Mongabay.co.id

Ongkos Kesehatan Sampai Ratusan Triliun, Batubara Itu Ternyata Energi Termahal

Selama ini pemerintah menjadikan batubara sumber energi andalan meskipun kotor tetapi dinilai murah. Bahkan, dalam program pemenuhan listrik negeri sebanyak 35.000 Mega Watt, sekitar 60% pembangkit listrik masih pakai sumber energi ini.  Bahan baku tersedia, biaya jauh lebih murah daripada mengembangkan energi terbarukan, menjadi alasan yang kerap keluar dari para pejabat pemerintah.

Sesungguhnya, benarkah biaya energi batubara ini murah?

Greenpeace melakukan perhitungan biaya energi batubara keseluruhan, dana investasi ditambah biaya kesehatan (karbon dioksida) mengacu penelitian Universitas Harvard, soal dampak PLTU Batubara.

Penelitian yang rilis pada 2015, itu menyebutkan, dari PLTU yang sudah ada perkiraan kematian dini 6.500 per tahun di Indonesia. Kalau, ditambah 22.000 MW dari PLTU baru, estimasi penderita bertambah 15.700 orang.

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

PLTU batubara di Indonesia, plus kapasitas tambahan menjadi sekitar 45.365 MW. Rinciannya, masing-masing proyek  announced 17.825 MW, permit development 17.930 MW, 4.400 sudah berizin atau permitted dan 5.210 MW masih dalam pengerjaan. Dari semua proyek itu diperkirakan menelan investasi sebesar  US$58,5 miliar atau sekitar Rp770 triliun.

Sumber: Greenpeace
Tampak corong PLTU Jepara, menyemburkan asap mengandung berbagai zat beracun yang menyebar ke mana-mana terutama lingkungan sekitar. Foto: dari video Greenpeace

Kajian Greenpeace, memasukkan biaya kesehatan dan karbon dioksida sebagai komponen biaya yang harus diperhitungkan dalam pembangunan PLTU batubara.

Berdasarkan perkiraan penderita dari penelitian Harvard itu, biaya kesehatan PLTU batubara 45.365 MW menjadi US$26,7 miliar atau Rp351 triliun per tahun operasi PLTU.  Angka sebesar itu, lebih tinggi dari APBN 2016 buat anggaran kesehatan Rp110 triliun.

Hindun Mulaika, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, setelah ada pos kesehatan ke dalam biaya PLTU batubara, listrik dari energi ini jelas bukan lagi sumber energi murah. “Jadi, mengapa harus bertahan pakai batubara? Waktunya bagi pemerintah Indonesia meninggalkan batubara sebagai sumber energi. Beralih ke energi terbarukan,” katanya di Jakarta, Rabu (21/9/16).

Tren meninggalkan batubara beralih ke energi terbarukan, katanya, terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat, India sampai Tiongkok.  AS sudah berkomitmen, bertahap mengganti sumber listrik dari batubara ke energi terbarukan.

Anehnya, Indonesia malah bertindak kebalikan dari tren negara-negara di dunia. Indonesia, malah berencana membangun lebih banyak lagi pembangkit pakai bahan batubara.

“Polusi udara PLTU tingkatkan risiko penyakit seperti ISPA, kanker, stroke, paru-paru, pernapasan kronis,  sampai jantung,” kata Hindun.

Sumber: Greenpeace

Dengan dampak buruk terhadap kesehatan manusia ini, pemerintah, ucap Hindun, harus berpikir ulang. Selama ini,  katanya, biaya-biaya kesehatan seperti ini menjadi tanggungan warga dan pemerintah.

Dari perhitungan itu, poin biaya kesehatan dan emisi karbon sebesar US$84,19 MWh PLTU batubara, ditambah biaya listrik batubara saat ini per MWh US$51,22 hingga jadi US$152,65 per MWh.

Biaya PLTU batubara ini, katanya, sangat mahal, kala dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan, kecuali panas bumi.

Dia mencontohkan, biaya energi angin baik onshore mupun offshore sebesar US$78,25 dan US$123,55 per MWh. Lalu,  biaya biomassa dan solar PV, masing-masing US$112,76 dan US$108,07 per MWh.

Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, fakta lapangan kala PLTU beroperasi berdampak pada banyak hal, seperti kesehatan, nelayan dan lain-lain. “Ini yang diperhitungkan biaya kesehatan saja, belum dampak ke nelayan dan lain-lain,” katanya.

Baca juga: Begini Nasib Nelayan yang Bertetangga dengan Pembangkit Listrik Batubara di Cirebon

Perhitungan itu, katanya, sudah paling moderat, dengan asumsi sebagian besar PLTU pakai tehnologi ultra supercritical yang dicitrakan sebagai ramah lingkungan itu.

Hitung-hitungan Greenpeace ini bukan di atas meja belaka tanpa dukungan fakta lapangan. Sebelum ini, Greenpeace sudah turun lapangan mengkaji dampak kesehatan warga pada lima wilayah sekitar PLTU batubara di Jawa dan Bali.

Arief menceritakan, di Cilacap, penelitian bersama dokter independen “Kita temukan 80% masyarakat di Cilacap menderita penyakit terkait pernapasan, dari ISPA sampai radang paru-paru,” katanya.

Tiga bulan kemudian, pada 2010, Greenpeace memeriksakan kesehatan warga yang hadir sekitar 686 orang. “Terkonfirmasi sama persis yang derita pernapasan sekitar 82%, sebagian besar anak-anak dan lansia.”

Dengan kajian ini, Greenpeace pun memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, PLTU batubara harus berakhir, yang diterjemahkan dalam kebijakan konkrit seperti tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah—dengan merevisi RPJM lama.

Kedua, menghapus secara bertahap dan meningkatkan pemantauan PLTU batubara yang ada. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, harus mengembangkan roadmap dengan target jelas tahap-tahao peralihan batubara ke energi terbarukan.

Ketiga, pemerintah diminta mengatur target lebih ambisius dalam meningkatkan porsi energi terbarukan menggantikan batubara. Untuk itu, pemerintah harus menyediakan insentif pengembangan energi terbarukan, mendukung pengembangan teknologi energi terbarukan.

Sumber: Jatam
Sumber: Greenpeace
Exit mobile version