Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka-Belitung (Bagian 3)

Ponton timah di Bangka, menyebabkan air keruh dan laut rusak. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Pukul 4.00-5.00 sore, Pesisir Pantai Rebo, Sungailiat, Bangka, tampak ramai. Beberapa nelayan saling lempar tawa mengisi waktu sebelum melaut.

Sung Lim Siaw, tiap hari menempuh jarak enam kilometer menuju ‘kantornya.’  Ya, kantor Lim di Pesisir Pantai Rebo.

Lim, Ketua Kelompok Nelayan Pantai Rebo, Sungailiat. Sejak sekolah dasar,  34 tahun lalu, dia sudah hobi ikut kakeknya memancing. Tak perlu ke tengah laut, mencari ikan di pinggir pantai saja, cukup tarik pukat.

”Besarnya sampai selengan. Hanya di pinggir sini,” katanya.

Kini, dia khawatir karena kondisi laut makin memprihatinkan.

”Sekarang 200-300 kilogram saja ikan kecil, bagan yang di tengah kadang tak dapat,” katanya.

Pada tahun 1995,  kapal isap produksi (KIP) mulai masuk. Sempat pergi, pada 2006, kembali lagi. Lebih parah tahun 2009-2010, ada 11 KIP bertengger dan terlihat dari pesisir pantai.

Nelayan bentrok dengan PT Timah terjadi berkali-kali, tanpa ada solusi.

”Kita punya piring atau periuk, kemudian dipecah, masak kita diam,” katanya.

Nelayan pernah datang ke gubernur, dari audensi sampai aksi tetapi janji sebatas janji. Pergi ke PT Timah atau perusahaan sampai lapor polisi, juga tak jauh beda, tak ada kejelasan.

”Sampai lelah.”

Lim sering diajak bertemu dengan para pengusaha. Diajak ke hotel dan berbicara duit. Dia menolak.

Baginya, baik pemerintah maupun DPRD sudah tak memiliki telinga. ”Pesisir ini sudah dikapling oleh mereka (pemodal-red).”

 

Ponton-ponton memenuhi sungai di Bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pengusaha, katanya, mengatasnamakan himpunan nelayan ‘berdasi’ sering menawarkan program-program walau bantuan tak kunjung datang.

”Hanya iming-iming, maksudnya mau merebut wilayah. Suruh minta tanda tangan (agar menguasai wilayah),  nelayan tak dipandang,” katanya, kesal.

Seringkali, para preman menawarkan sejumlah uang. “Gak bisa, kalau prinsipku bertahan untuk generasi mendatang. Kalau mau instan gampang, tanda tangan dapat uang. Gak melihat ke depan.”

Lim cerita, dulu tujuh mil jadi bagan paling jauh bagi nelayan Pantai Rebo. Kini, harus 16 mil untuk mendapatkan tangkapan. “Itu saja kalo beruntung.”

Tak pelak, biaya pun makin meningkat. Per hari melaut perlu biaya Rp500.000, naik empat kali lipat sejak 2008-2009. Dulu, di pesisir banyak tambak udang, kini sama sekali tak ada, sudah merugi.

Sebelum ada pertambangan, kata Lim, hasil lumayan meski sedikit tetapi cukup untuk kehidupan sehari-hari. ”Tiap bulan pasti dapatlah.”

Sebagai nelayan bagan, per bagan hasil bisa dua sampai tiga ton untuk ikan seperti tenggiri, kwe dan lain-lain. Dulu, ikan kecil bisa 40-50 ton, dari pinggiran pantai, dengan kedalaman hanya sedada orang dewasa. Kini, cerita sudah berbeda.

”Kalau Juni-Juli nangislah kita, hasilnya gak ada sampai Agustus.”

Pesisir pantai sudah dipenuhi limbah dan air keruh dampak pertambangan timah.

Dampak bagi nelayan sudah jelas, baik di darat maupun di laut. Di darat, sisa-sisa tambang menyebabkan kolong (kolam), beragam masalah muncul. Penurunan kesuburan tanah di sekitar tambang sangat terasa pada lahan pertanian. Banjir pun jadi salah satu bencana alam yang tak terelakkan terutama warga yang bermukim di dekat atau di bantaran sungai. Air sungai keruh, air laut pun keruh.

Sumber air hilang, sumber tangkapan nelayan lenyap. Masyarakat menyebut sebagai “Luka indah di Bangka Belitung.”

Data BPS 2015, sektor perikanan tangkap turun hingga 1,65%. Pada 2011,  produksi 192.473,2 ton, tahun 2012 naik jadi 202.565,2 ton. Pada 2013, turun di angka 199.241,4 ton, 2014 kembali naik 203.384,4 ton dan 2015 merosot drastis hingga 139.542,95 ton.

 

Sie Jet Lie, warga Bangka, menunjukkan batas banjir masuk rumah, yang biasa mereka alami. Kala musim penghujan, mereka sudah khawatir dan menaikkan perabot ke tempat tinggi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Desa Ciu Long, Kelurahan Sungai Daeng, Muntok, jadi salah satu wilayah terdampak banjir.

”Mulai banyak tambang ilegal, mulai banjir. Udah (sejak) 2000 awal belakangan ini. Dua tahun ini paling parah,” ucap Sie Jet Lie, warga Ciu Long.

Sungai berjarak hanya ratusan meter dari rumahnya, biasa dia pakai untuk mandi, menangkap ikan dan bermain. Kini,  sungai berisi lumpur dan mengalir ke rumah-rumah saat hujan besar. Biasa,  banjir cepat surut. Kini cepat naik, susah turun.

Kini, katanya, dua jam hujan, air bisa satu meter. Semua barang di rumah ditaruh di atas dipan atau kayu agar tak cepat rusak.  ”Kalau hujan malam, kami tak bisa tidur. Jaga depan dan belakang,” kata perempuan 55 tahun itu.

Berdasarkan peta rawan banjir Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pulau Bangka, masuk zona kuning yang berarti ancaman bencana sedang. Sedangkan, Pulau Belitung, masuk zona merah berarti sangat rawan bencana.

Biasanya, kondisi hujan lebat juga banjir rob di wilayah yang berhadapan langsung dengan pantai. ”Paling parah di Pangkal Pinang, itu karena hulu yang rusak,” kata Ratno Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung.

Kalau wilayah lain, seperti Muntok karena ada limbah timah yang mengendap di sungai hingga muka air naik.

Berdasarkan riset Walhi, pencemaran limbah laut karena penambangan bisa sampai 25-30 kilometer. ”Dampaknya tak hanya di Belitung Timur, tapi bisa juga sampai Belitung Barat,” kata Pifin Heriyanto,  dari Gabungan Pecinta Alam Belitung.

Dia bilang, Kampit, Belitung, ini jadi pintu gerbang kapal isap masuk ke perairan Belitung. Sudah ada 24 KIP dari Pulau Bangka yang siap meluncur ke Belitung, begitu juga satu kapal dengan kapasitas 150 GT dari Kalimantan.

”Ini perlu diwaspadai, untuk itu kami akan membuat aksi untuk menolak KIP dengan tegas.”

 

***

Pada 14 Oktober 2016, pukul 14.00, sekitar tahun 2.000-an nelayan, bersama Sahani Saleh, Bupati Belitung Timur,  dan para aktivis berkumpul. Mereka aksi menolak KIP timah di Pantai Segaran, Kecamatan Kelapa Kampit, Belitung Timur.

Puluhan truk berisi warga Belitung pun memadati lokasi itu. ”Sudah delapan bulan kita dibohongi. Lawan! Lawan! Bakar kapal isap!” teriak para nelayan.

Kamek nelayan Kampit menolak kapal isap.”

Perjuangan pun sering dilakukan dengan mendatangi pemerintahan dan memasang spanduk Tolak Kapal Isap. Awalnya, perusahaan sempat datang sosialisasi.

”Pertemuan itu biasa diikuti sekitar 10-15 warga bukan nelayan aktif untuk menyetujui KIP di perairan Belitung,” kata Pifin, yang mendampingi nelayan.

Beberapa perwakilan datang menemui KIP Kamillah agar segera pergi. ”Ultimatum hingga 20 Oktober 2016,” katanya, kala itu.

Wilayah Kampit ini salah satu pintu gerbang bagi KIP yang hendak masuk ke Belitung.

“Buat pening kepala, tidur siang tak dapat,” kata Ahan, nelayan Teluk Pering, Desa Mayang, Dusun Aik Saguk, Kampit, Belitung Timur.

Sejak April 2016, KIP Kamillah sudah memasuki perairan Belitung. Nelayan kala melaut malam hari menemukan KIP  ini. Hanya lampu kapal terlihat ketika itu, saat pagi hari mereka baru menyadari kalau itu kapal isap.

KIP milik perusahaan pertambangan timah PT Kampit Prima Utama. Sejak 2010, perusahaan mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin usaha pertambangan pada 2011. KIP ini sempat uji coba di Sungai Manggar.

Pada 30 Agustus-5 September, KIP tes mesin dengan mengantongi izin bergerak dari pemerintah. ”Mereka pengeboran saat itu dengan mata bor,” katanya.

Tepat, 4 September,  mereka merapat dekat Pesisir Kampit dan ngebor. Dampaknya mulai terasa bagi nelayan meski baru tahap awal.

”Benang nilon harus ganti terus, lebih cepat mengembang kalau sudah tercemar, supaya dapat tangkapan ganti terus,” katanya, kesal.

”Sekarang dapat ikan dua mil, padahal biasa 50 meter sudah dapat,” keluh Doyo, nelayan lain.

Hasil tangkapan nelayan turun drastis hingga 50-75%.

Warga sekitar terjadi perpecahan. Ada pro kontra.

Rudi, nelayan Kampit, tak hanya jadi nelayan, juga mengantarkan barang dan makanan untuk penjaga KIP.

 

Nelayan tradisional di pesisir. Mereka protes dengan kehadiran kapal isap yang menyulitkan mereka tangkap ikan. Tak hanya nelayan, sektor pariwisatapun terganggu dengan kerusakan pesisir pantai dan laut karena tambang timah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Setiap bulan, dia digaji sampai Rp2 juta. Setiap dua atau tiga hari sekali, dia ke KIP mengantarkan pesanan, mulai rokok, beras, dan solar untuk penerangan kapal. Biasa, satu sampai lima drum solar diantar sesuai permintaan pemilik kapal.

”Memang akan terganggu (jika KIP beroperasi), tapi ya… terserah pemerintah nantinya,” katanya.

Dia merasa, penghasilan sebagai nelayan akhir-akhir ini makin tak menentu. Dengan bayaran bulanan pengusaha itu dia rasa cukup menjanjikan buat kelangsungan hidup.

Kini, KIP Kamillah sudah pergi dari perairan Pering, Kelapa Kampit, Belitung. Sebelumnya, komitmen pengusiran tambang laut didukung langsung bupati, nelayan, pelaku wisata dan lain-lain.

Oktober 2016, KIP Kamillah sempat hengkang dari Perairan Pering tetapi kembali lagi.

Pifin mengatakan, KIP ini sudah melanggar peraturan.  Aturan terlanggar antara lain, Surat Menteri Kelautan dan Perikanan No.B 710/MEN-KP/XII/2014 yang memberhentikan aktivitas pertambangan di laut sampai penetapan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

”Kami bersama nelayan mendesak DPRD Belitung Timur segera membentuk Pansus Tambang Laut,” katanya.

Dia melihat banyak kejanggalan legalitas perusahaan pemegang IUP, mulai kantor, rencana kerja anggaran biaya pertambangan melewati batas dari mulai terbit IUP produksi , sertifikat clear and clean tak sesuai daftar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sampai penyusunan amdal diduga banyak manipulasi, terutama kala sosialisasi.

Ratno biasa disapa Uday, juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Belitung Mengusir Kapal Isap (Kamek) mengatakan, protes warga karena pariwisata sudah jadi tumpuan ekonomi masyarakat Belitung, dan perikanan laut pun jadi mata pencaharian utama.

Kala tambang laut mau masuk, katanya, masyarakat luas tak dilibatkan dalam proses amdal. Laporan nelayan pesisir Pantai Sengaran Kelapa Kampit, katanya, sempat ada sosialisasi perusahaan namun hanya kepada orang-orang pilihan, bukan nelayan.

Sebenarnya, dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) tak ada peruntukan tambah di Belitung. Nyatanya, kata Uday, di Belitung,  ada sekitar 3.000 hektar IUP milik PT Timah. Meskipun, perusahaan ini tak bisa eksploitasi karena Belitung terlindungi RTRW provinsi. Sesuai RTRW, perairan Belitung, katanya, tak masuk dalam pertambangan laut meski telah punya izin.

 


 

Kamek pun menuntut beberapa hal kepada Gubernur Bangka Belitung, Menteri ESDM dan BUMN. ”Mencabut izin tambang laut, baik eksplorasi maupun eksploitasi di Belitung dan pulau kecil lain,” katanya.

Penegakan hukum juga perlu atas pelanggaran izin penambangan laut yang sedang terjadi dan merelokasi KIP di perairan Belitung.

Rustam Effendi, Gubernur Bangka Belitung,–kala masih menjabat Oktober 2016–mengatakan, regulasi soal tambang laut masih jadi perdebatan. Dalam aturan pertambangan membolehkan, tetapi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menutup tambang laut.

Dia berharap, lintas kementerian menuntaskan masalah regulasi di pusat agar tak saling berbenturan.

Pemerintah Bangka Balitung, juga sedang penataan zonasi. ”Kita tak menampik, memiliki keunikan pariwisata tetapi ada potensi tambang. (Keduanya) bersampingan,” ucap Rustam.

Namun dia berjanji, mengakomodir semua kepentingan nelayan. ”Kalau berbenturan saya setop, itu kewenangan saya.”

Uday kesal. Dia bilang, pemerintah gagal menghitung dampak reklamasi tetapi sibuk mengkalkulasi potensi timah. Kelalaian pemerintah, katanya,  akan jadi persoalan lingkungan serius setelah timah habis.

Selama ini, katanya,  reklamasi hanya urusan pengurukan kembali, tak sampai pada pengembalian revegetasi wilayah jadi, banyak yang dibuka lagi oleh penambang rakyat.

Seharusnya, kata Uday, dana jaminan reklamasi, masuk ke kas negara dan harus ada evaluasi pemerintah.

 

 

Laut rusak, pariwisata terancam

Pada 20 Juni 2015, Presiden Joko Widodo, berkunjung ke Pulau Belitung. Jokowi melihat langsung keindahan pantai dan laut Belitung. Kala itu, presiden berpendapat, Bangka Belitung,  lebih tepat jadi pengembangan pariwisata daripada buat daerah eksploitasi timah.

“Saya kira paling baik, memang di Belitung pariwisata, kalau campur antara tambang dan pariwisata saya kira tidak fokus,” katanya seperti dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet.

Tak berlebihan Presiden mengatakan hal itu. Barisan batu granit menjulang dari Pulau Bangka hingga Belitung. Batu raksasa ikonik dalam film layar lebar Laskar Pelangi pun jadi salah satu destinasi menarik di Belitung.

Pasir pantai putih, air nan jernih dan terumbu karang jadi paket wisata menarik kala berkunjung ke wilayah ini. Kini, keindahan itu kian hari terus tergerus.

”Air keruh dan banyak terumbu karang rusak,” kata Agung, putra Muntok, duta pariwisata.

Kerusakan itu, katanya, karena banyak sedot timah lepas pantai ataupun KIP beroperasi di Perairan Bangka.

Rachmat Danu, anggota Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) mengatakan hal sama. ”Pertambangan laut sangat mengancam pariwisata Bangka Belitung,” katanya, kesal.

Padahal, sejak tahun 2010,  pariwisata Bangka Belitung,  mulai menanjak naik. ”Hampir 50% naik, banyak kapal nelayan jadi kapal wisata. Ini jelas peningkatan ekonomi masyarakat,” katanya.

Tanjung Kelayang (Belitung), Tanjung Pesona (Bangka) dan pulau-pulau kecil lain memberikan terumbu karang begitu apik.

Dari survei ekosistem terumbu karang di Kepulauan Bangka pada lima wilayah utama– Tanjung Kalian, Tanah Merah, Teluk Limau, dan Pulau Ketawai– hanya Pulau Ketawai, tak ada pertambangan timah.

”Rata-rata lokasi pengamatan memiliki kematian karang cukup tinggi,” ucap Uday.

Paling buruk di Karang Rawan dan Pantai Rebo, sedangkan Karang Haji dan Teluk Limau, pada taraf sedang.

Kematian karang, disinyalir tingkat sedimentasi tinggi atau kekeruhan perairan dan terumbu karang tertutup lumpur.

”Sedimen itu mengantung logam berat yang melewati kondisi rata-rata alami,” katanya, seraya sebutkan kandungan logam seperti kadmium (Cd) dan plumbum (Pb).

Selain wisata pantai dan keindahan laut, Bangka Belitung juga dikenal dengan kuliner dari hasil laut maupun hasil kebun, seperti mie Bangka, lapis Bangka, kopi, empek-empek dan otak-otak Bangka, beragam kerupuk ikan, lada, durian, manggis, terasi sampai ikan asin dan lain-lain.

Pada galeri UMKM yang saya kunjungi banyak suvenir dan oleh-oleh khas Bangka Belitung, seperti kerajinan kerang, kain khas Bangka dan Belitung, tempelan kulkas dan lain-lain.

Beragam potensi ini kala tergali maksimal mampu mendongkrak ekonomi masyarakat. Data BPS tahun 2015,  wisatawan mancanegara dan domestik terus meningkat. Periode 2011-2015, alami kenaikan turis sampai 28.000 orang per tahun.

Turis mancanegara pun terus meningkat, pada 2011,  hanya 1.495 orang, pada 2015 sudah 3.498 orang. Sedangkan, domestik pada tahun 2011 hanya 191.200 orang, tahun 2015 mencapai 301.938 orang.

 

Kapal isap timah di Belitung. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Urgen moratorium tambang timah

Dengan beragam dampak buruk dari tambang timah, baik darat maupun laut ini, Walhi mendesak Presiden memoratorium tambang timah di Bangka Belitung.

Kini, tiga perempat dari Bangka Belitung atau 1,6 juta hektar jadi tambang baik skala besar maupun rakyat. Sisanya, industri perkebunan dan kehutanan, hanya sebagian kecil buat masyarakat. Kini,  ada 1.053.253,19 hektar atau 62% luas daratan kritis.

”Pulau ini kaya sumber timah, tapi pengelolaan kurang bijaksana, krisis lingkungan yang berkepanjangan,” kata Uday.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2010, salah satu hak masyarakat pesisir adalah laut bersih dan sehat. Dengan ada tambang laut di Bangka Belitung mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir. ”Sebanyak 45.000 nelayan tradisional, kini 16.000 tak bisa melaut dampak tambang laut.”

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengindikasi, kerugian negara dari penjualan timah ilegal, selama 12 tahun (2004-2015) sebesar Rp5,714 triliun. Angka ini bersumber dari analisa data Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pusat Statistik dan publikasi UN Comtrade.

Adapun penelusuran jenis timah, yakni HS 8001 dan HS 8003, biasa disebut timah solder.

Selama 12 tahun, ekspor timah HS 8001 mencapai 1.149.342 MT senilai US$17,509 juta, ekspor HS 8003 sebanyak 26.240 MT senilai US$434,572 juta atau total 1.175.582 MT senilai US$17,944 juta. Rata-rata ekspor timah 97.965 MT per tahun.

Faktanya, negara pengekspor timah Indonesia tercatat menerima 1.565.260 MT, rata-rata 130.438 MT. Dengan begitu ada selisih atau penjualan ilegal tak tercatat sebanyak 389.678 MT atau 24,9% senilai US$5,296 miliar, setara Rp68,864 triliun (US$1: Rp 13.000).

Jadi, katanya, ada indikasi kerugian negara terkait kewajiban royalti timah (3%) sebesar Rp 2,066 triliun dan kewajiban pajak Rp3,648 triliun.

Belum lagi kewajiban reklamasi. “Kenapa ini tak dilakukan? Ada apa ini? Tidak ada biaya,” lanjut Uday.

”Kami mendesak Presiden segera menerbitkan moratorium nasional khusus pertambangan timah.”

Tak hanya moratorium penerbitan izin baru, katanya, juga audit izin sudah ada.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, basis moratorium ini keselamatan rakyat. ”Konteksnya tak hanya izin yang sudah selesai atau keluar, penting bagi pemerintah menata kembali kebijakan,” katanya.

Selain itu,  penting juga berbicara kajian lingkungan hidup strategis Bangka Belitung. Moratorium, katanya, jadi pilihan adil, untuk berhenti sejenak dan mengkaji kembali izin-izin. Untuk itu, katanya, perlu komitmen politik kuat dan nyali bagi Presiden.

Pada 25 Juni 2015, Presiden rapat terbatas membahas tentang timah dan meminta KESDM mengkoordinir penataan tambang timah di Bangka Belitung.

”Produksi harus tinggi, jangan sampai penambangan di hutan konservasi,” katanya dalam lama Setkab.go.id.

Gubernur Bangka Belitung dan Direktur PT Timah diminta mempelajari permasalahan tambang rakyat. Presiden juga berpesan, rambu-rambu tetap dipatuhi hingga tak merusak alam. (Habis)

Keterangan foto utama: Ponton timah di Bangka, menyebabkan air keruh dan laut rusak. Anak-anak tanpa menyadari bahaya sekitar, main dan mandi di tepian pantai itu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Nelayan tolak kapal isap timah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version