Mongabay.co.id

Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung

Bangunan panggung itu berdiri kokoh di tepian pantai. Sebuah tracking mangrove selebar 1,5 meter memanjang seratusan meter menjadi penghubung antara daratan dan bangunan tersebut.

Memasuki bangunan tersebut, yang di dindingnya terpasang banner, dilekatkan dengan lakban hitam, sebuah struktur kelembagaan, kami telah ditunggu oleh beberapa orang.

Tak jauh dari bangunan tersebut terhampar beberapa petak lahan tersungkup jaring berwarna hijau. Jalur tracking mangrove memanjang hingga ke ujung. Sepertinya masih dalam proses pembangunan. Warna kayunya masih baru. Sejumlah orang tukang tampak lalu lalang sibuk memeriksa bagian-bagian tracking yang bisa saja terlepas jika tak dipaku dengan kuat.

“Itu tempat pembibitan mangrove. Itu yang masih tersisa. Selebihnya sudah ditanam,” ungkap Saraba menunjuk ke petak yang disungkup hijau itu, akhir Januari 2018 lalu.

baca : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?

 

Saraba, melalui kelompoknya, Mangrove Lantebung, membangun usaha pembibitan mangrove, yang sudah memproduksi ribuan bibit. Selain untuk program CCDP-IFAD, dijual ke luar Lantebung, yaitu ke Untia, seharga Rp1500/bibit. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Saraba adalah tokoh masyarakat kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan. Pria berusia limapuluhan ini dikenal sebagai pemerhati mangrove, yang banyak sejarah pertumbuhan mangrove tersebut. Tidak hanya menjaga, ia juga terlibat dalam berbagai program penanaman, baik itu dilakukan oleh pemerintah, swasta ataupun atas partisipasi pribadi dan masyarakat setempat.

Pada 2016 program pemberdayaan masyarakat pesisir atau Coastal Community Development Project-International Fund Agriculture Development (CCDP-IFAD) masuk ke Lantebung. Sejumlah kelompok beranggotakan 10 orang dibentuk. Beragam kegiatan pemberdayaan masyarakat nelayan dilakukan, seperti pembangunan pondok informasi dan perbaikan lingkungan Mangrove Lantebung.

Awalnya Saraba tidak masuk dalam kelompok yang dibentuk. Perannya jauh lebih vital, yaitu dalam Village Working Group (VWG), yang mengkordinasi seluruh kelompok yang ada, termasuk Kelompok Mangrove Lantebung. VWG yang diketuai pejabat lurah, Saraba menjabat sekretaris.

Saraba, menjelaskan penanaman mangrove di Lantebung dimulai sekitar 1990-an. Pada 2006, muncul ancaman dengan adanya rencana masuknya investor, yang melakukan pengkavlingan kawasan, difasilitasi oleh pemerintah kota. Masyarakat menolak dan sempat melakukan aksi demonstrasi. Rencana itu pun terhenti.

baca : Dapat Bantuan Perahu, Produktivitas Nelayan Kepiting di Lantebung Makassar Meningkat

 

Nelayan turut menjaga kelestarian mangrove di Lantebung, Makassar, Sulsel, karena telah dirasakan manfaatnya, seperti menjaga pesisir dari degradasi dan rumah yang baik bagi kepiting. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Pada tahun 2007 program rehabilitasi kembali dimulai. Bersama sejumlah warga, Saraba melakukan studi banding ke kawasan mangrove Tongke-tongke di Kabupaten Sinjai. Sepulang dari studi banding itulah program rehabilitasi mulai dilakukan meski masih skala kecil. Pada tahun 2010 program rehabilitasi ini kembali dilakukan melalui penanaman 3.000 bibit mangrove.

Inisiatif rehabilitasi muncul dari keprihatinan atas kondisi yang ada. Pembangunan pemukiman yang semakin masif dan meluas hingga garis pantai, membuat mangrove yang semakin hilang. Ditambah oleh ancaman penguasaan sepihak dari investor.

“Kalau ada penanaman mangrove maka kawasan ini bisa dijaga, bisa jadi lingkungan tersendiri, seperti di Tongke-tongke, Sinjai. Ini juga bisa mencegah meluasnya pemukiman. Dulu, kawasan-kawasan di bagian luar itu adalah mangrove yang kemudian ditebang, diganti dengan bangunan rumah.”

baca : Hal-hal yang Dilupakan dalam Rehabilitasi Mangrove

Tidak hanya untuk pemukiman, mangrove juga hilang karena lahannya dikonverasi jadi tambak. Pohon-pohon mangrove juga ditebang untuk dijadikan bahan bakar oleh warga setempat. “Tahun 2006 dilarang mi semua,” tambahnya.

Tapi warga masih bisa memanfaatkan pohon mangrove yang mati atau rusak dan sepengetahuan kelompok. Biasanya digunakan untuk bahan bakar.

Meski ketat, kerusakan kawasan tetap terjadi. Mangrove bagian terluar bisa saja rusak tak sengaja, dijadikan tambatan perahu nelayan.

“Ketika tracking ini belum ada, semua perahu ditambatkan di mangrove. Diikat. Akhirnya banyak yang rusak. Ini tak bisa dihalangi, karena tak ada pilihan lain. Untungnya sekarang sdh ada tracking ini.”

 

Suasana di kawasan mangrove di pesisir Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanayya, Makassar, Sulsel, dengan jalan setapak yang digunakan warga untuk tempat menambatkan perahu. Sebelum adanya tracking ini perahu biasanya diikat di mangrove sehingga merusak ekosistem mangrove yang ada di sana. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pemkot Makassar kemudian menjadikan kawasan mangrove Lantebung, sebagai kawasan wisata, kini semakin meluas. Apalagi sejak masuknya CCDP-IFAD. Penanaman semakin intens dan banyak. Adanya bantuan perahu motor yang bisa digunakan untuk menjangkau tempat yang jauh. Kesadaran warga semakin meningkat akan manfaat mangrove, tidak hanya untuk menjaga degradasi, tetapi juga memberi dampak ekonomi.

Menurut Saraba, luasan kawasan mangrove semakin bertambah sejak masuknya CCDP-IFAD ini. Dulunya, panjangnya hanya sekitar 1,7 km dengan ketebalan 50 meter. Kini panjangnya mencapai 3 km dengan ketebalan 150 meter. Tinggi tanaman variatif antara 1-4 meter. Jenisnya ada dua, Rhizophora atau bakau dan Avicennia sp atau dikenal dengan nama Api-api.

“Kalau mau dihitung yang sudah ditanam sekitar 100 ribu lebih. Cuma semua bibit yang ditanam tidak pasti tumbuh. Dari IFAD kemarin nanam 20 ribu. Mungkin bertahan sekitar 10 ribu.”

Total tanaman ini termasuk yang ditanam oleh banyak pihak. Termasuk dari Pemkot Makassar, Pemprov Sulsel, Pertamina, mahasiswa dan dari partisipasi masyarakat sendiri.

Bibit mangrove mati biasanya karena dimakan kepiting dan tiram, kering, atau karena jatuh hingga kulitnya terkelupas. Kalau yang ditanam agak keluar biasanya rusak karena terhempas ombak.

baca : Dapat Bantuan Perahu, Seperti Ini Kondisi Nelayan Pulau Barrang Lompo

 

Bantuan perahu, mesin perahu dan rakkang (alat tangkap kepiting) dari CCDP-IFAD dapat meningkatkan produktivitas nelayan di pesisir Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanayya, Makassar. Nelayan tangkap kepiting ini dalam sebulan bisa memperoleh penghasilan hingga Rp3 juta. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Saraba, anggaran dari CCDP-IFAD digunakan untuk sejumlah kegiatan, seperti pembuatan usaha pembibitan dan pembelian perahu wisata.

Usaha pembibitan masih berlangsung hingga saat ini. Produksinya sudah mencapai 4000 bibit, tidak termasuk yang ditanam untuk CCDP-IFAD sebesar 20 ribu bibit. Mereka juga sudah menjual ke luar Lantebung, yaitu ke Untia seharga Rp1500/bibit.

“Hasil penjualannya akan diberikan ke anggota sesuai yang mereka tanam. Biasanya kami tidak langsung berikan semuanya. Kasih dulu Rp1000, sisanya akan diberikan kemudian sebagai biaya pemeliharaan. Untuk kelompok sendiri belum ada simpanan khusus, tapi nanti ke depannya akan diupayakan.”

Intensnya upaya rehabilitasi mangrove berdampak pada semakin membaiknya kualitas pesisir Lantebung. Hasil tangkapan ikan dan kepiting semakin meningkat. Mangrove sendiri menjadi habitat penting tempat bertelurnya kepiting rajungan dan kepiting bakau.

“Di sini ada sekitar 30 nelayan kepiting dan semuanya akan tergantung pada kondisi mangrove. Kalau dulu tangkapan bisa dihitung dengan jari, kini sudah bisa dapat beberapa kilogram perhari. Harga kepiting juga mulai bagus. Kalau dulu rata-rata Rp10 ribu – Rp15 ribu per kilo. Sekarang antara Rp30 ribu – RpRp35 ribu. Bahkan pernah mencapai Rp40 ribu,” ujar Saraba.

Menurut Andi Nur, Tenaga Pendamping Desa (TPD) Kelurahan Bira, tantangan pendampingan selama ini, khususnya untuk kelompok PSDA ini adalah tidak semua anggota kelompok memahami tujuan dan arah kerja kelompok. Rendahnya pendidikan menjadi sebab.

“Ada dinamika dalam kelompok. Namun dalam perjalanan bisa dilakukan koreksi-koreksi. Apalagi dengan keterlibatan Pak Saraba. Sejumlah anggota kelompok lainnya pun kemudian bisa kembali ke jalur.”

 

Exit mobile version