Mongabay.co.id

Kenapa Harus Impor Garam Lagi?

Kebutuhan garam untuk industri hingga saat ini masih belum bisa dipenuhi oleh produksi lokal. Kebutuhan tersebut, mendesak untuk dipenuhi karena banyak produk yang memerlukan pasokan garam untuk industri. Untuk memecahkan persoalan itu, Pemerintah Indonesia rencananya akan kembali melaksanakan impor sebanyak 3,7 juta ton pada 2018.

Keputusan tersebut diambil setelah Pemerintah Indonesia menggelar rapat bersama di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, akhir pekan lalu. Selain Kemenkeu yang dipimpin langsung Menteri Darmin Nasution, hadir juga Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta wakil Badan Pusat Statistik (BPS).

baca : Dulu Indonesia Swasembada Garam, Kini Jadi Importir Garam, Ada Apa Sebenarnya?

Menurut Darmin Nasution, importasi garam industri sudah disepakati akan dilakukan setiap tahun. Namun, sesuai rekomendasi dari KKP sebelumnya, kuota garam industri yang diimpor jumlahnya maksimal 2,2 juta ton. Jumlah tersebut, dinilai tidak sinkron dengan data yang dikeluarkan Kemenperin.

“Akhirnya, setelah itu, kita putuskan kuota diberikan 3,7 juta ton. Dengan pertimbangan, karena Kemenperin paham dengan kebutuhan industri untuk garam. Data 2,2 juta sendiri tidak disepakati, karena itu hanya sampel saja,” jelas dia.

 

Kementerian Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Kebutuhan Garam untuk Industri, Jumat (19/1) di Jakarta menyatakan pemerintah memutuskan impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton pada 2018. Foto : ekon.go.id

 

Untuk melaksanakan impor sebanyak 3,7 juta ton, Darmin menjanjikan, akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk melaksanakan itu, dia menyebut, impor akan dilakukan tanpa harus bergantung pada rekomendasi seperti yang biasa dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Keputusan menyederhanakan rekomendasi, dilakukan karena selama ini mengganggu pengembangan ekonomi.

“Tapi, kita tetap batasi maksimal sampai 3,7 juta ton saja,” tegas dia.

baca : Bangkit dari Keterpurukan, Indonesia Targetkan Swasembada Garam pada 2019. Bagaimana Strateginya?

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan, kebutuhan garam industri untuk 2018 berasal dari kebutuhan industri petrokimia, pulp dan kertas, farmasi dan kosmetik, aneka pangan, pengasinan ikan, tekstil, penyamakan kulit, pakan ternak, pengeboran minyak, sabun dan detergen, serta industri lainnya.

“Ingat ya, ini adalah garam industri. Bukan garam konsumsi. Kita tidak impor garam konsumsi,” ucap dia.

 

Kuota Ekstra

Keputusan untuk melaksanakan impor garam industri, bagi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) sangatlah disayangkan. Menurut mereka, kebijakan impor garam yang sudah berlangsung rutin setiap tahun, menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak serius dalam memperbaiki tata kelola garam secara nasional.

Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI Misbachul Munir mengatakan, dalam melaksanakan impor, kuota yang diberikan oleh Pemerintah selalu berlebihan. Padahal, pada saat yang sama, petambak garam nasional melaksanakan panen raya. Alhasil, kondisi itu membuat produksi garam nasional mengalami kelumpuhan.

“Impor garam ini tidak menyelesaikan masalah atas krisis yang berulang-ulang terjadi setiap tahun. Ini adalah bentuk ketidakseriusan Pemerintah untuk mencapai swasembada dan kedaulatan garam nasional,” tukasnya di Jakarta, Minggu (21/1/2018).

baca : Kelangkaan Garam Bukti Kinerja Pemerintah Buruk dalam Tata Niaga Garam?

 

Priyanto memperlihatkan garam hasil produksi rumah tangga miliknya. Foto : Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Munir mengatakan, akibat kuota berlebih yang selalu berulang setiap tahun, para petambak garam merasakan dampak negatifnya dan pada akhirnya secara perlahan banyak di antara petambak yang kemudian berlaih profesi menjadi buruh kasar. Cara tersebut dilakukan, karena produksi garam dinilai sudah tidak lagi menguntungkan.

Selain fakta di atas, Munir mencatat, setelah produksi garam dinilai sebagian petambak tidak lagi menguntungkan, lahan-lahan produksi secara perlahan mulai menyusut dengan berbagai alasan. Kata dia, penyusutan terjadi karena pemilik lahan berhenti beroperasi dan kemudian meninggalkan profesi sebagai petambak garam.

Fakta berikutnya yang muncul, menurut Munir, adalah buruknya pengelolaan produksi PT Garam Indonesia dalam menyerap garam rakyat. Kata dia, Pemerintah seharusnya dengan jelas menunjuk PT Garam Indonesia supaya hasil produksi garam di setiap daerah bisa terserap. Selain itu, PT Garam juga harus memberikan insentif kepada petambak garam untuk meningkatkan produksi.

“Fakta terakhir yang menjadi alasan kenapa impor sebaiknya tidak dilakukan, yaitu agar Pemerintah sadar bahwa produksi garam harus dilakukan di lahan yang luas. Untuk itu, Pemerintah harus kembali memperluas lahan produksi garam,” tegas dia.

baca : Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

Di atas semua itu, Munir mengingatkan, Pemerintah harus bisa melaksanakan amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. UU tersebut, sangat jelas meminta Pemerintah untuk memberi akses seluas mungkin bagi petambak garam untuk meningkatkan taraf hidupnya.

“Swasemba garam nasional harus menjadi prioritas utama untuk keluar dari perangkap ketergantungan impor garam,” tandas dia.

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

 

Kritikan yang sama diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Rencana impor garam industri pada 2018, menurut dia, semakin menegaskan bahwa Indonesia tidak punya politik kedaulatan pangan. Penilaian itu keluar, karena Susan melihat bahwa Indonesia pada 2017 juga melakukan langkah yang sama.

“Tahun lalu itu 500 ribu ton impor garam. Tahun ini 3,7 juta ton jumlahnya. Ini tentu patut dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia,” tutur dia.

Susan mengungkapkan, apa yang dilakukan Pemerintah di awal 2018 ini, menunjukkan bahwa Pemerintah telah kehilangan akal dalam membangun kedaulatan pangan yang senantiasa digaungkan saat kampanye Presiden pada 2014 lalu.

“Sejak tahun 1990, kebijakan Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap garam impor. Sampai kapan bangsa ini akan terus impor? Sampai kapan bangsa ini akan berdaulat?” katanya.

baca : Negara Kembali Lalai dalam Tata Kelola Garam?

Susan menyebut, jika Pemerintah memiliki itikad baik dan kuat untuk membangun kedaulatan pangan, maka berbagai cara akan terus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Kata dia, jika selama ini persoalan utama garam industri di Indonesia adalah kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum bisa mencapai sampai angka 97,4 persen, maka Pemerintah seharusnya bisa menggandeng ilmuwan, lembaga riset, dan juga perguruan tinggi di Indonesia untuk dapat menyelesaikan persoalan ini.

“Indonesia punya banyak ilmuwan, lembaga riset dan universitas yang dapat membantu menyelesaikan persoalan kualitas garam. Namun, selama ini ketiga potensi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Akhirnya, pemerintah selalu mengambil jalan pintas, yaitu impor garam,” papar dia.

Persoalan kualitas garam Industri di Indonesia, menurut Susan, selama ini bukanlah karena persoalan ketiadaan teknologi garam. Melainkan, persoalan politik kedaulatan pangan yang absen dalam kebijakan Pemerintah. Katanya, selama politik pangan Pemerintah adalah politik impor, maka mustahil dapat berdaulat dan swasembada garam pada 2019.

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Integrasi Lahan

Sebelum kuota impor kembali diberikan pada 2018, kuota yang sama juga ada pada 2017. Saat itu, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi menyebut bahwa Indonesia harus berani menyiapkan solusi jangka panjang untuk memecahkan persoalan pasokan garam industri dan konsumsi.

Eniya menjelaskan, untuk bisa melaksanakan solusi jangka menengah dan panjang, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area. Untuk kebutuhan tersebut, dia menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektare dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 ha.

Di atas lahan seluas itu, Eniya memaparkan, proses produksi akan dilakukan di empat area dan meliputi area untuk penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi.

“Bersama dengan empat area yang terpusat di satu area saja, ada juga pabrik garam dengan skala produksi mencapai sepuluh ton per jam,” ungkap dia.

Dengan adanya konsep seperti itu, Eniya menyebut, Indonesia sebenarnya sudah siap melaksanakan industrialisasi pada komoditas garam untuk industri, farmasi, maupun konsumsi.

baca : Benarkah Teknologi Pengolahan Garam Sudah Dikuasai Indonesia?

Eniya menjelaskan, dengan teknologi yang sudah dikuasasi oleh BPPT tersebut, petambak garam yang sebelumnya harus menghabiskan waktu minimal 10-14 hari hingga 21 hari saat melaksanakan panen, bisa menghemat lebih banyak waktu. Efisiensi tersebut bisa didapat, terutama karena ada integrasi lahan untuk produksi garam di satu area saja.

Menurut Eniya, dengan menerapkan konsep seperti di atas, petambak garam tidak hanya akan mendapat peningkatan produktivitas, melainkan juga bisa mendapatkan kualitas garam lebih bagus. Dari produksi dengan menggunakan teknologi BPPT itu, dia mengklaim, petambak garam akan bisa mendapatkan beragam jenis garam yang dibutuhkan oleh pasar.

“Dari pabrik garam itu, tidak hanya dihasilkan satu jenis garam, tapi bisa berbagai jenis. Itu kita sebut multi purpose plan, satu pabrik ada beberapa produk,” ucap dia.

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Eniya menuturkan, kemampuan meningkatkan produksi dan kualitas dalam waktu yang sama, sudah diuji oleh tim khusus di BPPT dan dipublikasikan kepada masyarakat umum pada 2016. Kemampuan tersebut, bisa membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah mampu memproduksi garam untuk kebutuhan industri, farmasi, dan konsumsi secara bersamaan.

“Karena kita sudah membuktikan bahwa kita itu sudah bisa membuat garam dengan kadar 99,5 persen untuk garam bahan baku obat atau garam farmasi. Sementara, untuk garam kebutuhan industri dan olahan pangan, pengasinan ikan contohnya, itu kadarnya hanya 94 hingga 96 persen,” jelas dia.

Dengan kemampuan tersebut, Eniya berani mengklaim bahwa Indonesia saat ini sudah menguasai teknologi pengolahan dan produksi garam. Dia menyebut, saat ini bahkan BPPT sudah mampu memproduksi garam dengan kadar mencapai 99,99 persen lebih dan dihargai Rp1 juta per kilogram di pasaran industri garam dunia.

“Kalau yang perlu dikerjakan, adalah skala industri, yang kadarnya 97 persen. Karena kita melawan, rival kita itu adalah garam impor yang kebanyakan. Kadar 97 persen itu dari Australia, dan 95 persen kadar itu dari India,” jelas dia.

Secara teknis, Eniya memaparkan, untuk bisa mengurangi ketergantungan impor, konsep integrasi lahan yang di dalamnya mencakup produksi garam pada empat area, bisa ditingkatkan lagi luasnya dari 400 ha menjadi 5.000 ha. Dengan jumlah tersebut, maka produksi di pabrik garam bisa mencapai 500 ribu ton per tahun.

“Kebutuhan impor itu 1,7 juta ton per tahun rata-ratanya. Nah itu kira-kira tiga kalinya (dari produksi 500 ribu ton). Berarti secara total kita itu membutuhkan 15 ribu hektare. Jadi sudah bisa diperkirakan,” ungkap dia.

Untuk bisa menambah jumlah lahan, kata Eniya, itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu melakukan intensifikasi atau menaikkan produktivitas di lahan yang sudah ada dan atau melakukan ekspansi lahan ke kawasan Indonesia Timur.

“Kita juga sudah menghitung, berapa banyak sih pabrik yang bisa didirikan. Itu kan skala optimumnya yang 10 ton per jam, tinggal dibuat beberapa line, lalu berapa jumlah pabriknya. Itu sangat bisa dihitung,” papar dia.

 

Exit mobile version