Mongabay.co.id

Sri Suci Utami Atmoko, Sang Konservasionis Orangutan Sejati

Suci Utami Atmoko saat melakukan penelitian di Stasiun Riset Ketambe, Aceh Tenggara. Foto: Misdi

Tiga puluh tahun berdedikasi pada konservasi primata merupakan takdir yang sangat Dr. Sri Suci Utami Atmoko syukuri. Suci – panggilan akrabnya, sebenarnya menginginkan jurusan astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun gayung tak bersambut, kecelakaan menimpanya menjelang ujian masuk universitas, yang membawanya ke jurusan Biologi Universitas Nasional (UNAS), sekitar tahun 1983.

Dengan bimbingan Jatna Supriatna, Dr. Surgadjito, Haerudin R. Sadjudin, dan Tatang Mitra Setia – Suci muda mulai mengenal bidang primata di Fakultas Biologi UNAS. Pada masa penyusunan skripsi, Suci berniat meneliti simakobu (Simias concolor) di Mentawai bersama peneliti primata dari Amerika. Gayung kembali tak bersambut, rencana penelitian gagal karena peneliti utama dari Amerika itu tak mendapat izin.

Calon sarjana itu kemudian mendapat ajakan dari dosennya – Tatang Mitra Setia untuk meneliti orangutan di Ketambe, Aceh Tenggara. Keberangkatan penelitian itu rupanya menjadi titik awal Suci masuk dalam dunia konservasi orangutan. Keunikan orangutan Sumatera (Pongo abelii), keindahan lanskap dan kebudayaan masyarakat Gayo, meluluhkan hatinya.

“Sudah jatuh cinta total. Saya nikah juga pakai adat Aceh. Kalau ditanya orang luar negeri dari mana asalnya? Saya bilang dari Aceh,” kata Suci kepada Mongabay Indonesia sambil berseloroh.

Suci meneliti perilaku, reproduksi, dan morfologi orangutan. Ia sudah seperti ensiklopedia berjalannya orangutan. Ia juga berpengalaman meneliti orangutan kalimantan dan pernah mengadakan survei orangutan tapanuli.

Tapi, orangutan sumatera yang paling spesial baginya. “Orangutan sumatera itu cantik, paling cantik menurut saya. Warna merah (bulunya) berbinar, yang sebenarnya dibilang merah jahe. Mereka juga lebih slender – karena lebih banyak di pohon dibandingkan (orangutan) di Kalimantan. Kalau bergelantungan, keren banget. Secara behavior mereka lebih socialize,” ujar Dosen Fakultas Biologi UNAS tersebut.

Kecintaannya pada orangutan, mengantarkannya menjadi salah satu peneliti terbaik di Indonesia. Hasil penelitiannya sudah dipublikasikan dalam jurnal dan buku skala nasional, maupun internasional: Journal of Human Evolution edisi 20 dan 47 berjudul Life history of wild Sumatran orangutans (Pongo abellii) tahun 2004, dan Functional ecology and evolution of hominoid molar enamel: Pan troglodytes schweinfurthii and Pongo pygmaeus wurmbii. Sembilan tulisannya dimuat dalam Buku Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation terbitan Oxford University Press, 2009.

Ada 21 tulisan penelitian orangutan yang Suci hasilkan sejak 2004 sampai saat ini. Hasil risetnya juga sering dijadikan policy brief dan policy paper di Indonesia untuk menyusun SRAK (Strategi Rencana Aksi Konservasi Orangutan).

Hubungan Suci dengan Stasiun Penelitian Ketambe pun erat. Penelitiannya merupakan salah satu penyumbang data terbesar untuk Stasiun Penelitian yang didirikan oleh Herman D. Rikjsen – peneliti Orangutan asal Belanda. Stasiun penelitian itu disebut-sebut sebagai lembaga penelitian terlengkap di Indonesia.

Namun karena ada konflik manajemen pengelolaan, stasiun ini dibakar pada Juli 2011 dan vakum. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) resmi membuka kembali pada November 2015. Pengaktifan ini tak luput dari bantuan Suci dan komunitas konservasi di Aceh – Forum Konservasi Leuser.

Menurut ahli primata yang aktif di Forum Orangutan Indonesia (FORINA) ini, tantangan konservasi orangutan masih dihadapkan pada hal yang sama: ancaman populasi. Baik itu dikarenakan menyempitnya habitat akibat konversi lahan ataupun karena perdagangan ilegal melalui siber (cyber crime).

Hasil kajian PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) Orangutan 2016 menunjukkan, populasi orangutan sumatera saat ini diperkirakan sekitar 14.630 individu di bentang habitat seluas 2.155.692 hektar. Orangutan ini dapat ditemukan hingga ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut yang tersebar di 10 meta populasi.

“Konservasi orangutan ini membutuhkan komitmen dari seluruh stakeholder: pemerhati, kementerian, penegak hukum, perusahaan, dan masyarakat. Penting juga mulai bergerak cepat menindak upaya pelanggaran menggunakan teknologi yang semakin maju seperti internet,” jelas Direktur Pusat Riset Primata, Universitas Nasional ini.

 

PHVA Orangutan 2016. Sumber: FORINA

 

Kenal perilaku

Penelitian Suci memberikan banyak temuan baru mengenai karakteristik dan metode penelitian orangutan. Sebagai contoh, ia pernah menguji coba metode pengambilan sampel kotoran alih-alih darah agar satwa tidak terluka. Di awal penelitian, banyak orang meragukan keabsahan hasilnya.

Sekarang, hasil penelitiannya justru banyak dipakai di berbagai tempat, bukan saja orangutan, tetapi primata lain. Lewat penelitiannya juga, Suci menemukan berbagai kecerdikan dan keunikan orangutan, seperti mengakali diri agar tak terluka saat makan kulit kapuk rimba berduri.

Orangutan juga memiliki kemampuan mudah mengingat, pintar meniru, dan belajar dari manusia. Namun, Orangutan tidak bisa berenang sehingga bahaya jika mereka tercebur ke air, pastinya tenggelam.

Lebih jauh lagi, Suci memaparkan temuan mengenai pola reproduksi orangutan sumatera yang ia teliti sewaktu menyusun skripsi. Teori menyebut, orangutan jantan memegang peranan dominan dalam seksualitas dan reproduksi. Tapi, temuannya menunjukkan hal sebaliknya.

“Kunci sukses reproduksi justru ada pada betina. Jantan bisa saja mendekati tapi pada akhirnya betina yang memutuskan mau atau tidak. Dan juga, hanya betina yang tahu kapan dia sudah estrus (masa subur). Si pejantan dan peneliti pun tak bisa tahu karena sama sekali gak ada tandanya.”

 

Meski kunci reproduksi ada pada betina, pejantan kerap tak menyerah. Pada kondisi relasi betina dan jantan pradewasa, ada strategi tertentu yang disusun pejantan pradewasa (yang tak berpipi atau unflange) untuk mendapatkan betina. Pejantan ini memilik peluang lebih kecil mendekati betina ketimbang jantan dewasa (jantan berpipi).

Strategi ini, Suci temukan sewaktu menempuh penelitian S3-nya di Universitas Utrecht. Pejantan tak berpipi cenderung menciptakan keterikatan emosional dengan betina sejak mereka tumbuh bersama sehingga tercipta hubungan spesial yang kuat sampai mereka dewasa. “Strategi ini sering berhasil membantu pejantan tak berpipi memenangkan kompetisi dengan pejantan yang lebih dewasa dan berpipi.”

Suci menemukan poin baru, pejantan pradewasa atau tak berpipi sebenarnya termasuk pejantan dewasa juga. Pejantan tak berpipi bisa menghamili betina dewasa tanpa harus mengubah bentuk tubuh mereka. “Secara genetik yang disebut jantan pradewasa itu jantan dewasa juga, cuma mereka memilih untuk tidak menjadi besar. Mereka juga bisa bereproduksi dengan betina meski jumlah anaknya tidak sebanyak jantan berpipi.”

 

Orangutan sumatera betina. Foto: Misdi

 

Bak manusia, perilaku relasi orangutan pun memiliki “drama”. Istilah PHP alias pemberian harapan palsu ternyata terjadi juga . Pernah suatu kali, Suci menyaksikan adegan antara betina dewasa dengan pejantan tak berpipi. Sang betina bersama anaknya berusia sekitar 3 atau 4 tahun itu mendatangi sarang pejantan.

Sudah mengira akan diajak kawin, ternyata betina hanya ingin mengajak bermain. “Si pejantannya sudah ge’er padahal,” kata Suci seraya tertawa mengenang momentum itu. Keunikan perilaku orangutan tersebut, hanya satu dari sekian perilaku menarik yang Suci temukan. Seperti halnya manusia, orangutan juga memiliki kedekatan emosional tertentu dengan lawan jenisnya.

Ketertarikan Suci pada orangutan sumatera membuatnya memiliki ikatan emosional. Suci memiliki hubungan yang kuat dengan dua orangutan di Ketambe, Yet dan Jon. Yet adalah orangutan pertama yang ia teliti dan bisa berdekatan dalam jarak kurang dari dua meter. “Yet cuma begitu ke saya saja kalau sama (orang) yang lain, enggak.”

Namun begitu, betatapun menariknya hubungan yang dapat tercipta antar manusia dengan orangutan, tidak lantas orang awam boleh berdekatan dengan orangutan liar. Harus ada jarak, karena orang awam bisa menularkan penyakit pada orangutan, seperti flu. “Untuk riset pun, seorang peneliti harus dipastikan sehat melalui tes kesehatan,” terang wanita kelahiran 25 November 1966 ini.

 

Suci bersama mahasiswanya saat melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Foto: Tuanan Tim

 

Ajang penghargaan internasional

Suci tidak pernah berambisi menjadi terkenal. Melihat atau membaca profil dirinya sendiri di media saja dia illfeel. Dorongan dari rekan-rekannya untuk membuat akun media sosial Instagram ataupun Facebook dan masuk ajang penghargaan tak pernah dihiraukannya. Sampai akhirnya seorang sahabatnya – mantan staf komunikasi lembaga konservasi orangutan mendorongnya ikut seleksi Indianapolis Prize.

Ide sahabatnya itu muncul dari perasaan geram akan minimnya ekspos konservasionis orangutan Indonesia dibandingkan konservasionis luar. Menurut Suci, kondisi ini terjadi karena kurangnya kemampuan dan kemauan peneliti orangutan Indonesia dalam menulis dan mempublikasikan tulisan ilmiah di jurnal internasional.

“Kelemahan menulis dalam Bahasa Inggris menjadi momok. Kita perlu mendorong mahasiswa (sebagai calon peneliti) untuk lebih rajin. Di tempat saya mengajar, mahasiswa wajib untuk submit penelitiannya ke jurnal internasional sebagai syarat sidang.”

Berangkat dari kondisi tersebutlah, serta, juga berkat bujuk rayu sahabatnya, Suci bersedia didaftarkan sebagai nomine Indianapolis. Semua urusan pendaftaran, penyusunan berkas, diurus sahabatnya itu. Prosesnya pun lancar, hingga ia dinyatakan lolos sebagai 32 finalis/nominee, September 2017 lalu, sebagai satu-satunya konservasionis satwa dari Indonesia.

Para nominee dipilih karena dianggap berpengaruh dan berkontribusi nyata terhadap konservasi satwa di masa mendatang. Ada nama Purnima Devi Barnan (Konservasionis Storks, India), Lisa Dabek (Konservasionis Kanguru Pohon di Papua Nugini), Rodney Jackson (Konservasionis Macan Tutul Salju), dan Anna Nekaris (Konservasionis Kukang dari Universitas Oxford) di ajang tersebut.

Proses seleksi penghargaan ini masih berjalan. Para finalis akan diseleksi menjadi enam pemenang yang akan diumumkan September 2018. Pemenang akan dianugerahi medali dan hadiah uang. Pemenang utama akan mendapatkan US$ 250 ribu sementara lima pemenang lainnya akan mendapatkan US$ 10 ribu. Bagi Suci, lolosnya dia sebagai sebagai nominee, merupakan simbol penghargaan untuk peneliti Indonesia sebagai habitat country orangutan.

“Saya berharap, ajang ini bisa menjadi penyemangat peneliti Indonesia lainnya. Terutama generasi muda untuk lebih mencintai, menghargai, dan melestarikan kekayaan flora dan fauna dengan cara menjadi ahli di bidangnya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version