Mongabay.co.id

Tiga Spesies Ngengat Baru Ditemukan, Satu Jenis Berpotensi Hama

 

 

Para peneliti menemukan tiga jenis ngengat baru yang menambah daftar keanekaragaman hayati Indonesia.

Serangga ini berhasil diidentifikasi para peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi [PRBE] Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, dan tim dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado. Hasil risetnya telah dipublikasikan di jurnal Zootaxa, Volume 5403 Nomor 1, edisi 18 Januari 2024.

Ngengat jenis pertama bernama ilmiah Cryptophasa warouwi, termasuk hama endemik baru dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Para peneliti menyebut, jenis ini patut diantisipasi serangannya oleh petani cengkih, karena berpotensi merusak batang dan ranting pohon.

Sementara dua ngengat jenis baru lainnya adalah Glyphodes nurfitriae dan Glyphodes ahsanae yang diidentifikasi berasal dari Papua.

“Larva Cryptophasa dikenal sebagai hama penggerek cabang dan batang. Hewan nokturnal ini memotong daun untuk makanan, membuat terowongan dan menutup lubangnya dengan anyaman sutra dan kotoran,” ungkap Hari Sutrisno, peneliti PRBE yang terlibat dalam penemuan tersebut, dikutip dari situs BRIN, Jumat [16/2/2024].

 

Inilah ngengat jenis baru Cryptophasa warouwi. Foto: Dok. BRIN

 

Tahun 2023, petani cengkih di lima kecamatan Pulau Sangihe mengalami kerugian akibat serangan hewan ini, yang merusak cabang dan ranting.

“Sejak 2016, larva jenis ini terpantau mengganggu tanaman cengkih di Pulau Sangihe dan pada 2023 persebarannya meluas,” tambah Pramesa Narakusumo, peneliti PRBE BRIN.

Menurut Pramesa, berdasarkan karakter diagnostiknya yang paling khas, ngengat berwarna cokelat tua ini terlihat memiliki struktur jelas pada alat kelaminnya. Kode batang DNA menunjukkan, spesies ini berkerabat dengan spesies Cryptophasa lain, meskipun memiliki antena jantan yang mirip Genus Paralecta.

Para peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi juga menemukan fakta jika Cryptophasa warouwi ikut menyerang tanaman jambu air dan jambu biji [Myrtaceae].

“Dapat dikatakan serangan serangga hama oligofag, sehingga harus ada rencana strategi pengendalian dan analisis risiko hama, menyusun daftar hama karantina, dan manajemen pengelolaan lainnya,” ujar Jackson F. Watung, dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi.

Untuk Glyphodes nurfitriae dan Glyphodes ahsanae, berdasarkan hasil analisis morfologi peneliti BRIN dan Universitas Sam Ratulangi, dinyatakan sebagai taksa baru. Total Glyphodes yang tercatat di Indonesia saat ini berjumlah 48 buah. Publikasi terakhirnya dari Papua dan Sulawesi oleh Munroe pada 1960.

“Penemuan tiga jenis ngengat ini dapat membantu ilmuwan menentukan peran setiap jenisnya di alam,” jelas Pramesa.

 

Cengkih merupakan tanaman yang tidak lepas dari serangan ngengat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ngengat berbeda dengan kupu-kupu

Ngengat berkerabat erat dengan kupu-kupu. Keduanya masuk Ordo Lepidoptera dan mengalami metamorfosis sempurna, yaitu memulai siklus dari telur dan menetas menjadi ulat yang berubah menjadi kepompong. Pada fase kepompong ini terjadi perubahan fisik, menjadi ngengat atau kupu-kupu.

Bagaimana cara membedakan ngengat dan kupu-kupu? Dikutip dari situs KLHK, ada empat perbedaan mendasar yang dapat dilihat.

Pertama, bentuk antena di kepala. Ngengat memiliki antena meruncing dan berbulu halus sementara kupu-kupu ujung antenanya membulat.

Kedua, ngengat beraktivitas malam hari, sehingga biasa disebut kupu-kupu malam. Sementara kupu-kupu beraktivitas siang hari [diurnal] dan menjelang malam hinggap di pohon untuk berlindung.

Ketiga, sayap ngengat terbuka saat hinggap sementara sayap kupu-kupu terbuka ketika istirahat.

Keempat, warna sayap ngengat monoton dan cenderung gelap meski ada juga yang cerah. Sementara kupu-kupu memiliki sayap warna sayap bervariasi dan indah.

 

Ini merupakan jenis ngengat kepala maut yang masih fase kepompong. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fungsi ngengat bagi Lingkungan

Meski ngengat menjadi hama dan ancaman petani, namun tidak seluruh kelompok ngengat yang larvanya herbivora merupakan hama.

Hal tersebut dijelaskan Hari Sutrisno dalam orasi pengukuhan profesor riset bidang zoologi, BRIN, pada 6 Oktober 2020. Dijelaskannya, beberapa kelompok larva geometridae yang sering dikenal sebagai perampas daun atau defoliator tumbuhan hutan, tidak dikategorikan sebagai hama. Bahkan, kelompok ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan vegetasi hutan.

“Hilangnya daun pada fase tertentu akibat dimakan ulat ngengat ini akan menstimulasi proses pembungaan yang sangat berguna dalam menjaga regenerasi tumbuhan hutan,” ungkap Hari.

Nilai penting ngengat bagi lingkungan adalah sebagai polinator atau penyerbuk berbagai jenis tanaman yang bunganya mekar malam hari. Bahkan, ngengat juga disebut sebagai penghasil berbagai jenis kain sutra yang telah dikenal berabad lamanya dihasilkan oleh kepompong ulat sutera jenis Bombyx mori L.

Ngengat juga merupakan bagian rantai makanan di berbagai ekosistem. Salah satunya sebagai penyedia sumber protein di alam bagi kelelawar, burung, ikan, reptil, dan mamalia kecil lain.

“Ngengat adalah bioindikator perubahan lingkungan, karena keragaman jenisnya yang melimpah di berbagai tipe ekosistem, mulai dataran rendah hingga dataran tinggi.”

Ngengat dikategorikan sebagai hama apabila serangan larvanya menyebabkan kerugian ekonomis pada tanaman. Berkembangnya berbagai jenis komoditas tanaman perkebunan dan masuknya berbagai jenis tanaman untuk hutan tanaman industri [HTI] pada 1980-an, menyebabkan timbulnya hama baru.

“Hama baru itu mungkin dulunya adalah jenis lokal yang semula statusnya bukan sebagai hama. Namun, akibat pengaruh perubahan ekosistem pertanian maupun sistem budidaya monokultur, organisme tersebut berubah menjadi hama,” ujar Hari.

 

Ngengat Kepala Maut yang Tidak Seseram Namanya

 

Exit mobile version