Mongabay.co.id

Abaikan Putusan Mahkamah Agung, Kementerian Agraria Belum Buka Data HGU Sawit

Masrani (berbaju biru) dan ayahnya di tengah-tengah hutan yang terbabat untuk perusahaan sawit. Foto: Tomasz Johnson/Environmental Investigation Agency

Pemerintah, terutama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN masih tak mau membuka data dan informasi kepada publik, bahkan meskipun sudah ada putusan dari pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung. Pada 6 Maret 2017, putusan Mahkamah Agung  menguatkan putusan PTUN Jakarta Timur pada Desember 2016,  agar Kementerian ATR diminta membuka informasi hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit di Kalimantan. Sayangnya, sudah memasuki bulan kedua 2018, kementerian yang kini dipimpin Sofyan Djalil itu, bergeming, enggan menyerahkan HGU.

Baca juga: Mahkamah Agung Putusan Pemerintah Wajib Buka HGU Sawit di Kalimantan

Kesulitan mendapatkan data dan informasi perusahaan, membuat masalah seperti konflik lahan, maupun tumpang tindih, berlarut. Satu contoh dialami Komunitas Ada Muara Tae di Kalimantan Timur, sudah sekitar 46 tahun, mereka berjuang mempertahankan lahan adat dari rampasan korporasi.

Petrus Asuy, tetua adat masyarakat adat Muara Tae, mengatakan, warga berkonflik dengan perusahaan sawit PT Borneo Surya Mining Jaya yang masuk ke wilayah adat mereka.

”Jadi PT Borneo Surya Mining Jaya ini merusak hutan, menghancukan hak-hak masyarakat adat Muara Tae, mengintimidasi, menekan masyarakat supaya tak mempertahankan lahan,” kata Petrus dikutip dari change.org dalam petisi Hentikan Konflik berkepanjangan! Menteri ATR/BPN Sofjan Djalil Harus #BukaInformasi HGU! Sejak beberapa pekan dibuat, petisi ini sudah ditandatangani 46.000 warganet lebih.

Baca juga: KIP Putuskan Data HGU Kebun Sawit di Kalimantan Terbuka buat Publik

Masyarakat Muara Tae, satu dari sekian banyak gambaran bagaimana konflik agraria terjadi karena ada perampasan lahan masyarakat kecil oleh pemilik modal.

“Ketiadaan transparansi, masyarakat yang tadinya kelola lahan, (mereka) tak tahu ada perusahaan mau masuk, merekapun tergusur dari wilayahnya,” kata Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, di Jakarta.

Baca juga: Kala Pengadilan Putuskan HGU Sawit Terbuka buat Publik

Permasalahan tata kelola hutan, katanya, akan makin rumit jika informasi kian tak transparan, tak akurat, koordinasi antarinstansi dan tingkatan pemerintah lemah, serta proses perizinan penggunaan hutan dan lahan tertutup. Kondisi ini, katanya, menyebabkan tumpang tindih perizinan, deforestasi dan konflik tenurial kian meningkat.

Berdasarkan analisa FWI, dari delapan provinsi, yakni Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah menunjukkan ada 8,9 juta hektar wilayah tumpang tindih. Tumpang tindih itu terjadi antara konsesi hak penguasaan hutan, hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit maupun pertambangan.

”Ditambah sekitar 1,5 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan konsesi,” ucap Soelthon.

Satu potret, katanya, konflik lahan di wilayah masyarakat Muara Tae yang didiami Dayak Benuaq Ohokng. Sekitar 10.800 hektar wilayah mereka yang terpetakan, 6% terbebas konsesi perusahaan, 94% tumpang tindih dengan izin perusahaan sawit dan tambang.

Dengan perusahaan datang kuasai lahan, masyarakat kehilangan penghidupan dari hutan. Mereka menggantungkan hidup dari hutan, berburu binatang, air, rotan, ikan, kayu, madu dan tanaman obat tersedia melimpah.

”Konflik ini sebenarnya bisa terselesaikan dengan membuka dokumen HGU kepada publik,” kata Linda Rosalina, Pengkampanye FWI. HGU, katanya, memuat informasi lengkap seperti nama pemegang hak, lokasi, luas konsesi, jenis komoditi, dan peta konsesi perusahaan berupa titik koordinat.

Tak hanya bisa meminimalisir tumpang tindih perusahaan dengan masyarakat, juga sesama konsesi bisnis.  “Tidak ada informasi, simpang siur terkait tata batas lahan antara masyarakat dan perusahaan.”

Pemenuhan hak warga negara atas informasi, Soelthon, yakini akan meningkatkan partisipasi para pihak dalam mewujudkan prinsip kelestarian dan keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan.

 

Hutan hancur, berganti kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Mandek

Petisi yang dibuat FWI dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo dan Sofjan Djalil, Menteri ATR/BPN.

Sudah lebih dua tahun, FWI memperjuangkan keterbukaan dokumen HGU, mulai permohonan data ke Kementerian ATR/BPN, hingga kasasi di Mahkamah Agung.

”Kami sudah pernah melayangkan surat ke ATR, meminta audensi, bahkan melaporkan pengaduan ke Ombusdman dari Agustus, masih belum dapat rekomendasi,” katanya.

FWI pun bikin petisi change.org. Warganet tak hanya mengisi petisi, mereka juga membubuhkan berbagai komentar.

”Menutup informasi publik itu sama dengan mempertahankan dan melindungi korupsi. Kita paksa Menteri ATR/BPN untuk proaktif berantas korupsi agraria dengan membuka data HGU ke publik,” kata Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional.

”Rakyat saja wajib patuh kepada hukum negara, masa’ Menteri tak patuh kepada hukum yang notabene mereka (pemerintah) presiden, para menteri bersama DPR yang membuat/memproduksi peraturan perundangan, hukum,” kata Syarif Hidayatulloh.

Bicara lambat berikan informasi, tak hanya Kementerian ATR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun melakukan hal serupa. KLHK belum memberikan sepenuhnya permintaan data yang disengketakan FWI.

FWI menang sengketa informasi dengan KLHK di Komisi Informasi Publik. KLHK banding ke PTUN. FWI menang dan permohonan KLHK ditolak.

Putusan itu menyebutkan, dokumen rencana kerja usaha (RKU) hutan tanaman, RKU hutan alam, rencana kerja tahunan hutan tanaman, izin pemanfaatan kayu dan izin pemanfaatan kayu, serta rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) dengan kapasitas lebih 6.000 meter kubik adalah dokumen publik.

”Hanya 44% permintaan dokumen dikabulkan KLHK,” kata Linda. Dari 1.207 dokumen,  hanya 532 dokumen diberikan KLHK. Bahkan, beberapa dokumen pada kelompok izin korporasi yang sedang berkasus tak diberikan.

Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Humas KLHK mengatakan, pihak yang sedang bersengkata, FWI sudah dipertemukan dengan wali data KLHK, baik soal dokumen maupun peta. Namun, katanya, untuk data perusahaan yang berproses hukum, penyelidikan PPNS dan lain-lain masih dikecualikan. Berbeda, kalau nanti sudah ada putusan hukum tetap.

”Itu berdasarkan aturan. Takutnya nanti dipakai pihak lawan atau pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah.”

Linda bilang, keterbukaan informasi jadi dasar dalam upaya perbaikan tata kelola hutan di Indonesia. Dengan keterbukaan, katanya, publik dapat berpartisipasi membantu mengungkap praktik-praktik korupsi, mencegah pendapatan negara hilang. “Menyelesaikan konflik tenurial hingga menurunkan deforestasi dan lain-lain.”

 

Foto utama: Masrani (berbaju biru) dan ayahnya di tengah-tengah hutan yang terbabat untuk perusahaan sawit. Foto: Tomasz Johnson/Environmental Investigation Agency

 

 

 

Exit mobile version