Mongabay.co.id

Kementerian Lingkungan Hidup Segel Pulau Reklamasi, Berikut Pelanggaran Para Pengembang Itu

Dalam surat Menteri LHK, Siti Nurbaya juga meminta pembatalan Pulau E.  Setelah sanksi administrasi pemaksaan pemerintah keluar,  pengembang wajib menyetop semua operasi, kecuali kegiatan yang diperintahkan dalam keputusan menteri.

Sore itu, Rabu (11/5/16), mobil rombongan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hendak melewati jembatan menuju Pulau reklamasi C dan D. Petugas keamanan menyetop kendaraan rombongan, mobil berlabel media dilarang masuk. Akhirnya, awak media keluar mobil dan masuk bus rombongan. Iring-iringan mobilpun lanjut melewati jembatan.

Dari kejauhan tampak bangunan-bangunan mulai berdiri. Ada semacam kompek pertokoan. Makin ke dalam pulau, tampak  beberapa gedung sudah jadi. Sebagian baru kontruksi. Alat-alat berat dari truk, sampai eskavator tampak berjejer. Ada juga yang mangkal tak beraturan. Tak terlihat alat berat itu beroperasi.

Dalam rombongan KLHK hadir Direktur Jenderal Penegakan Hukum, Rasio Rido Sani, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, San Avri Awang, Staf Alhi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Saad, serta beberapa direktur. Mereka datang untuk menyegel pulau reklamasi C dan D sekaligus membatalkan Pulau E karena berbagai pelanggaran.

Penyegelan ini bagian sanksi administratif pemaksaan pemerintah sesuai keputusan Menteri LHK yang keluar 10 Mei 2016. Dengan keputusan ini, seluruh operasi reklamasi dan kontruksi, harus setop sementara, kecuali perbaikan sesuai perintah dalam surat menteri.

Sesampaikan di daratan reklamasi, rombongan ditemui Manager Lingkungan PT  Kapuk Naga Indah, Kosasih. Para dirjen menyampaikan keputusan menteri lalu plang segel dipasang.

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan Berdasarkan…….” Demikian plang putih bertuliskan merah itu terpasang.

Salah satu properti yang sudah berdiri di Pulau C dan D dengan tak memiliki Amdal peruntukan di atas lahan reklamasi. Foto: Sapariah Saturi

Roy, sapaan akrab Rasio Rido menjelaskan kedatangan mereka untuk memberitahukan keputusan menteri itu dan meminta perusahaan setop beroperasi.

Dalam putusan sanksi administratif, menteri menjabarkan soal pelanggaran Pulau C dan D itu, antara lain terkait izin lingkungan. Di mana material melebihi kapasitas , tercantum dalam izin 20.900.000 meter kubik, sebenarnya dipakai 23.789.816 meter kubik. Lalu tak dapat menjelaskan rinci sumber dan jumlah material pasir iurug serta batu untuk reklamasi, dan ada perbedaan perusahaan penyedia pasir urug tercantum dalam dokumen lingkungan dan perusahaan penyedia di lapangan.

Pengembang, juga tak dapat menjelaskan rinci sumber, jumlah material tanah urug (tanah merah) untuk reklamasi.  Perusahaan juga tak menyampaikan pengamatan maupun pencatatan lapangan tentang tanah mereka dalam laporan pelaksanaan rencana rencana pemantauan lingkungan (RPL).

Pelanggaran lain, katanya, perusahaan melaksanakan reklamasi Pulau C dan D,  tak sesuai urutan seharusnya. Juga tak membuat kanal alur keluar yang memisahkan Pulau C dan D, dan ditemukan pendangkalan sekitar Pulau C dan D. Perusahaan juga membangun turap penahan gelombang di sisi utara dan sebagian timur, menggunakan batu gunung bukan tetrapod.

Bukan itu saja. Kewajiban lain dalam izin lingkunganpun tak dijalankan seperti, kerjasama dengan kontraktor tanah urug atau tanah merah sesuai ketentuan berlaku. Yakni, kontraktor yang memiliki perizinan, memeriksa kebenaran lokasi dan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UPL/UKL) kontraktor tanah urug.

Kapuk Naga juga tak melakukan pencatatan tonase truk pengangkut tanah agar tak melebihi tonase daya dukung kapasitas jalan. Juga tak menganalisis disktriptif terhadap dampak reklamasi pada nelayan, serta tak mengelola sampah sesuai aturan perundang-undangan.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum, Rasio Rido Sani, menyampaikan surat keputusan menteri kepada Kosasih, perwakilan pengembang Pulau C dan D. Foto: Sapariah Saturi

Atas beragam pelanggaran itu, ucap Roy, Meteri LHK memerintahkan perusahaan menghentikan seluruh aktivitas dengan memerintahkan perbaikan-perbaikan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan perusahaan, yakni perubahan dokumen dan izin lingkungan Pulau C dan D atas ketidaksesuaian paling lambat 120 hari.

Perubahan itu, katanya,  mencakup unsur-unsur, perbaikan kajian prediksi dampak, rencana meyeluruh reklamasi dan rencana di atasnya dengan pertimbangan integrasi sosial, mitigasi sumber material urug, mengeluarkan rencana Pulau E dari lingkup kajian serta menyertakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Menteri juga memerintahkan perusahaan membatalkan rencana kegiatan reklamasi Pulau E dan memperbaiki pengelolaan pasir urug agar tak terlepas ke perairan paling lama 30 hari kalender.

Perusahaan juga diperintahkan memberikan data rinci sumber pasir urug dan batu untuk reklamasi dan perusahaan penyedia paling lambat 14 hari. Juga memberikan data rinci sumber dan jumlah material tanah urug (merah) untuk reklamasi dan menyampaikan pengamatan maupun pencatatan dalam laporan RKL-RPL, paling lambat 14 hari kalender. Perusahaan juga wajib menggunakan beton teteapod untuk membangun turap penahan gelombang sisi Utara dan Timur, paling lama 60 hari.

Perusahaan juga diperintahkan melakukan kewajiban lain dalam izin lingkungan aling lama 30 hari. Kewajiban-kewajiban itu antara lain meninjau ulang, dan menata kerja samasama dengan kontraktor tanah urug (merah), mencatat tonase kendaraan, dan mengkaji dampak reklamasi terhadap nelayan.

Menteri Siti juga memerintahkan, perusahaan mengelola lingkungan hidup untuk mencegah dampak lingkungan lebih lanjut selama operasi perusahaan terhenti.

“Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan perintah menteri kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Gubernur Jakarta,” kata Roy.

Jembatan memasuki Pulau C dan D, dari plang penunjuk sudah diberi nama,” Pulau Golf”. Foto: Sapariah Saturi

San Avri Awang menimpali, dalam keputusan menteri ini menegaskan pembatalan reklamasi Pulau E. “Karena Pulau E itu Amdal satu dengan C,D. Ada beberapa pelanggaran di dalamnya. Karena itu, kebetulan belum dikerjakan, dibatalkan saja. Jadi kita tegas untuk Pulau E.”

Kala bertemu para pejabat KLHK, Kosasih tampak berusaha membela diri dan mencari jawaban, meskipun sekaligus mengakui kekurangan dan bersedia menjalankan perintah menteri.

Bahkan dia sempat berdebat dengan Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, San Avri Awang terkait hal-hal yang tak ada dalam Amdal, seperti sumber air bersih. Kosasih berkelit kalau itu baru Amdal reklamasi, belum peruntukan. Awang dan Ilyas mengatakan, justru, pengembang harus melengkapi Amdal sekalian menjadi satu paket.

Soal pasir urug-an saja jawaban Kosasih mencla mencle. Sekali bilang mereka sudah jauh hari mengecek ke lapangan soal ketersediaan pasir penyuplai mereka, bahkan mengecek dokumen-dokumen. Tawaran penjual pasir banyak, katanya, dan mereka memeriksa terlebih dahulu. Sekali bilang tak perlu mengecek lebih jauh soal dampak dari pengurug-an sumber pasir reklamasi karena bukan ranah pengembang. Dia bilang, sebagai pembeli bukan urusan, kalau mereka lakukan malah melampaui kewenangan. Dia malah mengandaikan, kalau membeli produk di supermarket tak akan menanyakan dampak dari barang yang dibeli.

Perusahaan, katanya, banyak pemasok pasir yang semua berasal dari perairan di Kabupaten Serang. “Asal dari Serang, di perairan Pulau Tunda. Intinya semua sumber pasir laut berdasarkan dari penyuplai yang sudah ada izin pertambangan daerah, surat izin golongan C yang diterbitkan kabupaten maupun provinsi di Banten.”   Temuan KLHK menyebutkan sebaliknya, tak ada kejelasan sumber material. Ini  menjadi poin bagi perusahaan untuk memberikan rincian jelas soal data ini.

Selesai di Pulau C dan D, rombongan bertolak ke Pulau G menggunakan tiga speedboat. Pulau dengan pengembang PT Muara Wisesa Samudra ini masih tahap reklamasi, belum ada kontruksi bangunan di atasnya. Di sana, KLHK sempat mengambil sampel pasir urug dan menancapkan plang penyegelan.

Pemda Jakarta, juga sudah menyegel bangunan-bangunan yang berdiri tanpa IMB maupun Amdal ini. Foto: Sapariah Saturi

Sama dengan Pulau C dan D, pengembang Pulau G juga kena sanksi administratif paksaan pemerintah berupa penghentian sementara seluruh kegiatan reklamasi dan konstruksi. Pengembang dinilai melanggar izin lingkungan.

Adapun pelanggaran-pelanggaran itu, antara lain, memobilisasi peralatan dan pengangkutan material reklamasi tak sesuai pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Tak dapat menjelaskan rinci mengenai sumber dan jumlah material pasir urug, batu dan tanah untuk reklamasi.

Pengembang juga menggelar material reklamasi dari sisi tengah, ke utara. Seharusnya, diawali bagian selatan ke arah timur, lalu ke barat, dilanjutkan bertahap ke Utara. Lalu, tak melakukan kewajiban lain tercantum dalam izin lingkungan seperti koordinasi dengan PT PLN, PT Nusantara Regas dan PT Pertamina Energi terkait pengawasan dan evaluasi bersama kinerja penggelaran material reklamasi, maupun perbaikan teknik penanggulangan sedimen.

Pelanggaran lain terkait proses penerimaan tenaga kerja tahap prakontruksi, sosialisasi rencana reklamasi Pulau G, pengukuran debit Kali Karang, pengukuran arah dan kecepatan arus serta kualitas air laut sesuai koordinat titik.

Dengan berbagai pelanggaran itu, Menteri LHK memerintahkan perusahaan membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan izin lingkungan, paling lambat 14 hari kalender. Pengembang wajib melakukan upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah dampak lingkungan lebih lanjut selama operasional berhenti.

Wasesa juga wajib melaporkan hasil pelaksanaan perintah Menteri LHK dan Guberur Ahok. Bila perusahaan tak melaksanakan, akan kena sanksi lebih berat.

Pulau G, yang masih proses reklamasi belum kontruksi bangunan juga kena segel KLHK. Foto: Sapariah Saturi

San Avri Awang menambahkan, mengatakan, prinsipnya, dengan keluar sanksi ini semua kegiatan berhenti. Terkecuali, kegiatan-kegiatan sesuai perintah keputusan menteri.

Menteri LHK, katanya,  mengeluarkan tiga surat keputusan, yakni, kepada pengembang Pulau C dan D dan pengembang Pulau G serta buat pemerintah Jakarta. Surat keputusan kepada pemerintah Jakarta, katanya, untuk pengawasan terhadap dua pengembang dalam melaksanakan perintah sanksi. “Kalau tak jalan akan ada sanksi lebih keras. KLHK lakukan supervisi dan pengawasan.”

Senada dikatakan Ilyas Asaad. Dia mengatakan, dua surat keputusan menteri kepada pengembang sedangkan satu keputusan ditujukan kepada pemerintah (Pemda Jakarta juga KLHK). Tujuannya,  untuk supervisi dan pengawasan pada pengembang.

Pemerintah Jakarta, katanya, harus memperbaiki izin lingkungan yang sudah dikeluarkan. Perbaikan itu, berdasarkan kajian lingkungan meyeluruh yang melihat semua aspek bukan hanya reklamasi.

Juga melaksanakan supervisi dan pengawasan terhadap pekerjaan yang harus dijalankan pengembang. Pemda Jakarta dan KLHK, kata Ilyas, diminta mengawasi bahkan mengambil langkah hukum terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan material.

Bangunan di muka Pulau C. Kini semua operasi pengembang harus setop, kecuali yang diperintahkan menteri dalam surat keputusan. Foto: Sapariah Saturi
Pulau G, tampak dari kejauhan. Foto: Sapariah Saturi
Alat berat mangkal di Pulau C dan D. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version