Mongabay.co.id

Pengakuan Hutan Adat Minim, Perlu Terobosan pada 2018

Masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

Dalam dua tahun terakhir, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat dari peta indikatif wilayah adat 9,3 juta hektar, baru 17.092 hektar hutan adat dapat pengakuan. Konflik agraria dan kriminalisasi masyarakat yang berjuang mempertahankan wilayah mereka terus terjadi. Bagaimana prediksi kondisi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tahun ini dan langkah apa yang semestinya dilakukan ke depan?

”Luas hutan adat yang ditetapkan masih sangat sedikit. Masyarakat sangat sulit mewujudkan hak mencapai kesejahteraan,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN dalam Dialog Nasional Hak Tenurial Masyarakat Adat di Jakarta, baru-baru ini.

Dia tak puas dengan kebijakan selama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dia menduga, implementasi pengakuan hutan adat sangat lamban karena permasalahan administrasi dan tak ada kemauan politik serius.

Rukka mengkiritisi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Sejak 2011, katanya, Badan Pertanahan Nasional sudah nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan AMAN, soal pengakuan hutan adat, namun tak pernah terimplementasi.

”Prestasi mereka (Kementerian ATR/BPN-red) masih nol,” ucap Rukka.

Dia bilang, lembaga yang sebenarnya memiliki dasar dalam pengambilan kebijakan, melalui UU Pokok Agraria Tahun 1960 itu Kementerian ATR/BPN, namun hingga kini tak pernah memiliki mekanisme atau prosedur pengakuan masyarakat adat.

Bahkan, AMAN mendapatkan laporan, penyerahan sertifikat tanah oleh Presiden di desa-desa dalam implementasi reforma agraria dan perhutanan sosial ada yang ditarik kembali, hutan adat dapat pengakuan tetapi hutan sudah tak ada. Ada juga wilayah masih tumpang tindih dengan taman nasional dan hanya sebagian bisa terakses.

Bukan itu saja, tumpang tindih regulasi hutan adat pun jadi kendala. Untuk itu, katanya, perlu ada peraturan daerah buat payung hukum dan itu juga kendala.

Pada penghujung tahun, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) bersama AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyerahkan 777 peta wilayah adat seluas 9,3 juta hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria Tata Ruang/ BPN, dan Badan Informasi Geospasial.

Catatan AMAN, status pengakuan wilayah adat melalui produk hukum daerah hingga akhir 2017 ini ada 42 wilayah adat dengan luasan 746.500 hektar.

Ada 104 wilayah adat dengan luasan 2,1 juta hektar telah memiliki peraturan daerah yang mengatur pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat. Lalu 24 wilayah seluas 167.883 hektar sudah memiliki perda penetapan dan pengaturan. Jadi total, ada 170 wilayah adat seluas 3 juta hektar sudah memiliki perda penetapan dan pengaturan.

Sisanya, 607 wilayah dengan luas 6,3 juta hektar belum diakui hukum melalui produk hukum daerah.

Data AMAN, ada 3,39 juta hektar hutan adat tersebar di wilayah konsesi baik pertambangan, hutan tanaman industri dan perkebunan. Belum lagi, penetapan wilayah lindung dan konservasi tak jarang tumpang tindih dengan wilayah adat yang sudah terbangun fasilitas sosial dan fasilitas umum.

Menyikapi persoalan macam ini, kata Rukka, perlu penyelarasan kebijakan segera untuk percepatan kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat. ”Regulasi (yang ada-red) harus segera evaluasi, perlu terobosan dalam melihat kendala-kendala ini,” katanya.

Dia mengatakan, perlu ada lembaga khusus untuk percepatan perhutanan sosial yang merupakan salah satu Nawacita Jokowi.

Satgas Masyarakat Adat, yang sudah sejak lama jadi pembahasan harus segera terbentuk untuk membantu pemerintah dan DPR. Landasannya, kata Rukka, keputusan MK Nomor 35  soal hutan adat bukan lagi hutan negara. “Pastikan wilayah adat dikembalikan sepenuhnya.”

Sandra Moniaga, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan, kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria  belum menyentuh akar permasalahan. ”Program saat ini bersifat simbolik dan tambal sulam,” katanya.

Kalau pemerintah serius, katanya, perlu ada sebuah upaya lebih sistematis, misal, inventarisasi siapa saja masyarakat adat, baik ada atau tidaknya peraturan daerah. Ia bisa dilakukan Kementerian Dalam Negeri.

Begitu juga Kementerian ATR/BPN yang bisa menjadi leading sector  dalam inventarisasi wilayah yang diklaim masyarakat adat, hingga bersama-sama yang dilakukan KLHK dalam verifikasi.

”Reforma agraria dan perhutanan sosial itu kini tersandera birokrat yang tak mau mengakui kebijakan masa lalu adalah sebuah kekeliruan,” katanya.

Menurut Sandra, pengakuan masyarakat adat dan hak tenurial, jadi satu kebutuhan mendesak harus segera dilakukan negara. Jika tidak, hak-hak masyarakat yang lain akan terus dilanggar dan negara lakukan pembiaran atas pelanggaran HAM.

Terpisah, Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK menyebutkan, tantangan dalam pengakuan hutan adat adalah verifikasi dan perlu ada payung hukum, berupa peraturan daerah dan SK Bupati. Meski demikian, katanya, KLHK akan mempercepat proses 2,3 juta hektar yang kini dalam verifikasi.

 

Aksi masyarakat adat Meratus, sehari sebelum putusan sidang Trisno. Mereka mendesak pemerintah akui wilayah mereka dan bebaskan Trisno. Foto: AMAN

 

Pebisnis dan proyek strategis

AMAN mencatat, pada 2017 terus terjadi pelanggaran-pelanggaran hak-hak masayarakat dalam perjuangan mereka mempertahankan lahan.

Rukka contohkan, Masyarakat Adat Rendu menolak pembangunan bendungan di tanah keramat masyarakat adat meski sudah dihibahkan lahan lain untuk bendungan.

Kriminalisasi pun terjadi pada pejuang masyarakat adat di Seko kala berkonflik dengan PLTA. Lalu Trisno Susilo, di Kalimantan Selatan, yang berjuang bagi masyarakat adat Meratus, kena penjara empat tahun.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria, secara, tahun 2017 terjadi 659 konflik di berbagai wilayah Indonesia, dengan luasan 520.491,87 hektar, melibatkan 652.738 keluarga. Angka ini, alami kenaikan 50% dibandingkan 2016.

”Tahun ini penuh kekerasan,” kata Rukka.

Seringkali, katanya, kepentingan masyarakat adat berhadapan dengan kepentingan pengusaha dan cukong-cukong. Begitu juga negara, belum penuh hadir dalam keberpihakan kepada masyarakat adat.

Rukka mengatakan, masyarakat adat tak memerlukan lagi retorika ataupun pencitraan.

Sandra menilai, kriminalisasi menjadi konsekuensi logis karena negara belum mengakui masyarakat adat secara komprehensif. Selama belum pengakuan menyeluruh, katanya, masyarakat adat selalu jadi target kriminalisasi.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional AMAN mengatakan, kriminalisasi sudah terpetakan dan mengikuti program prioritas pemerintah. Mulai dari di lahan-lahan hak pengusahaan hutan (HPH), tambang, sawit maupun hutan tanaman industri.

Proyek-proyek infrastruktur sebagai program prioritas pemerintah, katanya, juga ciptakana masalah bagi masyarakat adat karena berjalan tanpa ada penataan kepastian hak.

Dia contohkan, pembangunan bendungan seringkali terjadi konflik dengan masyarakat. Dia nilai, pemerintah tidak siap dengan mekanisme penyelesaian konflik.

AMAN menawarkan,  negara memberikan hak terlebih dahulu kepada masyarakat hingga ada negosiasi. ”Gimana ada negosiasi jika tidak ada kepastian hak diantara orang yang berdiskusi.”

 

Bagaimana RUU masyarakat adat?

Salah satu rancangan UU soal masyarakat adat, masih terus dibahas di DPR. Luthfi A Mutty, anggota Komisi IV DPR mengatakan, dengan RUU masyarakat adat, birokrasi yang mengharuskan peraturan daerah bisa terpangkas. ”Pengakuan masyarakat adat cukup melalui SK Bupati, karena kalau lewat perda, lama sekali, ada tarik menarik kepentingan politik,” katanya.

Sayangnya, hingga kini, posisi RUU masyarakat adat seakan jalan di tempat. Periode 2009-2014, RUU ini sudah sempat pembahasan hingga tahap akhir, tetapi tak berhasil disahkan.

Dia khawatir, RUU ini akan alami nasib sama dengan periode sebelumnya. Dia menilai, baik pemerintah maupun investor tidak mendukung RUU ini.

Lutfhi mencontohkan, jika korporasi mau menginvestasikan lahan,  perusahaan hanya datang ke lembaga pemerintahan. Dengan ada UU masyarakat adat, harus berunding pula dengan masyarakat adat. “Jika pemerintah setuju, masyarakat adat tidak, tidak akan bisa.”

RUU masyarakat adat kembali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2018, dan sudah memasuki tahap harmonisasi di Badan Legislasi. Selanjutnya, pembicaraan tingkat pertama dengan pemerintah sudah bisa dilakukan.

 

 

Exit mobile version