Mongabay.co.id

Presiden Janjikan Solusi untuk Cantrang, Seperti Apa?

Polemik alat tangkap cantrang yang dikategorikan sebagai alat tangkap terlarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) semakin saja meruncing. KKP yang berperan sebagai Pemerintah, tak juga berhasil menyelesaikan polemik yang melibatkan nelayan, pemilik kapal, dan pengusaha. Kondisi itu memaksa Presiden RI Joko Widodo untuk turun langsung.

Dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah, Senin (15/1/2018), Presiden meluangkan waktunya untuk menemui 16 nelayan yang biasa menggunakan alat tangkap cantrang. Ke-16 nelayan tersebut, juga mewakili nelayan di Jawa Tengah, khususnya yang berasal dari Tegal, Batang, Pati, dan Rembang yang selama ini menjadi basis pengguna cantrang.

baca : Kebijakan Pelarangan Cantrang Seharusnya Tidak Ada, Kok Bisa?

Saat bertatap muka langsung dengan pencari nafkah di laut tersebut, Presiden mengutarakan janjinya untuk ikut menyelesaikan persoalan cantrang yang sudah meluluhlantakkan perekonomian di pesisir Pantai Utara Jawa. Presiden berjanji akan mencari solusi terbaik yang dilakukan bersama antara Pemerintah RI dengan nelayan untuk menyelesaikan polemik tersebut.

“Kita carikan solusi agar nelayan ini juga bisa melaut dengan baik,” ucap Presiden di dalam rumah makan Sate Batibul Bang Awi, Tegal.

 

Presiden Joko Widodo didampingin Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam kunjungan kerja ke Tegal, Jateng, Senin (15/1/2018), menemui 16 nelayan yang biasa menggunakan alat tangkap cantrang. Foto : Setkab

 

Dengan mencari solusi, Presiden mengatakan, dia meminta kepada nelayan agar alat tangkap yang tidak ramah lingkungan untuk segera diganti. Dengan demikian, dalam melakukan penangkapan ikan di laut, alat tangkap yang digunakan tidak akan merusak ekosistem.

“Tapi juga dari sisi penggunaan alat-alat yang berdampak tidak baik bagi lingkungan itu juga tidak (merusak),” kata Presiden usai meninjau program padat karya di Dukuh Lo, Kecamatan Lebak Siu, Kabupaten Tegal.

Selain berupaya mencarikan solusi, pada kesempatan tersebut Presiden juga mendengarkan masukan dari para nelayan yang hadir. Masukan tersebut, adalah berupa usulan agar Pemerintah melakukan uji petik yang melibatkan para ahli untuk membuktikan apakah cantrang merusak lingkungan atau tidak.

baca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang

Selain usulan tersebut, para nelayan juga mengusulkan, selama uji petik dilaksanakan, pelarangan alat tangkap cantrang yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2018 sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, sebaiknya dilegalkan dulu.

Usulan yang diutarakan para nelayan tersebut, langsung ditanggapi Presiden Joko Widodo. Dia mengaku paham apa yang dirasakan nelayan saat ini berkaitan pelarangan alat tangkap cantrang. Oleh itu, dia juga mengaku sangat memperhatikan kesejahteraan para nelayan.

Presiden kemudian menjanjikan, apa yang menjadi keresahan dan usulan para nelayan, selanjutnya akan dibahas secara bersama pada Rabu (17/1/2018) mendatang di Istana Kepresidenan Jakarta. Pembahasan tersebut dijanjikan akan melibatkan para wakil nelayan, bupati dan Menteri Kelautan dan Perikanan di di Istana Kepresidenan Jakarta.

“Nanti hari Rabu, intinya tadi kita sudah bertemu, sudah sama-sama ketemu solusinya. Hanya nanti lebih didetailkan lagi di Jakarta,” tutur Presiden.

baca : Ada Pelanggaran HAM dalam Pelarangan Alat Tangkap Cantrang?

 

Kapal yang menggunakan pukat hela (trawl) untuk menangkap ikan. Foto : youtube

 

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengaku sudah berupaya keras untuk menyelesaikan persoalan cantrang yang banyak digunakan nelayan di wilayahnya. Dia juga mengaku sudah bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk membahas secara detil dan teknis tentang upaya penyelesaian masalah tersebut.

“Minggu lalu saya sudah mengajukan dan bertemu dengan Bu Susi dan Pak Pratikno untuk membahas perpanjangan cantrang dan dibantu pembiayaan, serta pelatihan penggunaan alat tangkap baru,” klaim dia.

Untuk diketahui, pada Rabu (17/1/2018), nelayan dari sejumlah daerah direncanakan akan menggelar aksi di Jakarta untuk menuntut pencabutan status pelarangan cantrang sebagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Aksi tersebut dijanjikan akan melibatkan puluhan ribu nelayan dari berbagai daerah.

baca : Kenapa  Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?

 

Fungsi Awal

Tentang polemik pelarangan cantrang tersebut, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto menjelaskan, penggunaan cantrang sebagai alat tangkap, dewasa ini sudah jauh dari fungsi dan bentuk awal. Sekarang ini, cantrang fungsi dan wujudnya sudah menyerupai alat tangkap trawl atau pukat harimau.

Menurut Luky, karena perubahan fungsi tersebut, dia menilai penggunaan cantrang untuk saat ini sebaiknya harus ditertibkan. Hal itu, karena cantrang yang ada sekarang, wujud dan fungsinya sudah dimodifikasi sedimikian rupa hingga menyerupai pukat harimau. Sementara, alat tangkap tersebut, sudah jelas bisa merusak ekosistem karena penggunaannya langsung dengan menggunakan pemberat di dasar laut.

“Cantrang itu sekarang tak ubah seperti Trawl. Itu karena cantrang yang dulu muncul di awal, kemudian dimodifikasi hingga seperti Trawl,” tutur dia di Jakarta, Senin (15/1/2018).

baca : Catatan Akhir Tahun : Penggantian Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Berjalan Mulus atau Tidak?

 

Ilustrasi, Alat tangkap ikan jenis jaring pukat Tarik (Seine Nets) . Foto : lifegate.com

 

Penyebab dilakukannya modifikasi cantrang oleh nelayan dan pemilik kapal, Luky mengungkapkan, karena para pencari ikan sudah tidak menemukan tangkapan di kedalaman tengah atau antara dasar dan permukaan laut. Mengingat tidak ada lagi tangkapan atau sudah overfished, maka pencarian diarahkan langsung ke dasar laut.

“Sekarang, dengan penggunaan cantrang yang menyerupai Trawl, maka pencarian dipusatkan di dasar. Karena itu, alat tangkapnya ditambahkan pemberat yang bisa menarik jaring. Sekali tarik, semua spesies dan biota laut yang ada akan ikut terbawa,” tutur dia.

Luky Adrianto menambahkan, penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang yang sudah dimodifikasi tersebut, rerata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan surimi yang dilakukan sejumlah pabrik besar di pulau Jawa. Bahan baku surimi, kata dia, memang harus diambil dari ikan segar yang baru ditangkap dan juga dengan harga terjangkau.

“Oleh itu, karena cantrang dilarang, (pabrik) Surimi banyak yang terpukul usahanya. Itu karena pasokan sudah tidak ada. Kalaupun diambil dari Indonesia Timur, pengusaha tidak mau. Selain harga yang mahal, juga karena ikan yang dikirim sudah tidak segar karena perjalanan yang lama,” tegas dia.

Luky menerangkan, di negara seperti Jepang, Malaysia, dan Australia, penggunaan alat tangkap trawl hingga saat ini masih diperbolehkan oleh otoritas Pemerintah setempat. Tetapi, penggunaan alat tangkap tersebut dilakukan melalui pengaturan zonasi wilayah dan juga penegakan hukum yang ekstra. Dengan demikian, selain tidak bisa digunakan di sembarang perairan, jika ada pelanggaran, maka penegakan hukum akan dilakukan.

Sementara, agar polemik cantrang bisa segera diselesaikan, Luky memberi saran kepada Pemerintah, segera berlakukan moratorium cantrang di Pantura Jawa. Moratorium dilakukan, agar ekosistem yang sudah mulai rusak bisa kembali pulih.

baca : KIARA : KKP Harus Segera Ganti Cantrang di Seluruh Indonesia

Selama proses moratorium berlangsung, Luky menyebutkan, para nelayan dan pemilik kapal diberikan kuota penangkapan di wilayah Indonesia Timur. Solusi tersebut, selain memberikan waktu ekosistem Panturan kembali pulih, juga memberi kesempatan nelayan dan pemilik kapal untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

“Jika sudah begitu, maka uang yang didapat dengan melaut di Indonesia Timur, bisa digunakan untuk membayar utang bekas pinjaman untuk pembuatan cantrang,” tutur dia.

 

Ilustrasi, alat tangkap ikan berupa jaring pukat hela (trawls). Foto : afma,gov.au

 

Status Cantrang

Sebelumnya, dalam rapat koordinasi yang dihadiri empat kementerian di bawah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan, dirinya sudah menjelaskan tentang perkara cantrang kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Kata dia, cantrang sudah harus diperjelas statusnya dan tidak boleh lagi mengundang pro dan kontra.

“Cantrang sudah diperintahkan supaya jelas statusnya, jangan macam-macam. Saya diberitahu Pak JK (Jusuf Kalla, Wakil Presiden) agar polemik cantrang ini bisa segera dihentikan. Jangan ada aneh-aneh dulu,” tegas dia.

Aksi macam-macam yang dimaksud Luhut, tidak lain adalah aksi protes yang dilakukan nelayan dan juga pihak yang tidak setuju dengan pemberlakuan larangan cantrang. Banyak di antara yang melakukan protes tersebut, diketahui sudah tidak bisa melaut lagi karena ketiadaan alat tangkap baru yang direkomendasikan KKP sebagai API ramah lingkungan.

“Saya tidak mau lagi ada kebijakan-kebijakan yang membuat nelayan tidak nyaman. Jangan terjadi lagi seperti itu. Nelayan ini butuh dukungan Pemerintah agar bisa berkembang,” tegas dia.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja mengungkapkan, pada awal penggunaannya, cantrang adalah API yang ramah lingkungan. API tersebut muncul untuk menggantikan API yang tidak ramah lingkungan dan dilarang oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980.

“Dulu tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Lalu muncul cantrang. Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi,” ungkap dia.

Menurut Sjarief, cantrang yang diizinkan sebenarnya tidak boleh menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan manusia. Namun, saat ini cantrang justru jaringnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, menggunakan pemberat, dan ditarik mesin.

Di Indonesia, cantrang banyak digunakan di wilayah Pantai Utara Jawa dan sebagian kecil di sejumlah daerah lain di luar Pulau Jawa.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkomentar tentang semakin banyaknya desakan dari pengguna cantrang untuk menambah lagi masa transisi. Menurut dia, tuntutan itu tidak akan dipenuhi karena bisa membahayakan ekosistem laut di Indonesia.

Saat diberlakukan pelarangan pada 2015, Susi menjelaskan, dia mendapat penolakan dan Ombusdman RI memberinya rekomendasi untuk melaksanakan masa transisi. Kata dia, karena rekomendasi tersebut dan juga Presiden RI Joko Widodo, pelarangan akhirnya ditunda dan diganti dengan pelaksanaan masa transisi.

“Sekarang masih lagi minta perpanjang-perpanjang terus. Kalau dikasih terus bisa-bisa keburu habis ikan kita,” tutur dia.

 

Kapal yang menggunakan jaring pukat tarik. Foto : greenpeace.org.uk

 

Susi berpendapat, penggunaan cantrang selama ini menjadi penyebab konflik antar nelayan dan itu sudah terjadi sejak dulu sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres Nomor 39 Tahun 1980. Kata dia, banyak nelayan yang tidak suka dengan kapal yang menggunakan cantrang.

“Jadi banyak yang menangkap itu bukan aparat, tetapi nelayan langsung yang melaporkan, karena mereka tidak mau cantrang masuk daerah mereka. Cantrang ini menghabiskan ikan dan merusak (ekosistem),” tegas dia.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Pemerintah resmi melarang alat penangkapan ikan (API) yang dianggap bisa merusak lingkungan.

API yang dilarang itu adalah:

Jenis alat tangkap ikan yang dilarang oleh KKP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015

 

Ketiga jenis API yang dilarang itu, karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh itu, KKP merilis, pelarangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.

 

Exit mobile version