Mongabay.co.id

Pemerintah Siap Pakai Metode Baru dalam Pemetaan Gambut

Semua pihak dikerahkan untuk memadamkan kobaran api di lokasi kebakaran, lahan gambut. Unsur BPBA, BPBD Aceh Barat, Kepolisian, TNI, dan masyarakat dilibatkan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

Pada peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, pada 2 Februari lalu, Badan Informasi Geospasial (BIG) mengumumkan penemu metode terbaik dalam pemetaan luasan dan ketebalan lahan gambut yang terpilih dalam kompetisi Indonesian Peat Prize (IPP), yakni Tim International Peat Mapping (IPM). Tim ini terdiri dari para ilmuwan dari Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Universitas Sriwijaya.

Pemerintah akan gunakan metode pemenang ini dalam melindungi dan mengelola, mempercepat restorasi gambut di Indonesia. Inovasi ini bakal jadi metode pemetaan gambut skala 1: 50.000 yang punya Standar Nasional Indonesia.

Baca juga: Sulit Benahi Tata Kelola Gambut, Kala Peta Masih Belum Akurat

Dari penilaian Dewan Penasihat Ilmiah, IPM berhasil menawarkan metode relatif paling akurat, terjangkau, dan tepat waktu dalam memetakan lahan gambut.

IPM mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR (teknologi dengan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi tiga dimensi), dan pengukuran lapangan, yang menghasilkan metode pemetaan gambut akurat, cepat, dan terjangkau.

Baca juga: Kebijakan Satu Peta, Akses Data Ternyata Tetap Terbatas

Tim ini mengaplikasikan produk bernama WorldDEM, dengan citra satelit untuk membuat model permukaan bumi beresolusi 10 meter dan citra satelit Sentinel.

IPM juga mengombinasikan teknologi berbasis satelit ini dengan model permukaan bumi dari LiDAR.  Selain itu, metodologi tim mencakup pengukuran lapangan guna peroleh model mengukur ketebalan gambut akurat. Tim juga verifikasi lapangan dengan berbagai teknologi itu.

Hasanuddin Z Abidin, Kepala Badan Informasi Geospasial, di Jakarta, mengatakan, kompetisi berlangsung selama dua tahun diikuti 44 tim, tersisih hingga lima finalis pada tahap akhir sebagai penentu satu pemenang yang berhak mendapatkan hadiah US$1 juta.

Sebagai pemenang, katanya, IPM beranggotakan pakar pemetaan dan lahan gambut dari Indonesia, Jerman dan Belanda, yakni,  Florian Siegert, Uwe Ballhorn, Peter Navtratil, Hans Joosten, Muh Bambang Prayitno, Bambang Setiadi, Felicitas von Poncet, Suroso dan Solichin Manuri.

”Kita komitmen akan implementasikan metode ini secepat mungkin karena proses pengelolaan dan konservasi gambut ini tidak bisa menunggu waktu,” ucap Hasanuddin.

Pemetaan lahan gambut, katanya,  menjadi kunci dalam tata kelola dan restorasi gambut di Indonesia. Selama ini, pemetaan gambut punya berbagai versi, baik dari koalisi masyarakat sipil, pemerintah maupun swasta. Antara lain, peta dari Program Prencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi (1989), Wetland Internasional (2004), Kementerian Pertanian (2011).

Berbagai pemetaan itu, belum cukup detail menggambarkan kondisi gambut di Indonesia.  Dengan tak ada data gambut detail, katanya, pertama, akan memperlambat restorasi, menyulitkan koordinasi dengan pemilik lahan karena data dan info gambut tidak sesuai keadaan sekarang.

Kedua, kurang tajam arahan pemerintah ke pemilik lahan terkait tindakan restorasi seperti pembasahan dan penanaman kembali yang harus dilakukan.

 

Danau Bagantung dengan air gambutnya yang berwarna hitam. Gambar diambil dengan menggunakan pesawat nir awak. Dok: INFIS

 

Badan Restorasi Gambut menyambut gembira metode pemetaan ini. “Kami akan gunakan metode pemenang IPP ini,” kata Nazir Foead, Kepala BIG.

Selain itu, dia juga akan melihat metode penelitian finalis lain yang kemungkinan cocok dalam proses identifikasi kubah dan pemetaan gambut.

”Kami sangat menantikan hasil Indonesian Peat Prize ini karena akurasi data sangat penting untuk restorasi,” kata Budi S. Wardhana, Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRG, pada acara pre Peat Prize.

Pemetaan, katanya,  merupakan data utama dalam pemulihan gambut. Dalam dua tahun ini, BRG baru memetakan tujuh dari 104 kesatuan hidrologi gambut (KHG) pada tujuh provinsi prioritas dengan teknologi LiDAR yang berbiaya mahal US$700 per kilometer persegi.

“Kalau berbicara lahan gambut prioritas BRG, luas 2,4 juta hektar. Tampak terseok-seok karena teknologi LiDAR sangat mahal,” katanya.

Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia, juga Ketua Dewan Juri PPI mengatakan, para finalis hampir memiliki kemiripan dalam penggunaan teknologi, yaitu, teknik penginderaan jauh dengan laser (LiDAR). Keputusan pemenang, katanya,  berdasarkan perbedaan akurasi, biaya dan kecepatan metodologi dalam memetakan gambut.

”Tim IPM memiliki alternatif dalam pemetaan gambut tergantung pada kondisi areal yang diukur,” katanya.

Metode tim ini, dapat teraplikasi pada daerah yang memiliki kondisi gambut heterogen.  Tim juga menyajikan empat pilihan harga dan tingkat akurasi dengan biaya mulai US$1-US$6.  (Lampiran)

 

 

SNI

Hasanuddin bilang, metode yang akan mendapatkan SNI pun tak hanya dari pemenang, namun kombinasi dari berbagai inovasi metode teknologi para finalis, antara lain teknik penginderaan jarak jauh dengan pesawat seperti altimetri menggunakan laser, citra elektromagnetik, dan interferometri radar serta pengukuran lapangan.

Dalam implementasi metode pemetaan itu, Hasanuddin, akan mengeluarkan peraturan Kepala BIG tentang pemetaan gambut pada skala 1:50.000. Untuk proses SNI, katanya, tak bisa cepat, Badan Standarisasi Nasional biasa memerlukan waktu satu atau dua tahun.

”Dengan membuat metode itu sebagai standar, kita akan memperoleh peta gambut berdasarkan data dan informasi spasial sebagai sarana melindungi lahan gambut secara efektif dan efisien,” katanya.

Sementara tim IPM telah meneliti gambut tropis sejak 1990. Dari penelitian itu menunjukkan, tinggi air di kubah gambut tropis berada pada posisi rendah kala musim kemarau hingga gambut lebih rentan kebakaran.

Bambang Setiadi, anggota tim IPM dari BPPT mengatakan, metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah. Dengan metode ini bisa untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lain untuk keperluan restorasi.

Teknologi Remote Sensing Solution dikendalikan dari Jerman untuk menetapkan titik pengukuran di lapangan dengan basis data historis citra satelit sebelumnya.

Indonesian Peat Prize ini, tak hanya memberikan solusi terobosan bagi Indonesia, juga menyediakan lahan bagi masyarakat di dunia untuk bekerja sama memperbaiki tata kelola dan konservasi lahan gambut. Selama dua tahun ini, penyelenggaraan IPP dilakukan oleh BIG bekerja sama dengan David and Lucile Packard Foundation, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan serta World Resources Institute (WRI) Indonesia.

Tim Pemenang Peat Prize

 

Keterangan foto utama: Berbagai pihak dikerahkan untuk memadamkan kobaran api di lahan gambut ai Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Lahan gambut dalam pada konsesi PT MBH yang terbakar tahun lalu. Foto: Lovina S

 

 

 

Exit mobile version