Mongabay.co.id

Kapal dan Pelabuhan di Indonesia Aman, Tak Beresiko Perang

Seluruh kapal dan fasilitas pelabuhan yang ada di Indonesia saat ini dinyatakan berada pada tingkat Keamanan 1 (satu) atau normal. Pernyataan yang dirilis Kementerian Perhubungan RI itu sekaligus menyanggah pernyataan Joint War Committe (JWC) pada September 2017 yang menyebut Pelabuhan Jakarta Tanjung Priok masuk dalam daftar pelabuhan beresiko perang (war risk).

Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Jhonny R Silalahi mengatakan, status normal untuk seluruh kapal dan fasilitas pelabuhan tersebut dirilis resmi melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut nomor UM 003/12/4/DJPL-18 tanggal 31 Januari 2018 tentang Tingkat Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan.

“Dengan dikeluarkannya surat edaran tentang tingkat keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan secara nasional berada pada level 1 atau Normal, seharusnya JWC mempertimbangkan untuk segera mengeluarkan Indonesia dari daftar war risk mereka,” ungkap Jhonny di Jakarta, akhir pekan lalu.

baca : Kapal Berbendera Indonesia Diawasi Ketat jika Berlayar ke Luar Negeri, Kenapa?

 

Kapal-kapal eks asing yang dilarang beraktivitas selama masa anev Satgas 115 KKP di Pelabuhan Benoa, Bali pada Selasa (03/08/2016). Foto : Humas KKP

 

Dengan status yang sudah dirilis itu, Jhonny memastikan bahwa seluruh pelabuhan di Indonesia aman untuk kegiatan pelayaran. Status aman tersebut juga menjadi bukti komitmen Indonesia untuk menjaga wilayah lautnya melalui penerapan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code berturut-turut sejak tahun 2004.

“Tahun 2017, US Coast Guard (USCG) kembali memberikan penilaian baik untuk implementasi ISPS Code di Indonesia yang artinya pelabuhan di Indonesia secara umum aman untuk kegiatan pelayaran,” jelasnya.

Dalam menentukan kapal dan fasilitas pelabuhan normal, Kemenhub melalui Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla), memiliki banyak pertimbangan dan alasan. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Dirjen Hubla kemudian bertanggung jawab untuk menetapkan tingkat keamanan secara nasional untuk kapal dan fasilitas pelabuhan.

Tanggung jawab yang diemban itu, kata Jhonny, didasarkan pada ketentuan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code part A.4 dan Part B4.8-4.9 dan Peraturan Menteri Perhubungan No.134/2016 pasal 4 ayat 1 tentang Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan. Sesuai dua peraturan itu, Dirjen Hubla bertugas sebagai Designated Authority (DA) yang berarti juga bertanggung jawab menetapkan tingkat keamanan secara nasional untuk kapal dan fasilitas pelabuhan di Indonesia.

baca : Disini Kapal Besar Pencuri Ikan di Perairan Indonesia Dipantau

 

Kapal MV Bali Gianyar yang ditangkap karena membawa kayu tanpa dokumen sesuai ketentuan. Foto: JPIK Jatim/Mongabay Indonesia

 

Jhonny mengungkapkan, sesuai perkembangan keamanan maritim yang terjadi secara nasional ataupun setempat, maka tingkat keamanan bisa dilakukan perubahan sewaktu-waktu. Selain itu, jika status sudah ditetapkan, Kemenhub akan mengevaluasi setelah enam bulan berjalan sejak surat edaran ditetapkan dan berlaku.

“Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memastikan tingkat keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan secara nasional berada pada level 1 atau Normal,” tegas dia.

Mengingat perubahan status bisa terjadi sepanjang waktu, Jhonny meminta kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat di seluruh Indonesia untuk terus meningkatkan kewaspadaan terkait kapal dan fasilitas pelabuhan di masing-masing daerah. Sikap waspada itu harus selalu ada, untuk mengantisipasi segala kemungkinan ancaman keamanan maritim di wilayah masing-masing.

baca : Transformasi Pinisi, dari Kapal Dagang Legendaris Menjadi Kapal Wisata Unggulan

 

Survei dan Sertifikasi

Sementara, untuk memastikan kapal-kapal berbendera Indonesia sudah memenuhi ketentuan konvensi International Maritime Organization (IMO), Dirjen Hubla berkewajiban untuk melakukan survei dan sertifikasi statutoria kapal-kapal berbendera Indonesia. Hal itu dikatakan Direktur Perkapalan dan Kepelautan Junaidi akhir pekan lalu di Jakarta.

Menurut Junaidi, untuk melaksanakan kegiatan survei dan sertifikasi tersebut, Kemenhub menjalin kerja sama dengan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Kerja sama itu dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama antara Dirjen Hubla dengan PT BKI tentang Pelaksanaan Survei dan Sertifikasi Statutoria Kapal Berbendera Indonesia.

 

Kapal FV Viking ditangkap di perairan Utara Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, karena terbukti melakukan illegal fishing. Kapal ini
dikawal kapal perang TNI AL ke pantai Pangandaran, Jawa Barat untuk ditenggelamkan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Junaidi mengungkapkan, tujuan dari perjanjian yang dibuat tersebut, tidak lain untuk memberikan kewenangan pelaksanaan persetujuan, survei dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia. Selain itu, juga sebagai pendorong kepada PT BKI untuk menjadi anggota Asosiasi Badan Klasifikasi Internasional (IACS member).

“Dimana isi perjanjian ini juga menjelaskan ruang lingkup, jangka waktu, ketentuan dan persyaratan-persyaratan dari kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan,” papar dia.

Lebih lanjut Junaidi menambahkan, saat berada di lapangan, PT BKI diberikan pelaksanaan persetujuan, survei dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia dengan daerah pelayaran Internasional yang berukuran 500 gros ton (GT) atau lebih. Selain itu, sesuai kesepakatan yang dibuat antara kedua belah pihak, PT BKI juga diberikan beberapa kewenangan untuk melaksanakan survei dan sertifikasi statutoria bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang hanya berlayar pada daerah pelayaran di wilayah perairan Indonesia.

Junaidi menambahkan, untuk survei dan sertifikasi kapal-kapal yang berlayar pada daerah pelayaran selain Internasional, PT BKI masih belum bisa melakukan secara langsung. Akan tetapi, survei dan sertifikasi akan dilakukan jika Kemenhub sudah memberikan izin yang didapat melalui hasil assesment kepada PT BKI.

“Dalam hal kecukupan jumlah surveyor dan jumlah kantor cabang PT BKI,” ujar dia.

 

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Walau mendapat kewenangan yang disepakati dalam perjanjian, Junaidi memastikan bahwa Kemenhub akan tetap melakukan audit, monitoring, evaluasi, dan review secara berkala setiap enam bulan sekali sejak perjanjian dibuat dan disepakati. Pengawasan dan audit tersebut dilakukan, untuk memastikan perjanjian yang ditandatangani berjalan sesuai pendelegasian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tak hanya itu, Junaidi menyebutkan, pelaksanaan survei dan sertifikasi statutoria yang dilakukan PT BKI juga dikenai biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, PT BKI juga wajib memberikan pelayanan persetujuan, survei dan sertifikasi statutoria sesuai ketentuan resolusi MSC.349 (92) terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia.

“Setelah itu melaporkan pelaksanaan tugas pendelegasian tersebut kepada Kementerian Perhubungan secara berkala,” tandas dia.

 

Pengawasan Ketat

Di sisi lain, upaya Pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar di luar negeri juga mulai memperlihatkan hasil positif. Dalam tiga tahun terakhir, kapal yang ditahan oleh Port State Control Officer (PSCO) negara anggota Tokyo Memorandum of Understanding (MoU) jumlahnya terus menurun.

Menurut Junaidi, penurunan jumlah kapal bisa dilihat mulai 2015 yang saat itu terdapat 36 kapal yang ditahan dari total 197 kapal yang diperiksa oleh PSCO negara anggota Tokyo MoU. Setahun setelahnya, kapal yang ditahan oleh PSCO jumlahnya menurun menjadi 24 kapal dari total 196 kapal yang diperiksa. Kemudian, pada 2017, kapal yang ditahan oleh negara anggota PSCO jumlahnya menurun lagi hingga hanya 17 kapal saja dari total 196 kapal yang diperiksa.

“Meski terus menurun jumlahnya, namun Pemerintah terus melakukan upaya untuk mengurangi tingkat penahanan kapal-kapalnya tersebut bahkan kalau bisa tidak ada yang ditahan,” ujar dia.

 

Tampak kapal yang jadi buronan interpol ini merapat di deraga Lantamal – I Belawan, dengan pengawalan ketat pasukan TNI AL. Foto: Ayat S Karokaro

 

Junaidi mengungkapkan, sebagai Flag State Control, pihaknya terus berupaya memperketat pemeriksaan kelengkapan keselamatan pelayaran untuk kapal-kapal Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri sesuai dengan acuan konvensi internasional yang berlaku sebagaimana sudah disyaratkan dalam dalam Tokyo (MoU).

“Pemerintah Indonesia terus meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal berbendera Indonesia yang berlayar dalam negeri, terutama pada saat Lebaran dan Natal serta Tahun Baru. Tetapi, kita juga terus meningkatkan pengawasan kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke luar negeri,” jelas dia.

Dalam melaksanakan pengawasan, Junaidi mengaku, selain mengawasi kapal-kapal berbendera Indonesia secara umum, pihaknya juga mengawasi kapal berbendera Indonesia yang berlayar ke luar dan sudah mendapatkan status penahanan (detainable deficiency) oleh Port State Control (PSC) di wilayah Asia Pasifik. Kapal-kapal berstatus penahanan tersebut, oleh PSC sudah dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) Tokyo MoU.

“Itu bisa terjadi karena kapal tidak bisa memenuhi persyaratan kelaiklautan sesuai ketentuan konvensi. Untuk itu, kita fokus meningkatkan pengawasan untuk menurunkan dan meniadakan kapal berbendera yang masih mendapatkan penahanan,” tutur dia.

Untuk mempermudah proses pengawasan di lapangan, Junaidi menambahkan, Kemenhub melalui Dijen Hubla sudah mengeluarkan surat edaran No.UM.003/11/8/DJPL-18 tanggal 5 Februari 2018 tentang peningkatan pengawasan terhadap kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar keluar negeri.

 

Exit mobile version