resentralisasi kekuasaan menyulitkan karena banyak hak dinilai secara ekonomi. Pelibatan perempuan, masyarakat di sekitar sumber air, kalah dengan optimalisasi nilai air. Alokasinya harus untuk masyarakat lebih dulu baru industri, namun sekarang sebaliknya.

Misal di India ada ATM air, katanya, kalau tidak punya maka tidak bisa dinikmati. Air lebih banyak dieksploitasi keuntungannya bukan manfaatnya. Nomenklatur air di berbagai kementerian menurutnya berada di koordinasi Komenko Marves, akhirnya apa pun masalahnya solusinya investasi. “Pendekatan ekonomi untuk menilai harga air, jika air dihargai mahal maka air akan lebih dihargai. Bukan pendekatan holistik, hubungan sosial, religi,” paparnya.

Baca juga : Waspada El Nino, dari Ancaman Krisis Air sampai Kebakaran Hutan

 

Memercikkan tirta, simbol air yang jadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk Bali, yang sudah mengalami krisis air. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia

 

Monopoli pengelolaan sumber air oleh perusahaan air kemasan dinilai mencaplok kawasan sakral atau bersejarah. “Mayoritas penduduk Indonesia pada 2030 akan dipaksa hidup di kota-kota baru untuk pertumbuhan ekonomi melalui berbagai proyek strategi nasional. Dampaknya penggusuran atau dipaksa meminggir karena tak bisa mengakses sumberdaya air atau layanan air,” sebut Reza.

Mengutip laporan UNICEF, 2022, Reza mencatat, lebih dari 70% sumber air sungai mengandung tinja dan menyebabkan maslaah kesehatan. Hanya 5% sesuai baku mutu.

Di antara negara G20 dan ASEAN, lanjutnya, layanan air di Indonesia dinilai buruk. Pendekatan ekonomi ini disebut gagal. Sistem kepercayaan harus tampil di depan sebagai alat produksi air. Misal NU mengharamkan perusakan sumberdaya air, Muhammadiyah menggugat regulasi.

Sejumlah kasus masyarakat adat juga berhasil menggagalkan eksploitasi sumber air oleh perusahaan air kemasan dengan keyakinan lokal. Pada 2008, Padarincang, Serang, Banten menolak eksploitasi sumber air karena meyakini merusak lumbung pangan mereka. Ada juga protes serupa pada izin eksplorasi perusahaan air kemasan di Kabupaten Karangasem, Bali, ketika warga Desa Adat Peladungan, Desa Padangkerta, risau dengan sumber air untuk pertaniannya pada 2013. Ada juga warga Kendeng, Jawa Tengah, yang menjaga sumber air bawah tanahnya dengan protes proyek tambang.

“World Water Forum jangan didominasi wacana perusahaan air minum atau investasi,” harapnya.

Menarik dibaca : Kala Hidup di Daerah Sumber Air Malah Krisis Air Bersih

 

Air berkualitas dari pegunungan dialirkan ke kolam dan patung-patung di Taman Tirtagangga, Karangasem, Bali, lalu mengairi persawahan di sekitar desa. Foto: Anton Muhajir

 

Sementara itu Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur mengatakan aktif melakukan dialog dengan lembaga keagamaan seperti pesantren dan pemimpin agama. Menurutnya menjaga lingkungan adalah kebutuhan asasi yang harus diperhatikan kalangan pemuka agama Islam. “Menjaga air, menjaga sumber air pesantren. Misal sumber air diwakafkan saja, agar tidak diambil korporat,” sebutnya. Ini disebut gerakan mewakafkan sumber air.

Ia menyatakan air tak hanya jadi isu di masyarakat sipil saja tapi tokoh agama. Merusak sumber air, jangan hanya wacana tapi gerakan. “Hidup termasuk ibadah sangat tergantung air,” urainya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan memperkuat fatwa No.2/2010 tentang Air Daur Ulang. Ia mencontohkan, air PDAM yang mengubah air suci menggunakan kaporit, harus ada transparansi baku mutunya. Syarat aman untuk kesehatan harus dipenuhi, pungkasnya. (***)

 

 

Indonesia Negeri Tropis, Tapi Krisis Air Bersih di Kawasan Pesisir Terjadi?

 

 

Exit mobile version