Mongabay.co.id

Memantau Perilaku Paus dan Lumba-lumba di Laut Sawu. Apa Hasilnya?

Serangkaian penelitian tentang perilaku setasea (mamalia laut) yaitu paus dan lumba-lumba di perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dilakukan untuk mendorong kebijakan pengaturan zona yang tepat. Revitalisasi budaya lokal juga dinilai penting untuk upaya perlindungan mamalia ini.

Penelitian terakhir pada 2016 ini dirangkum dalam hasil riset Kesesuaian Zonasi di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu sebagai Kawasan Konservasi Perairan oleh Mujiyanto dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kemunculan lumba-lumba disebut sangat tinggi tanpa mengenal musim di wilayah sekitar perairan Sumba Timur, tepatnya di selat antara Pulau Sumba dengan Pulau Salura. Lokasi ini disarankan sebagai tambahan zona inti yang sudah ada saat ini seluas 52.526,11 ha.

baca : Adakah Paus dan Lumba-lumba di Perairan Laut Sawu NTT?

Zonasi untuk melindungi keberlanjutan setasea berdasarkan hasil analisis perlu disesuaikan dengan penambahan dan merubah dari zona perikanan yang ada saat ini sekitar 324.579.92 ha. Zona Sumba Barat Daya dan Sumba Barat sekitar 239.307.52 ha dan di sekitar Daratan Timor sekitar 445.567.44 ha diusulkan diubah menjadi bagian dari sub zona perlindungan setasea.

“Pembenahan luasan dari sub zona perikanan berkelanjutan untuk memberikan ruang bagi keberadaan paus dan lumba,” urai Mujiyanto kepada Mongabay Indonesia melalui e-mail.

 

Serombongan lumba-lumba kerap dijumpai di area Sulamu dan Afoan, Perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Foto : BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia

 

Pada area sub zona tersebut, diduga menjadi area asuhan dan mencari makan bagi gerombolan lumba-lumba dan paus. Pembenahan tersebut berupa penambahan zona inti di wilayah sekitar Pulau Salura, Sumba Timur serta mengoptimalkan pengawasan.

Sub zona perlindungan setasea di wilayah sekitar Kabupaten Sabu Raijua dinilai perlu ditinjau ulang jika mengacu pada luasan zonasi yang ada saat ini. Pada lokasi yang dijadikan sebagai sub zona perlindungan setasea, ditemukan paus dan lumba-lumba yang selalu terdampar.

Mujiyanto juga memberi catatan pentingnya revitalisasi kearifan lokal misalnya melegalkan keberadaan kearifan lokal yang berhubungan dengan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut dalam bentuk peraturan daerah bupati maupun gubernur. Legalitas hukum terhadap kebudayaan lokal masyakarat merupakan pengakuan keberadaan sejarah masyarakat di dalam kawasan TNP Laut Sawu.

“Legalnya kebudayaan lokal yang masyarakat akui secara turun termurun, akan berdampak positif terhadap partisipasi aktif masyarakat,” lanjutnya.

baca : Nelayan Flores Timur Mulai Enggan Tangkap Satwa Laut Dilindungi, Kenapa?

 

Seekor spinner dolphin terlihat di Taman Nasional Perairan Laut Sawu NTT pada 22 Maret 2016. Hasil penelitian Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) KKP pada 2014-2017 menunjukkan kemunculan satwa setasea (paus dan lumba-lumba) sangat tinggi di Laut Sawu. Foto : BRPSDI KKP/Mongabay Indonesia

 

Dalam sejumlah peristiwa upaya evakuasi terdamparnya setasea di kawasan ini, warga lokal menerapkan tradisi lokal misalnya saat menggiring paus keluar teluk menuju laut lepas. Seperti saat empat Paus Biru diketahui muncul di Teluk Waienga, Desa Watodir, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, Jumat (20/10/2017) dan dua ekor di antaranya terjebak di bagian palung teluk selama beberapa hari.

Sebuah ritual kearifan lokal penyelamatan paus pun dilakukan. Dimulai dengan membuat bunyi-bunyian di bawah laut untuk membawa ke pintu keluar palung. Kemudian ditambah dengan dengan lantunan doa dan sejumlah sarana pengantarnya.

“Ritual Soro Nei, bisa dibilang memberi makan dan meminta untuk kembali ke laut lepas,” kata Antony Lebuan, salah satu relawan evakuasi dan Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lembata. Secara harfiah seperti spirit memberi makan dan memanggilnya menuju laut. Menggunakan sejumlah sarana seperti kapas, ikan kering putih, dan tuak atau air deresan bunga kelapa/lontar.

baca : Ritual Penyelamatan Paus Biru di Lembata

 

Seekor paus sperma yang terlihat di Taman Nasional Perairan Teluk Sawu pada 21 November 2015. Hasil penelitian Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) KKP pada 2014-2017 menunjukkan kemunculan satwa setasea (paus dan lumba-lumba) sangat tinggi di Laut Sawu.Foto : BRPSDI KKP/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Konservasi

Sebagian perairan Laut Sawu ditetapkan sebagai Taman Nasional Perairan (TNP) oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sejak 2014. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, dengan luasan lebih dari 3 juta hektar, mencakup 10 kabupaten di NTT dengan 22 spesies mamalia laut yang terdiri dari 14 spesies paus dan 7 spesies lumba-lumba serta 1 spesies dugong (Ped-Soede, 2002 dan Khan, 2005).

Luasnya TNP Laut Sawu terbagi dalam beberapa zona yaitu zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan (umum, tradisional, dan setasea) dan zona lainnya (kearifan lokal serta pemanfaatan pariwisata dan budidaya). Untuk sub zona perlindungan setasea seluas 1.240.768,54 hektare atau 36,98% dari luas TNP Laut Sawu. Zona ini untuk melindungi habitat dan koridor migrasi penting bagi setasea dan berbagai pemanfaatan lainnya.

Salah satu indikator kunci dari penetapan zonasi di TNP Laut Sawu adalah keberadaan setasea serta migrasinya di perairan Laut Sawu. Berdasarkan data dari kemuculan, gerombolan, tingkah laku serta migrasi lumba-lumba dan paus selama penelitian, beberapa zonasi yang ada memerlukan perubahan.

baca : 45 Ekor Paus Pilot Whale Mati Terdampar di NTT

 

Seekor paus sperma yang terlihat di Taman Nasional Perairan Teluk Sawu pada 21 November 2015. Hasil penelitian Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) KKP pada 2014-2017 menunjukkan kemunculan satwa setasea (paus dan lumba-lumba) sangat tinggi di Laut Sawu. Foto : BRPSDI KKP/Mongabay Indonesia

 

Dalam Keputusan Menteri nomor 6/KEPMEN-KP/2014 ada beberapa butir kegiatan yang direncanakan dalam tahap pertama tahun 2014-2019. Rencana Pengelolaan dan Zonasi dapat ditinjau sekurang-kurangnya 5 tahun sekali.

Selain kondisi biofisik, menurut Mujiyanto, Laut Sawu juga jalur transportasi laut antar pulau di Indonesia (ALKI) sehingga penanganan biota laut yang ada di perairan ini harus lebih serius karena biota tersebut dapat terkena dampak dari kecelakaan kapal, misalnya tumpahan minyak, atau penangkapan biota migrasi illegal.

baca : Paus Ditemukan Mati Terdampar di Lombok dan Bali

 

Hasil Penelitian

Penelitian tahun ketiga merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya (2014 dan 2015), yang mengindikasikan bahwa keberadaan setasea bukan hanya di wilayah TNP Laut Sawu saja, namun sampai di wilayah perairan Sumba. Sehingga hasil penelitian di tahun ketiga (2016) diharapkan dapat menghasilkan data dan informasi kemunculan setasea dan kondisi oseanografi di perairan di dalam dan di luar wilayah TNP Laut Sawu.

Lokasi penelitian ini meliputi perairan di delapan kabupaten yaitu Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Metode yang dipakai dalam mengumpulkan data spesies setasea yaitu dengan pengambilan contoh jarak jauh (distance sampling) dengan satu kelompok pengamat (single observer/platform).

Pada pengamatan di Laut Sawu bulan April 2016, Bottlenose dolphin dan Spinner dolphin menjadi jenis lumba-lumba yang banyak ditemukan. Sementara pengamatan bulan November 2015, lumba-lumba yang banyak ditemukan jenis Pantropical spinner dolphin. Kedalaman minimum kemunculan Bottlenose dolphin adalah 5 m dan maksimun 100 m. Kondisi ini dikarenakan banyaknya jenis lumba-lumba mempunyai kebiasaan mencari makan di perairan dangkal.

 

Peta kemunculan setasea (paus dan lumba-lumba) di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu, NTT. Sumber : riset Mujiyanto dkk/Mongabay Indonesia

 

Peta sebaran mamalia laut di Perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Foto : riset Mujiyanto dkk

 

Hasil pengamatan April 2016, ditemukan delapan jenis paus, didominasi Pygmy killer whale dan Short-finned plot whale yang tersebar di Laut Sawu dengan kisaran suhu 30-31 derajat celcius. Sedangkan hasil pengamatan pada November 2015, ditemukan 6 jenis walaupun jenisnya lebih sedikit pada kisaran suhu 27-29 derajat celcius. Rata-rata paus ditemukan di kedalaman < 500 m.

Perbedaan suhu di perairan dinilai mempengaruhi kemunculan jenis setasea karena beberapa jenis dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuhnya pada kisaran suhu rendah.

Beberapa paus kecil jarang ditemukan di perairan dangkal, baik itu di dekat pantai maupun di pulau. Mereka biasanya ditemukan di perairan berkedalaman >1000 m. Ciri paus kecil lainnya adalah mencari makan dengan mengikuti mangsa mereka pergi, itulah sebabnya beberapa kelompok paus terkadang ditemukan di perairan yang cukup dangkal dan di antara gugus-gugus pulau.

 

Tingkat kemunculan jenis paus dan lumba-lumba di Perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Foto : riset Mujiyanto dkk

 

Exit mobile version