Mongabay.co.id

Mengenang Rachel Carson, Penulis Buku “Musim Semi Yang Sunyi” Pencetus Hari Bumi

 

Bila berbicara tentang sejarah pergerakan isu lingkungan hidup yang kemudian dicetuskan sebagai Hari Bumi, tentu kita ingat dengan buku fenomenal Silent Spring yang ditulis oleh Rachel Carson ahli biologi kelautan Amerika Serikat pada tahun 1962.

Carson, memulai bukunya Silent Spring dengan sebuah cerita yang dia beri judul A Fable for Tomorrow.

Sebuah kota yang hijau dan makmur tiba-tiba dilanda penyakit misterius. Burung-burung yang dulu berkicau riang, kini membisu. Mereka sekarat, gemetar, dan tidak bisa terbang. Ladang, hutan dan rawa mulai sepi dari nyanyian mereka.

Ayam mengerami telurnya tapi tidak ada yang menetas. Bunga apel bermekaran namun tidak ada lebah yang menyerbuki. Sungai yang biasa didatangi pemancing tidak ada ikannya. Penyakit aneh menjangkiti, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak. Orang-orang sakit lalu mati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Cerita fabelnya hanya mendapat porsi tiga halaman dari sekitar 400 halaman buku itu. Selebihnya menerangkan soal DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), unsur-unsurnya, dampak terhadap kesehatan, lingkungan, dan kehidupan manusia. Meski begitu, seperti judulnya, cerita itu relevan dengan masalah lingkungan yang dihadapi hingga sekarang.

Baca : Ini Lima Tokoh Konservasi Dunia yang Semestinya Kita Ketahui. Siapa Sajakah?

 

Aktivis konservasi Rachel Carson. Foto : Departemen Pertanian Amerika

 

Rachel Carson alumni John Hopkins University dan Pennsylvania College for Women ini, yang menyukai dunia tulis menulis. Meski berbasis kajian ilmiah, bukunya dia tulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Dengan cara itu dia berhasil menyampaikan informasi sains yang rumit ke publik, yang lantas membuka kesadaran akan dampak pestisida secara luas. Inilah kekuatan buku itu. Sillent Spring bukan hanya berhasil menyedot perhatian komunitas ilmiah, namun juga masyarakat awam dan menjadi perbicangan sehari-hari.

Pemanfaatan DDT sebagai pestisida sebenarnya sudah ditemukan pada 1948 oleh Paul Hermann Muller. Muller bahkan diganjar nobel karena menemukan racun pembunuh serangga yang membantu membasmi penyakit malaria dan penyakit lain ini. Kala itu DDT dianggap sebagai temuan besar yang menyelamatkan banyak nyawa manusia.

DDT kemudian dipakai untuk keperluan yang sangat luas, termasuk untuk membasmi semut api. Industrinya berkembang dan produksinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Demi membasmi penyakit, bahkan pestisida ini disemprotkan dari udara. Pada akhirnya DDT mencemari lingkungan dan sifat racunnya mengontaminasi manusia dan binatang lain.

Silent Spring yang dituntaskan Carson selama empat tahun dan terbit pada 1962 itu akhirnya memantik debat panjang di masyarakat. Mereka yang propestisida menganggap DDT menyelamatkan jutaan manusia dari berbagai penyakit. Pendapat ini mendapat dukungan industri farmasi. Sementara yang kontra menganggap DDT meracuni lingkungan dan berdampak buruk dalam jangka panjang.

Setelah berhasil membuka kesadaran publik, saatnya buku Silent Spring mempengaruhi kebijakan. Pada 1963, dia diundang ke kongres Amerika untuk berbicara masalah pestisida. Undang-undang tentang Udara Bersih pun disahkan pada 1963, dan pemberlakukan Undang-undang Kebijakan Lingkungan Nasional menyusul pada 1970.

Pada 1972 DDT telah dilarang di Amerika. Konvensi Stockholm 2001 yang diikuti banyak negara, salah satunya melarang penggunaan DDT. Indonesia juga ikut menandatangani konvensi itu, namun baru pada 2009 meratifikasinya.

Baca juga : Sejarah Memilukan Asal Mula Istilah “Tree Hugger” atau Para Pemeluk Pohon

 

Seorang lelaki menyemprotkan pestisida DDT. Pada tahun 1958, Program Pemberantasan Malaria Nasional Amerika Serikat menggunakan DDT untuk membasmi nyamuk. Foto : Centers for Disease Control and Prevention via picryl / public domain

 

Sayang Carson meninggal pada 1964 karena kanker, namun tulisannya terus menginspirasi. Bukunya berhasil mendorong banyak kalangan untuk memeriksa kembali dampak temuan ilmu pengetahuan atas lingkungan. Ternyata lingkungan sangat rentan terhadap intervensi manusia.

Pandangan orang terhadap relasi manusia dan lingkungan berubah, dan siap berlanjut ke tahap berikutnya. Dari kesadaran menjadi aksi nyata.

Pada 1962, atau bersamaan dengan buku Carson terbit, Gaylord Nelson terpilih menjadi senator Amerika. Sejak muda dia dikenal menyenangi isu lingkungan. Dia diketahui menyarankan John F Kennedy, presiden Amerika kala itu, untuk melakukan tur nasional mengangkat isu konservasi.

Tak dinyana tujuh tahun kemudian, Januari 1969, jutaan galon minyak mentah tumpah dan mencemari kawasan lepas pantai Santa Barbara, California. Ini adalah peristiwa tumpahan minyak terbesar di Amerika. Nelson kemudian menjadikan momen ini untuk membuat kegiatan kuliah (teach in) tentang lingkungan hidup di kampus-kampus Amerika. Dia merekrut Denis Hayes, mahasiswa pascasarjana dari Harvard untuk mengorganisir kegiatan tersebut.

Gagasan itu meniru kuliah yang dilakukan kelompok anti perang Vietnam pada tahun 1960-an, di mana Nelson juga terlibat di dalamnya. Dia berharap kegiatan yang sama bisa berdampak seperti gerakan anti perang Vietnam.

Perkuliahan dengan materi tentang lingkungan itu ditetapkan pada 22 April 1970. Rupanya kegiatan berkembang menjadi aksi yang lebih besar. Bukan hanya diskusi, mereka juga melakukan aksi demonstrasi, pawai, dan aksi prolingkungan lainnya. Kegiatan melibatkan ribuan sekolah dan kampus di seluruh Amerika. Diperkirakan 20 juta orang terlibat dalam aksi peringatan Hari Bumi pertama itu.

Baca juga : Hari Bumi 2024: Burung Laut Paling Terancam Sampah Plastik Akibat Ulah Manusia

 

Para pengunjuk rasa pada Upacara Bendera Hari Bumi di Kota Washington DC, Amerika Serikat pada 22 April 1970. Foto : NPS History Collection via wikimedia / public domain

 

Akhirnya dari tahun ke tahun jumlah peserta dan kelompok yang terlibat dalam peringatan Hari Bumi makin meningkat. Peringatan Hari Bumi juga dilakukan lintas negara. Pada 1990 diselenggarakan Hari Bumi secara global yang pertama, yang diikuti sekitar 200 juta orang dari 141 negara.

Lalu pada 1992, PBB menyelenggarakan Earth Summit yang pertama di Rio de Janeiro, Brazil, dan  diikuti 179 negara. Pertemuan tingkat tinggi itu mengukuhkan bahwa isu lingkungan adalah isu internasional, yang sama pentingnya dengan isu ekonomi dan berdampak pada seluruh negara di dunia.

Pada Hari Bumi 2024 tema yang diangkat adalah Planet vs Plastics. Harapannya kita bisa mengurangi produksi plastik sampai 60 persen pada 2040. Caranya antara lain tidak menggunakan plastik sekali pakai. Industri makanan sepat saji, dan toko eceran harus didorong untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai yang semakin menambah beban planet ini. (***)

 

 

Refleksi Akhir Tahun: Mencari Presiden yang Melawan Perubahan Iklim Global

 

Exit mobile version