- Kabupaten Bangli, merupakan pemasok air utama di Bali. Daerah ini ‘menara’ air Bali. Air dari sana untuk keperluan sehari-hari warga, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Sayangnya, sebagai kabupaten penyedia air, Bangli belum mendapat kontribusi apapun sebagai penyedia jasa lingkungan. Bahkan, sejumlah desa di Bangli kerap krisis air, seperti daerah di pebukitan Kintamani dan sekitar.
- Potensi mata air di Bali tercatat 1.394 titik dengan estimasi debit 21.000 liter/detik, terbanyak Bangli 447 titik mata air, dengan debit 3.600 liter/detik, menyusul Karangasem, dengan titik mata air lebih sedikit 215.
- Forum DAS membangun kemitraan dalam pengelolaan DAS berkelanjutan, misal, penyedia jasa adalah penjaga DAS dan penerima seperti pertanian, pariwisata, industri, PDAM, air mineral dalam kemasan, dan lain-lain. Untuk itu, perlu monitoring dan evaluasi. Imbal jasa ini penting, terlebih pernah ada kasus Pemerintah Bangli mengancam buang sampah ke sungai karena kesulitan air.
- Saat ini, ada percontohan 20 sumur resapan pada lahan privat dan adat di Desa Pangsan dan Sangeh sejak Agustus 2022. Warga terlibat dalam konstruksi, pasca penyusunan perjanjian pembayaran jasa lingkungan (PJL), tanggung jawab warga, pemerintah memelihara sumur resapan, sosialisasi, dan penetapan PJL.
Kabupaten Bangli, merupakan pemasok air utama di Bali. Daerah ini ‘menara’ air Bali. Air dari sana untuk keperluan sehari-hari warga, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Sayangnya, sebagai kabupaten penyedia air, Bangli belum mendapat kontribusi apapun sebagai penyedia jasa lingkungan. Bahkan, sejumlah desa di Bangli kerap krisis air, seperti daerah di pebukitan Kintamani dan sekitar.
Potensi mata air di Bali tercatat 1.394 titik dengan estimasi debit 21.000 liter/detik, terbanyak Bangli 447 titik mata air, dengan debit 3.600 liter/detik, menyusul Karangasem, dengan titik mata air lebih sedikit 215.
Salah satu sumber air permukaan terbesar adalah danau. Ada empat danau di Bali, terluas Tamblingan sekitar 1.600 hektar dengan estimasi debit hampir 20 juta meter kubik (m3). Lalu, Danau Batur di Bangli seluas 389 hektar debit 773 juta m3. Ada Beratan dengan luas permukaan 137 hektar dan Buyan seluas 460 hektar dengan debit 49 juta m3.
Catatan Bappeda dalam rencana pembangunan daerah Bali 2024-2025, salah satu program strategis meningkatkan indeks provinsi hijau adalah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
Saparis Soedarjanto, Direktur Perencanaan, Pengawasan, dan Pengelolaan DAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebut, Bali termasuk kerentanan bencana merah terkait sumber air. Salah satu indikator, katanya, indeks kelangkaan air naik walau cukup tetapi kebutuhan tinggi.
Bali, katanya, punya ‘menara’ air di Batur, Bangli. “Tapi kasihan di sana, pengambil manfaat tidak memberi kontribusi. Harusnya pemasok air, Bangli lebih sejahtera,” katanya.
Namun, katanya, kondisi di Bali alami degradasi lingkungan terutama di kawasan sumber air.
“Lokasi mata air, hutan sedikit, bagaimana fungsinya dalam regulator air?” tanya Saparis, dalam lokakarya penyelamatan DAS yang dihelat Forum DAS dan Kopernik, 8 November lalu di Denpasar.
Hal ini juga terjadi di Rendang, Karangasem. Kawasan ini disebut sebagai cloud forest karena berfungsi sebagai menara air juga, dengan menyimpan air hujan di hulu.
Karena itu, imbal jasa lingkungan dinilai penting, terutama dari penerima manfaat, misal dari industri air kemasan, pengelola air minum daerah, dan industri lain.
Pelestarian sumber air pun, katanya, adalah kunci.
Selain itu, pembuatan sumur resapan air hujan dinilai bisa mengembalikan cadangan air lebih cepat. Seperti pemetaan sumur resapan di Desa Ciburial, Jawa Barat, dari perhitungan, sekitar 1.885 titik sumur resapan memberikan 1,5 juta kubik per tahun di satu area tangkap saja.
Intervensi agroforestri juga bisa memperbaiki tata air, tetapi menjaga sungai tak tercemar dari aktivitas di hulu atau sekitar DAS juga penting. Saparis menyebut, suplai nitrat dan fosfat tinggi di danau yang diteliti karena dampak pertanian.
Dampak buruk pengelolaan DAS, katanya, adalah bencana. Pendekatan DAS dalam pola ruang, katanya, akan lebih mudah dan murah. Selama ini, anggaran membengkak untuk rehabilitasi dan konstruksi pasca bencana.
I Made Sudarma, Ketua Forum DAS Bali mengatakan, jasa ekosistem DAS adalah air. “Tiada kehidupan tanpa air, no water no tourism. Apakah sumber daya mampu menyokong?” tanyanya.
Forum DAS membangun kemitraan dalam pengelolaan DAS berkelanjutan, misal, penyedia jasa adalah penjaga DAS dan penerima seperti pertanian, pariwisata, industri, PDAM, air mineral dalam kemasan, dan lain-lain. Untuk itu, katanya, perlu monitoring dan evaluasi.
Imbal jasa ini penting, katanya, terlebih pernah ada kasus Pemerintah Bangli mengancam buang sampah ke sungai karena kesulitan air.
“Jangan mengambil saja, tapi memberikan ke masyarakat hulu. Pemakai air seperti PDAM, rafting, pelaku wisata,” katanya.
Dia khawatir, pengembangan destinasi pariwisata baru ‘memperkosa’ alam dan makin merusak DAS. Dia sebut, alih fungsi marak di tebing dan pegunungan.
Penerapan pembayaran jasa lingkungan pun, dinilai sebagai salah satu bentuk kolaborasi pengelolaan DAS.
Danisa Myra, peneliti Kopernik, perusahaan sosial untuk solusi masalah lingkungan memaparkan, mengenai Bali water stewardship program. Ia sebuah program pembayaran jasa lingkungan (PJL) dalam pengelolaan DAS.
Jenis jasa lingkungan konservasi air ini antara lain pemeliharaan sumur resapan. Saat ini, ada percontohan 20 sumur resapan pada lahan privat dan adat di Desa Pangsan dan Sangeh sejak Agustus 2022. Warga terlibat dalam konstruksi, pasca penyusunan perjanjian PJL, tanggung jawab warga, pemerintah memelihara sumur resapan, sosialisasi, dan penetapan PJL.
Berikutnya, penerapan agroforestri regeneratif untuk meningkatkan tutupan lahan. Dari identifikasi awal, sasarannya adalah kawasan tangkapan DAS Ayung yang cenderung monokultur, dan termasuk lahan kritis. Caranya, dengan penanaman beragam tanaman dan praktik pertanian berkelanjutan.
Saat ini, di Desa Sukawana, Sedai, dan Awan di Bangli. Target lahan dengan jeruk dan kopi dan mekanisme keikutsertaan dengan asas sukarela.
Ida Bagus Putra Partama, Ketua Forum DAS Nasional menyarankan, rencana pengelolaan DAS (RPDAS) terpadu integrasi dengan RPJMD untuk masalah hulu dan hilir Bali yang kronis.
Ketut Sugata, warga Bangli dari Forum DAS-Pekaseh Agung DAS Pakerisan merasakan berbagai dampak buruk akibat DAS tercemar. Padahal, kawasannya termasuk warisan budaya dunia.
“Kami di hulu, dapat sampah dan residu beracun, kami tidak hanya menuntut air juga partisipasi pelestariannya. Pernah tidak dapat air, terowongan air pendangkalan,” katanya.
Persoalan seperti ini sulit ditangani karena sistem birokratis, misal, terowongan berada di badan jalan nasional, sedang daerah tidak ada dana perbaikan. Akhirnya, warga keluar uang sendiri untuk dapat air dan lahan pertanian bisa tetap produksi.
Dia bilang, saat sungai dangkal, juga susah minta perbaikan. Bukan itu saja, kebijakan pemerintah pun harus terintegrasi. Dia contohkan, pemerintah beri subsidi pupuk kimia ke sektor pertanian di hulu, dampaknya, air di hulu tercemar sampai hilir.
Sejumlah masalah lain pengelolaan DAS, katanya, ada banyak pihak atau instansi pemerintah terlibat namun berbeda regulasi. Bahkan, banyak yang tidak tahu peran mereka di DAS. Pengelolaan pun, katanya, atas dasar wilayah administrasi bukan DAS.
*******