Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka (Bagian 2)

Anak-anak bermain bebas di dekat bekas kolam tambang timah yang menganga tanpa pagar sama sekali. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Hari makin siang. Udara kian terik. Sepeda motor yang saya tumpangi bersama Suwito,  terus melaju pelahan melewati jalanan tanah menanjak dan berlubang agar tak terperosok.

Hari itu, kami hendak melihat danau kaolin di konsesi mitra perusahaan PT Timah, CV Setia Karya Jaya di Air Ketok, Muntok, Bangka Barat.

”Ini dahulu anak murid saya yang mengajak kesini, katanya ada danau bagus,” kata Wito.

Gersang. Selintas mata memandang, hanya ada gunung tailing berwarna coklat. Ia hasil kerukan tanah yang telah diambil timahnya.

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka (Bagian 1)

Beberapa kolam timah tampak berwarna dari kecoklatan hingga biru berkilau. Tampak beberapa mesin beroperasi meski tak tampak ada orang bekerja.

Papan nama perusahaan terpampang. Sedikit menanjak, terlihat danau kaolin, sepintas indah dengan air biru. Dua anak tampak bermain di salah satu sisi, hanya ada tumbuhan kecil di sekitar.

Supri, pemilik kelontong di jalan utama menuju konsesi itu bercerita, 10 tahun lalu, lahan konsesi ini hutan dan tempat berburu, serta bertani.

Kala itu, warga mendapatkan dana pergantian lahan Rp5 juta-Rp6 juta tanpa ada perhitungan permeter. Semua terbabat habis tanpa sisa.

Kala perusahaan sosialisasi kerab membagi-bagikan sembako seperti beras, mie instans dan perlengkapan dapur lain.

Supri sempat jadi penambang timah rakyat tetapi hanya bertahan sekitar enam bulan. ”Badan tak enak, gatal dan sering sakit-sakitan. Mending saya berjualan,” katanya.

Ayah Supri,  dulu petani. Keluarga dia, dulu sempat bertahan di lahan pertanian mereka yang ada di hulu sungai.

Dulu, katanya, sungai berair jernih, tak pernah surut, banyak ikan dan , biasa untuk mandi maupun bertani. Sungai terletak 200-300 meter dari rumahnya itu jadi sumber kehidupan warga sekitar.

Kini, kala kemarau datang, air mulai susah. Kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan buah-buahan harus datang dari kota.

 

Untuk berkebun, Supri harus menempuh jalan sekitar dua kilometer. Penambangan besar-besaran di hulu berdampak pada limbah di sungai. Air tak lagi jernih, tanah sekitar kekurangan humus.

Data Walhi memperkirakan, 15-20 tambang rakyat muncul dalam tiga bulan. Pertahun, konversi lahan pertanian sekitar 5.400 hektar di tiap kabupaten di Bangka Belitung.

Ratno Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung mengatakan, sekitar 230.000 hektar lahan pertanian masyarakat terkavling perusahaan sawit. Meskipun,  belum diketahui berapa yang sudah jadi kebun.

“Selama 10 tahun, sejak otonomi daerah lahan produktif menyusut 320.760 hektar demi pasokan kebutuhan timah di pasar global,” kata Uday, biasa dipanggil.

Friends of Earth Internasional pernah meneliti soal perusahaan produsen Apple dan Samsung pakai bahan timah dari Pulau Bangka. Dari 5,6 miliar gadget di dunia memerlukan 39.200 ton timah solder, sepertiga dari Bangka Belitung. Setiap smartphone mengandung kurang lebih tujuh gram timah.

Pada 2012, hampir 20 pemilik perusahaan telepon selular dan elektronik bertemu dan berdiskusi dengan Walhi Bangka Belitung, mulai Apple, Samsung, dan lain-lain. “Kami meminta mereka memastikan timah yang dibeli tak bermasalah,” kata Uday.

Toni Batubara, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Babel merasa kesulitan mendapatkan data konversi lahan tidur di Babel. Lahan-lahan itu, katanya, tak terdata detail, terlebih ada tumpang tindih wilayah.

Tambang timah Babel, kata Toni,  tak hanya mengancam lahan pertanian warga, juga tumpang tindih dengan hutan konservasi dan kawasan lindung.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 357,  luas hutan di Babel 657.510 hektar. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Direktorat Planologi 2014,  ada tujuh perusahaan tambang seluas 3.246,65 hektar di hutan konservasi. Lima perusahaan non clear and clean.

Sedangkan, tambang di kawasan hutan lindung ada 44 perusahaan, baik yang operasi produksi maupun survei atau eksplorasi dengan luas 52.324,64 hektar. Ada 23 perusahaan, berproduksi dan lima eksplorasi masih non CnC.

Berdasarkan data BPS 2015, luas hutan berkurang jadi 472.790,25 hektar karena ada pelepasan. Areal perkebunan rakyat,  komoditi karet, kelapa dan sawit mengalami kenaikan dibandingkan lada dan kopi.

Sedangkan, produktivitas padi sawah turun sekitar 22,51% atau 0,75 ton per hektar, padi ladang naik 2,45% atau 0,43 ton per hektar.

 

 

 

***

Sejak tahun 2000-an, pertambangan timah inkonvensional makin menjamur. Banyak tambang rakyat muncul, baik di lahan baru maupun bekas tambang PT Timah.  Kondisi ini terdorong setelah ada UU Otonomi Daerah. Juga Keputusan Menperindag Nomor 146/MMP/Kep/1999 tertanggal 22 April 1999 yang menyatakan timah sebagai barang bebas.

Pemerintah Bangka Belitung pun menerbitkan peraturan daerah soal pengelolaan pertambangan umum, dan penetapan dan pengaturan tatalaksana barang strategis pada 2011, serta Perda Pajak Pertambangan Umum dan Minerba. Semua itu, melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah agar mandiri.

Meski mengatrol, tetapi tak bisa mengontrol terutama dalam mengawasi konsesi, terlebih  di darat yang masuk kawasan hutan.

Rustam Effendi, Gubernur Bangka Belitung, sebelumnya, pada Oktober 2016 di Pangkal Pinang, menyatakan keseriusan benahi tambang timah meskipun diakui tak mudah.

Wujud keseriusan itu, dia membentuk Tim Terpadu Penanganan Masalah Pertambangan Timah di Bangka Belitung, dipimpin Yan Megawandi, Sekretaris Daerah Babel.

Temuan tim ini, dilaporkan berkala kepada menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Kala itu, Rustam mengatakan, tim ini sepakat tambang ilegal segera tuntas. ”Selain merugikan negara, ada yang tidak kalah penting adalah pengawasan lingkungan kian sulit,” katanya.

Setelah tim, akan tindaklanjut dengan membangun posko khusus di wilayah rentan tambang ilegal. Meski terkendala anggaran, dia yakin mampu mengatasi. ”Tahun 2018 sudah harus tuntas,” katanya.

Tambang rakyat banyak beroperasi di PT Timah dan PT Kobatin. Usaha tambang-tambang sekitar 50-100 hektar ini tak pakai amdal. Amdal berlaku kala luasan sampai 300 hektar, reklamasi pun terabaikan.

 

Lada, salah satu komoditas pertanian andalan, akankah tergerus berganti tambang timah? Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pada 12 Mei 2017, Erzaldi Rosman, Gubernur Babel yang baru dilantik berjanji, lakukan sinkronisasi program antardaerah.

Sinkronisasi, katanya, guna meningkatkan taraf hidup masyarakat karena komoditas andalan macam lada, karet hingga timah, terus alami penurunan.

Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan PT Timah berkomentar. Dia bilang, pada prinsipnya PT Timah hanya boleh menambang dan memperoleh bijih timah dari IUP sendiri dengan produksi sudah clear and clean.

”Jelas kami merasa dirugikan (ada tambang ilegal). Tak hanya bagi negara tapi lingkungan juga. Apalagi, kegiatan itu biasa dilakukan di lahan yang sudah reklamasi,” katanya.

 

Bagaimana reklamasi?

Lubang-lubang atau kolong-kolong tambang menganga bak kolam atau danau-danau bertebaran di berbagai penjuru Bangka dan Belitung. Kalau ibarat wajah, Bangka Belitung, begitu banyak bopeng. Rusak.

Uday mengatakan, reklamasi di Bangka Belitung, tak berjalan. Reklamasi biasa dilakukan saat izin habis. Rentang waktu itu, katanya,  seringkali menimbulkan masalah, seperti warga masuk ke kolong (lubang bekas tambang-red) menyebabkan bibit penyakit sampai degradasi lahan.

”Reklamasi memerlukan proses panjang dan tak gampang. High cost,” katanya.

 

Wilayah yang ditambang warga di Dusun Bedukang. Tampak pondok dibangun untuk tempat berteduh kala sedang menambang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, kata Uday, dana jaminan reklamasi dan pengawasan selama ini berada di kabupaten/kota—sebelum UU Pemerintahan Daerah 2014.

Kini, katanya, sedang penataan bersama gubernur guna melakukan sinkronisasi luasan lahan dengan dana reklamasi.

Selama ini, kata Agung, PT Timah terkendala dalam reklamasi karena ada ketakutan wilayah kembali digali penambang ilegal.

”Proses pengembalian lahan masih tahap diskusi,  akan kita jadikan kawasan strategis untuk wilayah desa,” katanya.

Sejauh ini, sudah ada pilot project di Bangka Tengah dan Bangka Timur, yakni perternakan sapi seluas 20 hektar.

Toni Batubara, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Bangka Belitung mengatakan, pemulihan dan mengelola lahan bekas tambang, memerlukan waktu tiga sampai lima tahun.

“Peternakan lebih mudah dibandingkan pertanian. Pengembalian unsur hara dari tanah memerlukan waktu cukup lama,” katanya seraya bilang rentang waktu pengembalian fungsi vegetasi produktif memerlukan 20 tahun.

Peternakan, katanya, jadi pilihan bijak. Selain, mengakomodasi keperluan konsumsi provinsi, misal, pasokan daging sapi juga kotoran dari peternakan dapat membantu pemulihan lahan terdegradasi.

”Kami per kegiatan pada wilayah eks tambang Rp1 miliar, untuk operasional sendiri Rp10 juta per hektar,” katanya. Pengelolaan ini, katanya,  pemerintah bekerja sama dengan swasta.

Hingga kini, katanya,  pemerintah masih sulit mendapatkan berapa luas lahan tidur di Bangka Belitung,  karena banyak tumpang tindih wilayah.

Uday mengatakan, reklamasi tambang terbuka seharusnya saat penggalian,  tanah (top soil) disimpan dulu sementara.  Saat penambangan selesai, top soil bisa terpakai lagi untuk reklamasi.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Bangka Belitung, realisasi reklamasi PT Timah baru 12,58% sekitar 201,04 hektar.

”Itu sudah penanaman dan difungsikan lagi,” kata Uday. Ada 50,29% lahan belum reklamasi (lihat grafis).

Menurut Agung, dalam lima tahun sudah mereklamasi 503 hektar dan penataan seluas 899 hektar.

Lahan eks tambang itu, katanya, ditanami beragam tanaman dan bibit ikan, seperti jambu mente, pelalawan, sangon, dan tanaman lokal lain. (Bersambung)

 

Lubang tambang di konsesi PT Timah di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

  

Air sungai yang dulu jernih, jadi coklat keruh karena tambang-tambang timah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version