Mongabay.co.id

Masuki Tahun Politik, Walhi: Pilih Pemimpin Peka Lingkungan

Banjir di Dusun Sirilanggai Siberut Utara, 17 Agustus 2017. Warga Siberut kini was-was karena bakal masuk HTI. Kondisi sekarang saja, mereka sudah mengalami banjir apalagi, kalau hutan hilang berganti kebun pohon? Foto Bambang Sagurung

Tahun 2018, memasuki tahun politik. Tahun ini, akan ada pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni 2018, berlanjut ke pemilihan presiden pada 17 April 2019. Tenggat waktu ini,  rentan terjadi obral perizinan eksploitasi sumber daya alam. Walhi mengingatkan, hati-hati memilih pemimpin. Pilih pemimpin yang peka lingkungan, terlebih Indonesia,  sudah alami darurat ekologis.

“Masyarakat perlu cermat melihat visi-misi calon pemimpin daerah maupun presiden nanti. Ini perlu menjadi agenda bagi para gerakan masyarakat untuk kuat mengingatkan dan menyebarkan informasi lebih luas,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional dalam acara temu rakyat,  baru-baru ini.

Bagi calon kepala daerah pun, katanya, perlu memiliki kepekaan dan menyadari krisis lingkungan yang terjadi. Terlebih, katanya, konstitusi menjamin, setiap orang perlu mendapatkan lingkungan yang baik, seperti tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945.

Walhi bersama rakyat pengelola sumber daya alam, dan organisasi masyarakat sipil pun mendesak pemerintah menjalankan dan memprioritaskan platform politik lingkungan untuk mewujudkan keadilan ekologis.

”Gerakan lingkungan tak bisa lagi hanya pada tindakan penyelamatan alam, harus menuju akar penyebab dari berbagai krisis multidimensi ini,” katanya.

Krisis multidimensional, katanya, itu nyata, dengan indikator penguasaan kekayaan alam dan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang.

Perampasan ruang hidup rakyat, katanya, mengatasnamakan pembangunan sering terjadi. Sistem ekonomi kapitalis ini diperkuat dengan ada rezim neo liberalisme dan militeristik. Mereka melihat kekayaan alam hanya sebagai komoditas tanpa pernah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

“Juga mendelegasikan penguasaan dan pengelolaan kekayaan alam kepada korporasi skala besar,” kata Yaya, panggilan akrabnya.

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, katanya, rakyat dan alam hanya jadi obyek. Negara,  justru melegitimasi praktik perampasan tanah, air dan seluruh sumber-sumber kehidupan rakyat atau sumber-sumber agraria. Hal ini, katanya, jadi penyebab krisis ekologis. Kini, Indonesia, tak hanya bencana tetapi konflik sosial terus terjadi.

“Platform lingkungan harus jadi arus utama dalam berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.”

Awal tahun lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, kerugian karena bencana tahunan, selain kebakaran hutan dan lahan serta gempa, berkisar Rp30 triliun per tahun. Laporan Wold Bank, pernah menyebut total kerugian kebakaran hutan dan lahan 2015 hingga Rp221 triliun, belum terhitung dampak sosial, ekonomi dan kesehatan.

”Jika kebijakan ekstraktif terus jalan, negara akan bangkrut karena kerugian itu. Yang menanggung, pemerintah dan masyarakat,” katanya.

 

Lahan pertanian Komunitas Marena, dengan latar belakang hutan nan lebat. Masyarakat adat Marena, yang mendapatkan penetapan utan adat dari pemerintah tahun ini. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Momentum

Yaya bilang, Nawacita Presiden Joko Widodo, dengan perhutanan sosial dan reforma agraria bisa jadi momentum politik, dengan memastikan negara setia memenuhi komitmen wilayah kelola rakyat.

”Kami harap ini tak hanya untuk hari ini, juga untuk periode ke depan,” katanya.

Proses reformas agraria dan perhutanan sosial, katanya, perlu dijaga agar sesuai target, terutama bagi masyarakat yang selama ini sudah berjuang mendapatkan akses.

“Kedaulatan rakyat haruslah dibangun berdasarkan kerangka kemandirian dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material yang jadi pondasi tata kemasyarakatan dan negara,” katanya.

Teten Masduki, Kepala Kantor Staf Presiden mengatakan, untuk memperjuangkan platfrom politik lingkungan di pemerintahan perlu usaha politik juga.

Dalam era demokrasi sekarang, katanya, yang terjadi kontes gagasan tak terelakkan. “Gerakan sosial harus bertransformasi ke gerakan politik.”

Terpisah, Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) mengatakan, gerakan masyarakat sipil perlu bersama dan stimultan mengangkat isu lingkungan pada tahun politik ini. ”Isu ini lebih banyak didiamkan oleh para calon pemimpin, karena publik merasa tak butuh. Kalau dibicarakan akan memberikan kerugian finansial dan tidak menguntungkan,” katanya.

Analisa Lima,  secara politik, isu lingkungan hidup tak berefek kuat pada elektabilitas calon pemimpin tetapi dampak finansial kuat. Jadi, isu ini tak jadi prioritas dan ditutupi oleh isu-isu harian, seperti kesejahteraan buruh, kesejahteraan dan lain-lain.

”Ini jadi tantangan organisasi masyarakat sipil bagaimana isu lingkungan penting dalam perhelatan politik,” katanya.

Untuk itu, perlu peningkatan sensitivitas publik terhadap isu lingkungan, dan perlu advokasi agar jadi isu publik.

 

 

Exit mobile version