Mongabay.co.id

Kebijakan Pelarangan Cantrang Seharusnya Tidak Ada, Kok Bisa?

Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan larangan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan per 1 Januari 2018. Pelarangan tersebut sesuai dengan aturan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Salah satu API yang ikut dilarang adalah cantrang. Alat tangkap tersebut selama ini banyak digunakan oleh nelayan dan pemilik kapal yang beroperasi di wilayah pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Cantrang dilarang, karena alat tangkap tersebut dinilai tidak ramah lingkungan dan itu bertentangan dengan visi dan misi Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan kesehatan ekosistem di laut.

baca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang

Akan tetapi, pelarangan tersebut, bagi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan seharusnya tidak diberlakukan. Mengingat, hingga saat ini masih ada pro dan kontra tentang kelebihan dan kekurangan alat tangkap tersebut. Pendapat tersebut, kata dia, berasal dari para pakar akademisi yang ada di Indonesia.

“Cantrang sebenaranya sudah saya serahkan ke KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Tapi kita harus bisa menyelesaikannya. Jangan sampai berlarut-larut,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (9/1/2018).

baca : Ada Pelanggaran HAM dalam Pelarangan Alat Tangkap Cantrang?

 

Ilustrasi, Alat tangkap ikan jenis jaring pukat Tarik (Seine Nets) . Foto : lifegate.com

 

Agar cantrang bisa tetap beroperasi, Luhut mengatakan, perlu ada pengaturan yang jelas dan ketat oleh KKP yang mewakili Pemerintah Indonesia. Pengaturan itu, mencakup tata cara dan teknis operasional cantrang di seluruh Indonesia.

“Sebaiknya memang tidak di seluruh Indonesia, diatur untuk beroperasi di wilayah Selatan (Indonesia) saja,” jelasnya.

Menurut Luhut, mengingat cantrang adalah API yang kontroversial dan masih dipertanyakan manfaatnya untuk alam, sebaiknya penggunaannya tidak sampai ke dasar air. Dengan kata lain, harus diatur lebih detil sampai berapa kedalaman alat tangkap tersebut boleh digunakan.

“Jadi, ujung-ujungnya adalah ini soal pengawasan juga. Ini masih jadi kelemahan kita. Kalau ada pengawasan, maka cantrang masih bisa dioperasikan, tetapi dengan syarat yang disebut tadi itu,” tuturnya.

baca : Kenapa  Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?

Selain mengatur soal kedalaman di dalam air, Luhut menjelaskan, cantrang seharusnya bisa tetap dioperasikan oleh nelayan dan pemilik kapal ikan, asalkan panjangnya tidak mencapai berkilo-kilo meter. Jika ternyata panjangnya mencapai berkilo-kilometer, maka sudah pasti itu tidak boleh dioperasikan karena hanya akan merusak ekosistem di laut.

“Tadi ada doktor UI dari Fakultas Matematika melakukan kajian bahwa cantrang itu menurut mereka jangan digunakan sampai ke bawah. Cantrang yang benar menurut mereka itu bisa diatur juga, setahun hanya delapan atau 10 bulan di area tertentu,” kata dia.

Menurut Luhut, dengan diberlakukan sistem pengendalian untuk operasional cantrang, maka kitu akan membantu produksi perikanan tetap baik. Hal itu, karena ikan yang ada akan terus diambil secara rutin dan itu memperpanjang siklus perkembangbiakan.

“Ini sekaligus bisa menjadi solusi bagi kinerja perikanan nasional. Mengingat, saat ini kinerjanya sedang turun. Sementara, di sisi lain Presiden (Joko Widodo) menginstruksikan kepada KKP untuk fokus meningkatkan produksi dan ekspor perikanan,” tandas dia.

baca : Nelayan Cantrang Bebas dari Pidana di Atas Laut, Tapi ….

 

Ilustrasi, alat tangkap ikan berupa jaring pukat hela (trawls). Foto : afma.gov.au

 

Status Cantrang

Dalam rapat koordinasi yang dihadiri empat kementerian di bawah Kemenko Maritim, Luhut menyebutkan, dia sudah menjelaskan tentang perkara cantrang kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Kata dia, cantrang sudah harus diperjelas statusnya dan tidak boleh lagi mengundang pro dan kontra.

“Cantrang sudah diperintahkan supaya jelas statusnya, jangan macam-macam. Saya diberitahu Pak JK (Jusuf Kalla, Wakil Presiden) agar polemik cantrang ini bisa segera dihentikan. Jangan ada aneh-aneh dulu,” tegas dia.

Aksi macam-macam yang dimaksud Luhut, tidak lain adalah aksi protes yang dilakukan nelayan dan juga pihak yang tidak setuju dengan pemberlakuan larangan cantrang. Banyak di antara yang melakukan protes tersebut, diketahui sudah tidak bisa melaut lagi karena ketiadaan alat tangkap baru yang direkomendasikan KKP sebagai API ramah lingkungan.

“Saya tidak mau lagi ada kebijakan-kebijakan yang membuat nelayan tidak nyaman. Jangan terjadi lagi seperti itu. Nelayan ini butuh dukungan Pemerintah agar bisa berkembang,” tegas dia.

baca : Pengguna Alat Tangkap Cantrang Diinstruksikan Gunakan Gillnet Millenium

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja mengungkapkan, pada awal penggunaannya, cantrang adalah API yang ramah lingkungan. API tersebut muncul untuk menggantikan API yang tidak ramah lingkungan dan dilarang oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980.

“Dulu tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Lalu muncul cantrang. Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi,” ungkap dia.

Menurut Sjarief, cantrang yang diizinkan sebenarnya tidak boleh menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan manusia. Namun, saat ini cantrang justru jaringnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, menggunakan pemberat, dan ditarik mesin.

Di Indonesia, cantrang banyak digunakan di wilayah Pantai Utara Jawa dan sebagian kecil di sejumlah daerah lain di luar Pulau Jawa. Dari data yang dirilis KKP, pada 2015 tercatat ada 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.529 unit kemudian dilakukan penggantian dengan API ramah lingkungan.

“Namun, meski proses penggantian masih terus berlangsung hingga sekarang, di awal 2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.357 unit. Ini seperti ada kecurangan di tingkat pengguna API,” jelasnya.

baca : KIARA : KKP Harus Segera Ganti Cantrang di Seluruh Indonesia

 

Hasil tangkapan ikan mulai berkurang sejak 2003 lalu seiring dengan tingginya aktvitas pengguanaan alat tangkap ikan trawl dan cantrang di perairan Desa Pancana, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.. Ikan awu-awu sebagai ikan khas daerah ini mulai menghilang. Kini, tak banyak ikan yang bisa diperoleh nelayan tiap harinya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkomentar tentang semakin banyaknya desakan dari pengguna cantrang untuk menambah lagi masa transisi. Menurut dia, tuntutan itu tidak akan dipenuhi karena bisa membahayakan ekosistem laut di Indonesia.

Saat diberlakukan pelarangan pada 2015, Susi menjelaskan, dia mendapat penolakan dan Ombusdman RI memberinya rekomendasi untuk melaksanakan masa transisi. Kata dia, karena rekomendasi tersebut dan juga Presiden RI Joko Widodo, pelarangan akhirnya ditunda dan diganti dengan pelaksanaan masa transisi.

“Sekarang masih lagi minta perpanjang-perpanjang terus. Kalau dikasih terus bisa-bisa keburu habis ikan kita,” tutur dia.

Susi berpendapat, penggunaan cantrang selama ini menjadi penyebab konflik antar nelayan dan itu sudah terjadi sejak dulu sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No.39/1980. Kata dia, banyak nelayan yang tidak suka dengan kapal yang menggunakan cantrang.

“Jadi banyak yang menangkap itu bukan aparat, tetapi nelayan langsung yang melaporkan, karena mereka tidak mau cantrang masuk daerah mereka. Cantrang ini menghabiskan ikan dan merusak (ekosistem),” tegas dia.

 

Alat Tangkap Terlarang

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Pemerintah resmi melarang alat penangkapan ikan (API) yang dianggap bisa merusak lingkungan.

API yang dilarang itu adalah:

Jenis alat tangkap ikan yang dilarang oleh KKP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015

 

Ketiga jenis API yang dilarang itu, karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh itu, KKP merilis, pelarangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.

 

Exit mobile version