Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Geliat Citizen Science, Upaya Menyatukan Data yang Belum Terkelola

Pengamatan burung migran di Pantai Tomer. Foto: Taman Nasional Wasur

Pengamatan burung migran di Pantai Tomer. Foto: Taman Nasional Wasur 

 

Isu konservasi tidak pernah bisa dilepaskan dari penelitian yang tak kunjung selesai untuk mencatat dan memonitor spesies-spesies yang berada di berbagai kawasan. Penelitian yang selalu membutuhkan dana besar, masih merupakan problem tersendiri bagi Indonesia, yang masih sama sekali belum memasukkan konservasi keragaman hayati dalam program strategis nasional di usianya yang sudah lebih dari 72 tahun ini.

Tentunya, menyandang predikat salah satu negara dengan mega-biodiversity terbesar di dunia sekaligus salah satu negara dengan laju kepunahan spesies tertinggi, penelitian menjadi tantangan besar. Mau tidak mau, suka tidak suka, kegiatan yang membutuhkan dana besar ini harus tetap dilakukan. Jika tidak, resiko spesies punah tanpa pernah diketahui keberadaannya, akan selalu menghantui Indonesia.

Namun angin segar berhembus dari berbagai elemen masyarakat, terutama yang menaruh perhatian lebih terhadap kelestarian satwa di habitat alaminya. Penelitian dan monitoring yang berbiaya besar tersebut, ternyata dapat menjadi hobi yang menyenangkan. Monitoring jenis-jenis burung adalah salah satu yang memiliki peminat paling banyak dan paling massif di Indonesia.

baca : Kiprah Birdwatcher, Tak Hanya Mengamati Burung, Tapi Juga Konservasi. Seperti Apakah?

Imam Taufiqurrahman, salah satu pegiat pengamat burung di Indonesia menyampaikan bahwa kelompok pengamat burung tumbuh sangat pesat pada dekade terakhir, semenjak diawali di Indonesia pada pertengahan 1980-an. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pengamat burung untuk mencatat setiap jenis burung yang dijumpai, sehingga banyak sekali informasi yang didapat.

“Masalahnya, tidak banyak pengamat burung yang rajin menulis untuk publikasi ilmiah. Masih banyak catatan yang hanya menjadi koleksi pribadi. Jika catatan-catatan itu bisa terkumpul semua, akan menjadi sebuah kompilasi yang sangat hebat,” jelas Imam.

baca : Indonesia Adalah Jalur Penting Migrasi Burung, Anda Mengetahui?

 

Pengamat burung amatir dari komunitas Biodiversity Society Banyumas, Jateng, sebagai bagian dari gerakan citizen science di Indonesia. Foto : Hariyawan A Wahyudi/Mongabay Indonesia

 

Atas kondisi itu, sebuah gerakan besar diinisiasi oleh beberapa pengamat burung di Indonesia untuk mengumpulkan sebanyak mungkin catatan yang dikumpulkan oleh para pengamat burung amatir dalam Atlas Burung Indonesia (ABI). ABI sendiri bertujuan untuk memetakan seluruh jenis burung dan sebarannya di Indonesia, hingga skala sekecil mungkin agar dapat menjadi referensi bagi pembangunan yang berkelanjutan.

“Syarat utama dalam pengelolaan keragaman hayati, termasuk burung, adalah mengetahui jenis apa saja yang dimiliki dan di mana letaknya. Indonesia masih belum selesai untuk urusan ini,” sambung pengamat burung yang juga didaulat menjadi koordinator kegiatan ABI ini.

baca : Menghitung Burung Pemangsa Migrasi, Bagaimana Caranya?

Setelah rintisan yang dilakukan di Jogja, Semarang, dan Taman Nasional Baluran (Jatim), pada 2013 lahir kesepakatan untuk mengerjakan atlas burung berskala nasional. Kesepakatan lahir dalam Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) III di Taman Hutan Raya Raden Soerjo, Jawa Timur.

Kesepakatan pengerjaan diawali dengan pembentukan sembilan simpul daerah, mencakup Sumatera, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, Malang, Karasidenan Besuki, dan Nusa Tenggara. Penyusunan tugas dan pembagian kerja yang lebih jelas baru kemudian diputuskan pada Pertemuan Pengamat Burung Indonesia IV di Semarang, Jawa Tengah, pada 2014. Dalam pertemuan, disepakati juga pembentukan tim kartografi dan tim analisa data nasional.

baca : 125 Hasil Penelitian Burung di Presentasikan Dalam Konferensi Burung Indonesia Ketiga

 

Atlas Burung Indonesia untuk elang jawa (Nisaetus bartelsi), yang informasinya dikumpulkan dan dihimpun secara sukarela melalui Atlas Burung Indonesia. Sumber : ABI

 

Terminal Data Burungnesia

Tantangan terbesar dalam mengumpulkan catatan para pengamat burung adalah format data yang beragam antara pengamat burung yang satu dengan yang lainnya. Mengelola ragamnya laporan dari ribuan orang dengan frekuensi yang kontinyu, tentu akan menyebabkan masalah serius bagi pengelola data.

Ide cemerlang datang dari kelompok Birdpacker, yang didirikan oleh Swiss Winasis, seorang pengamat burung yang sehari-hari bekerja sebagai Pengendali Ekosistem Hutan di Taman Nasional Baluran. Terinspirasi dari aplikasi yang dia bangun sebelumnya yaitu panduan pengamatan burung di Taman Nasional Baluran, dia mengembangkan aplikasi yang lebih interaktif untuk membantu pengumpulan data burung di Indonesia, melalui Burungnesia. Aplikasi ini sendiri sudah diluncurkan sejak tahun 2016 yang lalu dan telah mengalami beberapa kali penyempurnaan.

Swiss menjelaskan bahwa aplikasi Burungnesia berisi fitur checklist untuk menggantikan buku catatan lapangan. Alih-alih mencatat di buku lapangan, pengamat burung dapat langsung menginput data di smartphone berbasis Android miliknya dan secara otomatis akan tersimpan dalam tabel dengan format standar. Pengguna aplikasi ini dapat segera mengirim laporan ke server Burungnesia begitu terhubung dalam jaringan.

“Burungnesia adalah alat bantu bagi para pengamat burung dalam mengumpulkan, menyimpan dan mengolah data lapangan. Lebih jauh lagi, aplikasi ini adalah media untuk menggalang kekuatan publik untuk memperkuat gerakan konservasi dan ilmu pengetahuan burung berbasis kesukarelaan,” jelas Swiss.

baca : Menghadirkan Keragaman Burung Di Baluran Dalam Android

Lebih lanjut, Swiss menjelaskan bahwa aplikasi Burungnesia dibangun secara sukarela oleh para aktifis konservasi. Respon para pengamat burung pun cukup menggembirakan. Setelah 2 tahun sejak diluncurkan, aplikasi ini telah diunduh sebanyak lebih dari 2.500 kali, dengan jumlah pengguna aktif sebanyak 1.090 orang. Dari jumlah pengguna tersebut, sebanyak lebih dari 23.000 catatan telah terkumpul dari berbagai tempat di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.

“Hingga akhir tahun 2017 ini, lebih dari  860 spesies burung telah terlaporkan dari berbagai tempat di Indonesia. Ini sangat menggembirakan,” ungkap Swiss.

 

Tampilan aplikasi Burungnesia yang dapat didownload langsung di playstore android. Sumber: Google playstore

 

Dihubungi secara terpisah, Imam Taufiqurrohman, mengaku bahwa aplikasi smartphone ini memberikan percepatan yang berarti dalam pengumpulan dan tabulasi data sebaran burung di Indonesia. Tim ABI yang notabene mengerjakan analisa data hingga kartografi di sela-sela kesibukan mereka, tak perlu lagi berkutat dengan menyusun ulang tabel yang dikirim oleh para pengamat burung. Namun, menurutnya partisipasi para pengamat burung dalam menyumbangkan data ini masih perlu ditingkatkan.

“Yang perlu jadi perhatian kami adalah belum semuanya berkontribusi menyumbang data pengamatannya. Hal ini masih perlu didorong kedepan demi tujuan yang lebih besar dari sekedar melakukan hobi,” imbuhnya.

baca : Media Sosial, Metode Riset Baru ala Citizen Science

 

Perlunya Profesional Peneliti

Swiss Winasis mengungkapkan bahwa geliat citizen science di isu konservasi burung ini masih belum dilihat sebagai potensi oleh para profesional peneliti. Dia membandingkan dengan kondisi di negara-negara maju di mana keterlibatan masyarakat dalam melaporkan temuan, selalu dihimpun dan dianalisa oleh para peneliti profesional baik dari pemerintah maupun universitas.

Citizen science rata-rata dilakukan oleh para amatir, jadi harus didampingi oleh profesional. Di semua negara seperti itu. Namun di Indonesia, belum ada seorang profesor yang terlibat, semua masih dikerjakan oleh para amatir,” tegasnya.

Secara umum, keterlibatan peneliti profesional dalam mengawal citizen science memang belum ada. Hal ini diakui oleh Karyadi Baskoro, peneliti dari Universitas Diponegoro. Banyak sekali hal-hal yang publik perlu pendampingan dari para peneliti, contohnya di bidang taksonomi yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat.

Kemajuan di bidang genetika telah memperbaharui taksonomi burung yang tadinya dikelompokkan dalam 1 spesies, sekarang menjadi spesies yang berbeda. Informasi-informasi seperti ini tentunya merupakan informasi yang berkembang di kalangan peneliti profesional saja.

“Pembaharuan-pembaharuan informasi tentang keragaman hayati ini tidak hanya di isu burung saja. Contoh yang lebih nyata lagi adalah pada capung. Banyak sekali capung yang belum ditetapkan nama Indonesia-nya, sehingga para pelaku citizen science banyak yang memberi nama sendiri-sendiri,” jelasnya.

Nama lokal mungkin tidak begitu dipandang penting di dunia ilmiah karena sudah ada sistem binomial nomenklatur atau yang biasa dikenal dengan nama ilmiah. Namun menurut doktor yang meneliti burung pemangsa sebagai topik disertasinya ini, nama lokal sangat penting bagi publik karena lebih sering digunakan.

 

Seorang pengunjung Taman Nasional Baluran memperlihatkan aplikasi Burungnesia, panduan keragaman hayati burung di Baluran berbasis android. Dengan aplikasi Burungnesia, pengamat burung dapat langsung mengisi data pengamatan dan mengirim hasilnya disimpan di server yang dikelola untuk mengisi Atlas Burung Indonesia. Foto : Hariyawan A Wahyudi

 

Sebagai peneliti, dia menekankan bahwa citizen science adalah sebuah peluang agar keragaman hayati Indonesia dapat tercatat dan termonitor dengan baik. Namun, dia berprinsip bahwa inisiatif citizen science harus berawal dari masyarakat, bukan diinisiasi oleh pemerintah maupun para peneliti profesional. Itu juga yang terjadi di negara-negara lain, pemerintah hanya memfasilitasi seperti menyediakan server ataupun fasilitas lain yang tidak bisa diupayakan secara mandiri oleh masyarakat.

“Pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti pendataan keragaman hayati kuncinya adalah massa. Biasanya akan sukses jika penguatan itu ada di akar rumput. Baru nanti para pihak seperti pemerintah ataupun universitas yang mendampingi. Jangan dibalik, karena biasanya tidak akan berjalan dengan baik,” tegasnya.

 

Exit mobile version