Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka (Bagian 1)

Ketimpangan kuasa lahan. Warga yang mencari sisa-sisa timah di kolam limbah tambang perusahaan di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Dulu, tempat itu hijau oleh sayur-mayur dan pepohonan. Dari cabai, bayam, kangkung sampai pohon mangga, durian, manggis, juga rambutan. Anak-anak biasa bermain di sana kala sore hari.

Mereka berlarian di antara tanaman sambil tangkap burung pakai ketapel. Suwito, salah satu anak yang kerap bermain di kebun tak jauh dari belakang rumahnya itu.

Kini semua tinggal kenangan.  Lahan-lahan nan hijau dulu telah berubah jadi kolam, atau lebih tepat danau-danau menganga dengan air beragam warna. Ada air keruh kecoklatan, ada yang jernih dan kehijau-hijauan atau kebiru-biruan kala terkena sinar mentari.

Wito, begitu putera Muntok kelahiran 1988 ini, biasa dipanggil. Dia pemuda berdarah Hakka, dengan nama Tionghoa, Ng Su Wi. Keseharian Wito,  jadi guru di sekolah dasar swasta di Muntok, Bangka. Dia ingat betul bagaimana kota kelahirannya pelahan jadi kolam-kolam tambang timah.

Wito, tahu soal timah sejak kecil. Dulu, kakek Wito pekerja di PT Timah.

Kini tambang makin menjadi-jadi. Keluarga Wito pernah berjuang mempertahankan sebidang tanah yang ditanami sayuran agar tidak dijual kepada pengusaha.

”Dahulu waktu kecil disana kami bermain air. Tangkap burung pakai ketapel,” kenang Suwito. Dia menunjuk kolam tambang timah yang berada sekitar 100 meter di dataran lebih rendah, di Desa Kebun Jati, Muntok, Bangka Barat.

Lahan di dataran tinggi sekitar, masih banyak tanaman seperti pisang, singkong dan lain-lain. Pohon buah-buahan seperti nangka dan mangga juga ada.

Deru mesin pengeruk timah mengiringi perjalanan kami. Bagi warga Muntok, merupakan hal biasa. ”Banyak yang pakai alat seadanya dan tak berizin,” katanya.

Kami mendekat ke lubang timah itu. Ada peternakan babi, ayam dan tanaman sayur mayur.

Sekitar 50 meter dari lubang timah, Naylati, warga Desa Kebun Jati, Muntok, sedang mencuci pakaian. Air sungai mengalir dari hulu dengan deras dan jernih. Air ini untuk kehidupan sehari-hari dan mengairi lahan pertanian warga.

”Disinilah lahan saya sekitar satu hektar, ada tomat, cabai, sayur sawi, kacang-kacangan. Sekarang hanya tinggal setengah,” kata Wito.

Setengah lahan lagi terhimpit kolam timah hingga tak dapat ditanami karena sering banjir, terendam dan gagal panen. Kalau banjir, air sungai tak bisa digunakan. Tanah tak lagi bisa ditanami sayuran karena tak lagi subur.

”Dulu orang (pengusaha) datang, menawar membeli tanah. Saya tolak, berpikir untuk anak cucu,” katanya.

Tetangga Nay banyak menjual tanah untuk membangun rumah dan kehidupan sehari-hari. Bagi dia,  tak bisa bertahan hidup kalau jual kebun.

Muntok berada di pesisir, dari kantor pusat timah ke tepian laut hanya kira-kira 15 menit. Lokasi ini juga memudahkan datang mencari sumber alam maupun bekerja.

Museum timah, dulunya markas besar pertambangan timah Belanda, melalui Bangka Tin Wining, ada di Muntok.

Pada masa penambangan timah, buruh-buruh dari Tiongkok mengalami kenaikan cukup tinggi di Bangka maupun Belitung.

Pada 1865, ada sekitar 2.000 kuli Tiongkok bekerja di tambang timah. Pada 1872,  meningkat dua kali lipat di Belitung.

Produksi timah di Belitung pun terus menanjak menyamai Bangka, dalam rentang 1875-1891. Pada 2016, timah menyumbang lebih 80% ekspor Bangka Belitung.

 

Pemandangan tambang timah di salah satu konsesi perusahaan timah di bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Potensi timah di Indonesia diakui dunia Internasional. Pada 2014, Indonesia salah satu negara potensi kedua tertinggi di dunia, sekitar 800.000 ton. Pemerintah Bangka Belitung mencanangkan produksi timah 70.000 ton dalam rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) 2016.

Per November 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, terjadi penurunan nilai ekspor timah 29,87% , non timah alami peningkatan 4,95% meskipun begitu, penyumbang terbesar tetap timah.

Darwis Sitorus, Kepala BPS Pangkal Pinang menyebutkan, ekspor timah US$73,72 juta, berasal dari Singapura US$18,62 juta, Jepang US$13,57 juta, Belanda US$9,18 juta, Taiwan US$7,31 juta dan India US%5,79 juta.

Sedangkan, ekspor komoditi non-timah Bangka Belitung, antara lain lemak dan minyak hewani dan nabati (US$14,01 juta), kopi, teh dan rempah-rempah  (US$4,19 juta), karet dan olahan karet (US$0,29 juta). Ekspor perikanan, seperti ikan dan udang US$0,39 juta dan produk kimia US$0,55 juta.

 

***

Di lubang tambang terbuka (open pit) PT Timah di Pemali, Sungai Liat, terbentang luas. mencapai 250 hektar dengan wilayah produksi 30 hektar.

Di balik gundukan tanah limbah tambang timah (tailing), dalam cekungan, ada pelimbang-pelimbang yang mencari nafkah.

”Mari mbak jaring,” sapa Sia di siang terik itu. Sia, satu dari sekitar 30 orang lain yang melimbang tailing.

Caping penutup kepala, baju lengan panjang, piring, alat pengeruk dan sarung tangan,  modal kerja yang dimulai pukul 08.00, setiap hari.

Setengah badan, Sia basah. Air sisa tailing mengalir dari tempat pencucian ke lokasi mereka berjibaku.. Air kolam yang keluar dari pipa itu tampak keruh.

 

Konsesi PT Timah di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

”Dulu saya petani sahang, ubi, jagung, dan sayur mayur. Sudah tak kuat macul dan harga murah,” katanya. Kalau bertani, katanya, hanya dapat Rp70.000, melimbang bisa Rp100.000 perhari.

Setahun lalu, janda dua anak ini diajak teman sekampung buat melimbang. Berjalan sekitar satu sampai dua kilometer dari rumah setiap hari, dia berangkat pukul 05.30 sampai pukul 17.00.

Mau tak mau kerjaan berat ini harus Sia jalani. Dia harus mengurus rumah dan menafkahi dua anak. ”Untuk makan dan anak sekolahlah,” katanya.

Hamdani, nama agen yang diketahui Sia menguasai wilayah limbang rakyat ini. Penjualan pun disetor ke agen itu. ”Nanti PT Timah juga, terus ke Jakarta,” katanya. Makin malam, wilayah itu makin ramai. Terlebih kalau harga timah sedang meroket.

Pada Oktober 2016, kala saya ke sana, harga timah Rp220.000 per kilogram dan produksi mencapai 9-10 ton per hari.

Sekitar 100 meter dari situ, pos penjagaan berdinding triplek dan beratapkan terpal dan seng berdiri kokoh. Ukurannya sekitar 2×1,5 meter. Belakang pos, lokasi pencucian timah. Tampak dua penjaga bergantian.

Dani, pensiunan tentara menjaga keamanan lokasi tambang ini. ”Saya kenal sudah lama dengan pemilik, jadi disuruh jaga. Sudah lama bekerja seperti ini,” katanya.

”Ini salah satu sumber daya mahal jadi harus dijaga kalau tidak banyak maling. Paling rawan tempat pencucian, karena ada timah bersih.”

Dia mendapat gaji Rp8 juta per bulan dengan tanggungan makan sehari tiga kali dan bekeja per shif selama 12 jam.

Tak hanya dewasa, anak-anakpun jadi pelimbang hingga banyak putus sekolah.

Kala saya melintas di penambangan timah di Desa Air Ketok, Muntok, tiga anak sebaya bercengkrama dengan kaki telanjang. Satu dengan yang lain saling melempar tawa dengan tangan kanan menjinjing karung.

”Sedang mau ngelimbang disuruh mamak,” kata Danil. Anak berusia 13 tahun itu berbekal piring, alas untuk melimbang timah dan kaleng bekas yang ditaruh di karungnya.

Danil sejak usia 9 tahun nyambi pekerjaan itu. Dia punya tiga orang adik.”Harga sekilogram Rp50.000, mamak yang jual nanti,” katanya.

Dia biasa melimbang setiap pulang sekolah dan hari libur, saya jumpai dia hari Minggu. ”Ya senang, main-main sajalah kak, belajar malam,” katanya malu-malu.

Supri, warga Air Ketok mengatakan, anak-anak kecil banyak melimbang, tak ada lagi mancing di sungai.

”Sudah biasalah mereka (anak-anak) disini dibawa orangtuanya buat bantu-bantu,” kata Andi, warga pesisir Sungai Liat.  Baginya, pekerjaan ini memang sudah turun-temurun.

 

Anak-anak juga bekerja sebagai pelimbang di limbah tambang timah di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sore hari, lokasi tambang Kampung Ampui, Pangkal Pinang, anak-anak bermain di pinggir sungai hanya mengenakan kaos dan celana dalam. Tak ada tiga meter, ponton bekerja dengan sangat keras. Ponton adalah alat untuk mengeruk bijih timah di dalam tanah.

”Banyak anak putus sekolah karena tambang ini, apalagi saat harga timah sedang naik-naiknya pada 2014,” ucap Ratno.

Data Walhi Bangka Belitung, angka anak putus sekolah karena beralih ke tambang 43%, didominasi usia remaja. Kondisi ini tak dapat dipungkiri, sejak kecil anak-anak sekolah sudah bermain di pertambangan. Tanpa ada rasa takut dan ngeri. Layaknya anak-anak sedang bermain di taman.

 

‘Melimbang’ nyawa

Harga melejit, masyarakat berkumpul. Berkumpul dalam pusaran kerukan limbah sisa-sisa penggalian. Bermodal alat sederhana, banyak orang berbondong-bondong demi mengisi perut. Keamanan diri jadi nomor sekian.

Musim hujan rentan kecelakaan kerja di tambang. Tanah tak padat, membuat risiko longsor tinggi. Struktur tanah jadi tak stabil. Bahaya kadang tak dipedulikan para penambang tailing. ”Tidak takut, disini aman,” jawaban itu keluar kala ditanya ke beberapa penambang.

Malam hari, 1 Oktober 2016, kabar duka datang dari Dusun Bedukang, Desa Deniang, Kecamatan Riau Silip, Bangka. Sekitar pukul 20.00, Jiessi Lenoardo, Kepala Dusun Bedukang, menerima kabar ada warga meninggal karena tambang longsor.

”Saya datang, korban sudah dibawa ke Sungai Liat, ndak jelas juga siapa yang meninggal,” katanya.

Awalnya, Jiessi mendapat laporan dari Polres Bangka. Katanya, ramai orang menonton korban. Jenazah langsung dibawa ke keluarga.

 

Warga, yang jadi pelimbang atau penambang timah dari limbah tambang tengah beristirahat di salah satu konsesi perusahaan di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2 Oktober 2016, Polsek, Polres dan Polda memasang police line pada alat tambang tradisional dan membawa ke kantor polisi.

Belakangan, korban tewas bernama Ahoi, pekerja tambang usia 35 tahun warga Sungailiat. Dia terkubur hidup-hidup saat bekerja.

Longsoran tanah dari dinding tambang mengubur Ahoi pada kedalaman hingga tujuh meter di tambang milik Mar, warga Pangkal Pinang.

Tambang itu diperkirakan hutan lindung terletak di Dusun Bedukang. Berdasarkan peta desa, di perbatasan antara hutan produksi dan hutan lindung. “Tata ruang Bangka memang tak jelas.”

Lokasi di pesisir Pantai Bedukang. Akses jalan dari pemadatan pasir. Kanan kiri jalan pepohonan dan semak-semak. Beberapa meranggas.

Sekitar 20 meter, tampak ‘bukit-bukit’ berwarna kecokelatan tak lain bekas galian tambang. Dulu, PT Timah,  pernah menambang dan belum reklamasi.

Alasannya, izin usaha pertambangan belum usai. Wargapun ada yang memanfaatkan lahan dengan menggali tambang.  Terlihat beberapa tenda pekerja tambang.

Barang-barang tampak berserakan. Mereka belum sempat membereskan sisa-sisa penggalian. ”Selang-selang masih penuh belum dicuci,” kata Jiessi.

Tenda sederhana, terbagi dua bagian. Dua bilik kamar tidur hanya terpisahkan kelambu. Samping kanan rumah ada dapur. Beras sekitar satu liter menumpuk tampak siap dimasak–kini dihinggapi lalat di atas piring.

Sisa-sisa kerak nasi kering di panci di tungku. Bekas kemasan minyak goreng, kardus mie instan, sayur mulai layu berserakan di dapur darurat itu. Di seberang ada satu timbangan pendulang timah.

Di dalam gubuk beratap anyaman daun ini terdapat dua kelambu dengan bantal masih tertinggal. Topi dan baju lupa dibawa, tertinggal di bangku santai depan tenda.

Satu galon air tampak baru terminum beberapa teguk, tutup masih berada di dekatnya.

Tambang ini terbilang seumur jagung, sekitar dua minggu, dan hari pertama Oktober 2016,  sudah ditinggal para pekerja.

”Mereka hanya bertiga, satu meninggal dunia,” katanya.

Kala saya ke sana, tiga hari setelah kejadian, 4 Oktober 2016, camui (lubang bekas tambang) terlihat tak kokoh. Tanah tak stabil.

”Itu (kecelakan kerja) seringkali, setiap tahun pasti ada, tapi meninggal baru sekali ini,” ucap Jiessi. Permasalahan ini seringkali tak terungkap, terkadang Jiessi hanya mendapat laporan.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung, orang meninggal di Bangka Belitung seringkali tak terdengar.

”Seringkali ditutup-tutupi pemilik tambang. Rata-rata meninggal sekitar 100-150 orang setiap tahun,” kata Ratno Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung.

 

Radiasi tinggi di kawasan tambang timah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Penyakit menyerang

Tak hanya itu, penyakit pun sering menjangkiti para pekerja. Hal itu tak dipungkiri oleh Agung Purnama, salah seorang anak dari ayah yang pernah bekerja di PT Timah.

”Makin hari makin drop saat menjadi pelimbang. Mungkin karena seringnya melimbang,” katanya.

Tahun 1998, krisis moneter terjadi dan PT Timah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Nama ayahnya masuk daftar. Kondisi keluarga makin terpuruk, sebagai tulang punggung keluarga dia harus menghidupi dua orang anak yang masih bersekolah.

Sebelumnya, dia bekerja di peleburan PT Timah, lalu memilih jadi petambang rakyat di salah satu hutan lindung, dekat Gunung Menumbing.

Penyakit paru-paru basah jadi salah satu penyakit yang dia derita, entah karena konsumsi rokok tinggi diperparah pekerjaan kini.

”Itu yang membuat ayah saya meninggal pada 2010,” katanya terbata.

Malaria, antara lain penyakit yang sering mengena warga. Supri, pemilik toko kelontong di Desa Air Ketok, Muntok,  mengatakan, penyakit itu sudah biasa bahkan endemik bagi para penambang timah.

”Mungkin karena sering terendam air basahan. Saya tak paham kaitannya. Itu sudah biasa.”

Berdasarkan Laporan Hasil Kajian Kesehatan Masyarakat di Daerah Tambang Kabupaten Bangka antara Kementerian Kesehatan dengan WHO menyebutkan ,  gejala kanker paru mirip dengan penyakit tuberkulosisi (TB) paru.

Pada 2000 dan 2001,  di RSU Sungai Liat dan Pangkal Pinang, tercatat 366 kasus dan bertambah pada 2008, penderita mencapai 1.149 kasus. Pada 2015,  naik jadi 1.330.

Dinas Kesehatan Bangka Belitung menyebutkan, wilayah ini rawan penularan malaria. Bahkan, masalah kesehatan muncul sejak zaman Belanda. Tiga tahun pertama bertugas di Belitung (1882-1885), delapan dari 11 pioneer Billiton Maatschappij tewas karena penyakit itu.

Bahaya paparan radioaktif dari timah kadang tak terasa langsung. Penelitian Batan berjudul Pemetaan Laju Dosis Radiasi Gamma di Wilayah Pulau Bangka tahun 2013 menyebutkan,  paparan radiasi gamma di Bangka lebih tinggi dibandingkan Jawa, sebagian besar Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara.

”Tanpa pengolahan memadai dan pengawasan, limbah radioaktif mengancam kesehatan warga di sekitar tambang,” kata Djarot Wisnubroto, Kepala Batan. Apalagi, mereka yang bekerja di sekitar itu.

Ratno Budi mengatakan, radiasi radioaktif tinggi karena perusahaan tambang timah tak mereklamasi lahan bekas tambang  hingga sangat membahayakan kesehatan warga. ”Hingga kini pemerintah belum serius lakukan pengamanan, kesehatan warga dan penambang dari paparan bahaya radioaktif,” katanya.

Kandungan radiasi alami di Babel cukup tinggi, yakni tiga sampai lima kali lebih tinggi dari normal, dengan kandungan bahan radioaktif radon dan thoron. Di Amerika Serikat, radon salah satu penyebab kanker paru-paru terbesar kedua.

Kadar radioaktif di wilayah sekitar open pit cukup besar, meskipun begitu, di tempat pencucian tailing, angka lebih tinggi. Kalau di open pit, saat diukur pakai alat pengukur radiasi 0,17 mikrosievert per jam. Di pencucian tailing yang berada di tengah pemukiman warga 0,94 µSv per jam. Normal berada di angka 0,09 µSv.

Tanah yang mengandung timah memiliki radiasi tinggi, terlebih lagi jika ditambang. Pada lokasi tailing maupun penyimpanan terbuka memungkinkan terjadi paparan radiasi.

 

Ponton yang mengeruk sungai mencari timah di Sungai Liat, Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Deru mesin ponton seakan mau memecahkan gendang telinga. Jarak rumah dengan penambangan di tepi sungai hanya 50 meter. Saat saya ke sana, ada sekitar empat ponton terparkir di tepian sungai. Yang paling besar, sedang bekerja.

Aw, inisial warga Kampung Ampui, Pangkal Pinang mengakui,  wilayah ini dipegang preman ”Kadang aparat keamanan bersegaram (polisi) yang berjaga,” katanya.

Kendaraan sering lalu lalang membawa hasil timah. Meski sering razia, Aw bilang, sebatas gertak sambal. ”Becandaan saja biar kami (masyarakat) tenang,” katanya.

Tak hanya suara berisik, dia seringkali kesulitan mendapatkan air bersih terlebih kalau musim kemarau. Aw, harus mengambil air berjarak 1-3 kilometer pakai kendaraan bermotor.

Nursubah, pemilik tanah yang bersampingan dengan penambang timah  itupun gusar. Tanah hendak dirampas, namun dia selalu menolak. Dia berusaha dan gigih, agar pemerintah mau mendengarkan aspirasi rakyat, salah satu dengan bersurat kepada walikota, kepolisian hingga presiden.

”Bahkan sering ada SMS hendak dibunuh karena penolakanku tapi kuabaikan.”

Penjagaan aparat kepolisian memang tak diragukan lagi. Salah satu, penambangan timah di Desa Mayang, Kecamatan Simpang Teritip, Bangka Barat.

Jak, nama samaran, sudah jadi penambang sejak 2010 hingga kini.

Secara ekonomi dia hidup lebih baik, karena harga timah melejit. Dalam seminggu, dia bisa peroleh Rp10-14 juta.

”Mungkin ini rezeki anak saya yang saat itu baru lahir,” katanya.

Nambang, pun tampak lebih menjanjikan dibanding kerja dia dulu sebagai tukang bengkel.

”Kami bisa bangun rumah, beli ini dan itu.”

Pilihan kerjaan memang tak banyak, seperti bertani dan berkebun, melaut maupun kerja kantoran.  Bagi yang tak memiliki pendidikan tinggi dan keterampilan khusus, pelimbang timah jadi pilihan mudah. Tawaran sekolah ke jenjang yang lebih tinggi pun dirinya tolak.

Desa Mayang, terbilang banyak tambang ilegal. Bahkan pasokan bensin untuk ponton pun kadang mendapatkan pasokan dari ‘aparat’. Katanya, polisi maupun TNI kadang antri di pom bensin buat masok bensin ke pemilik ponton. Kala itu, dia bisa meraup Rp5 juta dalam dua, tiga hari.

Jak bersyukur, masih mempertahankan kebun,  warisan turun-temurun. ”Istri saya masih berladang singkong dan lada untuk sehari-hari juga,” katanya. (Bersambung)

 

 

Sungai di Desa Air Ketok, Muntok, Bangka, yang dulu jernih kala ada tambang timah jadi keruh dan rusak. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version