Mongabay.co.id

Melihat Suksesi Alam Pasca Letusan Gunung Agung Bali

Gunung Agung, Bali, erupsi sejak dinyatakan status tertinggi Awas pada 22 September 2017. Foto : PVMBG/Mongabay Indonesia

Gunung Agung, Bali, erupsi sejak dinyatakan status tertinggi Awas pada 22 September 2017. Foto : PVMBG/Mongabay Indonesia

 

Pasca erupsi Gunung Agung pada akhir November 2017 lalu, pemerintah provinsi dan pusat sibuk berusaha mengondisikan Bali aman agar industri pariwisata terus berdenyut. Dan event-event internasional tak dibatalkan semisal sidang tahunan IMF dan World Bank pada 2018.

Beberapa kali rapat para pemangku kepentingan di industri pariwisata, yang muncul adalah keinginan agar status Awas Gunung Agung bisa turun. Mereka risau dampak ditutupnya bandara Ngurah Rai selama 3 hari karena debu vulkanik pada November lalu, mulai ada travel advisory dan tingkat hunian akomodasi merosot.

baca : Kebakaran Lahan Saat Naiknya Status Gunung Agung Jadi Siaga

Siklus pemulihan alam pasca erupsi belum menjadi pusat perhatian bersama, padahal kerusakan lingkungan, seperti hutan dan lahan juga tidak sedikit.

Seperti yang terjadi pasca erupsi Gunung Agung pada 1963. Suksesi alam alam mulai terjadi setahun setelahnya, dengan munculnya tumbuhan perintis. Pertanda dampak kesuburan tanah sisa letusan vulkanik.

Prof. Anwari Dilmy, ahli botani lulusan Sekolah Pertanian Buitenzorg (sekarang Institut Pertanian Bogor), datang ke Bali sebulan setelah letusan Gunung Agung terjadi pada 1963, meneliti tumbuh-tumbuhan. Rangkuman pengamatannya ditulis dalam makalah berjudul: Pioneer Plants Found One Year After the 1963 Eruption of Agung in Bali.  Disebutkan penulisnya dari Herbarium Bogoriense of the National Biological Institute, Bogor. Manuskrip diterima 30 Juni 1964.

baca : Dampak Erupsi Gunung Agung, Hujan Abu di Sejumlah Daerah di Bali

 

Tumbuhan Erythrina lysistemon, salah satu tumbuhan perintis pertanda suksesi alam pasca erupsi Gunung Agung Bali pada 1963. Foto : wikipedia

 

Setidaknya ia survei 3 kali pada Mei 1963, dengan fokus pengamatan di sekitar Pura Besakih, sebuah kompleks pura terbesar di Bali yang berada di lereng Gunung Agung. Sebagian bangunan masih utuh pasca letusan 1963.

“Di sini kita tidak melihat apa-apa selain tanaman mati. Pepohonan, semak, tumbuhan, dan rerumputan, jamur, pakis, dan lumut. Tempat itu sangat sepi di sekitar tempat suci Besakih,” tulis Anwari.

Kunjungan keduanya ke Bali pada bulan Oktober 1963, bersama Dr. Tarnavschi dari Rumania dan Prof. Jacovlev dari Soviet. Banyak tanaman masih mati kecuali tiga spesies yang mulai tumbuh, yaitu penatua Jawa (Sambucus javanica), Eleasine indica, dan Ageratum conyzoides.

Survei ketiga selama bulan Maret 1964, sangat mudah karena 90% wilayahnya masih tandus. Tanaman ditemukan hanya di dekat sungai kecil dan di tempat yang lembab. Dengan delapan pembantu mereka mengumpulkan tanaman dan menyiapkan bahan herbarium. Peneliti bisa menamai 75% tanaman di lapangan, sisanya ditentukan di herbarium di Bogor.

Survei ketiga ini menemukan keadaan sangat berbeda dari lima bulan sebelumnya. Masih ada asap dari gunung berapi setiap hari, tapi tidak ada lapilli, pasir, atau abu yang dikeluarkan lagi, sehingga setelah hujan, tumbuhan mulai mulai tumbuh lagi.

Sudah sekitar 10% lingkungan di sekitar pura Besakih memiliki tutupan rumput, tumbuhan, semak, dan pepohonan yang hijau yang mulai tumbuh. Beberapa spesimen tumbuh daun dan berkembang. Antara ketinggian 900 dan 1250 m di atas permukaan laut ada 83 spesies rumput, tumbuhan, semak, dan pepohonan tumbuh (ia menuliskan daftarnya). Semua pohon yang ditanam oleh masyarakat desa, seperti Erythrina masih mati, tapi 90% bambu Gigantochloa sp., dari legenda Leucaena sp. di sekitarnya sudah mulai tumbuh lagi.

 

Bambu dari jenis Giganthochloa sp, salah satu tumbuhan perintis pertanda suksesi alam pasca erupsi Gunung Agung Bali pada 1963. Foto : bambooland.com.au

 

“Di bawah lapisan ini kita menemukan jarum dari pohon pinus, yang masih belum rusak. Ada 316 hektar hutan pinus yang mengelilingi Besakih, semua pohon yang mati karena awan panas, lahar, lapilli, atau pasir dan abu dari gunung berapi,” catat Anwari.

Pada ketinggian 1250 m, mereka menemukan, meski masih sangat jarang, sembilan spesies tumbuhan: pohon Izzia montana Alb kecil, ara kecil, bambu Gigantochloa apus Kurz; spesies rumput Cynodon dactylon Pers, Imperata cylindrica Beau., Pennisetum purpureum Schumacher & Thonn., dan Themeda gigantea Hack., tanaman herbisida Plantago major Linn, dan pohon kecil Sesbania grandi/Lora pers.

Anwari menyimpulkan dari pengamatan terhadap tanaman perintis di lembah, Dinas Kehutanan disarankan untuk mencampuradukkan pohon perintis seperti Engelhardia sp. dan Schima wallichii var, serta spesies utama lain di hutan ini. Tumbuhan monokultur seperti Pinus merkussii tidak disukai. “Pengalaman di Eropa Barat dengan monokultur dan dengan hutan yang mati di lereng utara dan selatan gunung api Agung membuat kita percaya bahwa hutan campuran, adalah penghijauan terbaik,” paparnya.

Daerah yang hancur di sekitar ketinggian 1250 m dinilai dapat direboisasi dengan mudah dengan menggali melalui tiang penyekat dan menanam benih atau bibit di tanah asli di bawahnya.

Profil Prof Anwari, lahir pada 1915 di Kalimantan, ia sekolah di Agricultural School at Buitenzorg (Bogor), lalu menjadi konservasionis hutan di Kalimantan pada 1952-54. Kemudian bekerja di Forest Research Institute dan menjadi Kepala Herbarium Bogoriense. Pada 1968-69 belajar di Eropa tentang metodologi ekologi, dan sekembalinya menjabat Rektor di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan.

Beilschmiedia dilmyana adalah pohon cemara yang bisa tumbuh sampai 30 meter, dinamakan dari namanya. Dalam e-journal Biologi LIPI disebut Profesor Anwari Dilmy meninggal pada 1979. Ia diingat sebagai peneliti yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyelamatkan koleksi Herbarium Bogoriense of the National Biological Institute.

baca : Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia

 

Prof. Anwari Dilmy, ahli botani dari Herbarium Bogoriense of the National Biological Institute, Bogor yang meneliti suksesi alam pasca erupsi Gunung Agung pada 1963. Sumber foto : LIPI

 

Tahapan erupsi 1963

Sugi Lanus, peneliti aksara kuno dan budayawan Bali membagi makalah Prof Anwari lewat media sosial. Ia merangkum tahapan letusan seperti ditulis dalam makalah itu. Tanda-tanda sebelum letusan 1963, dari letupan abu sampai meletus keras dibutuhkan sekitar 30 hari.

Anwari menutip Kusumadinata (1964) dari Survei Geologi Indonesia memperkirakan total volume material yang dikeluarkan sekitar 280 X 106 meter kubik. Dari perkiraan volume material dikeluarkan energi termal dan kinetik yang dilepaskan dihitung. Dengan demikian total energi kinetik dan termal, seperti yang diperkirakan, berjumlah 8,2 X 1024 ergs. Lava, aliran lumpur, awan menyala, nuees ardentes, lapilli, pasir dan abu membunuh tidak hanya manusia dan hewan juga tanaman.

Disebutkan jumlah kematian yang disebabkan pada siklus pertama letusan 1963 sekitar 1.100, dan sekitar 150 pada ledakan kedua. Ada beberapa versi lain soal jumlah korban jiwa.

Hingga 31 Desember 2017, Balai Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi BMKG dalam laporan rutin per 6 jam menyimpulkan Gunung Agung masih berstatus awas, dan warga di radius 8-10 km dari puncak diminta mengungsi.

 

Exit mobile version