Mongabay.co.id

Revisi Baku Mutu Emisi Pembangkit Batubara, Begini Masukan Mereka

Kalau ada foto-foto gini sebaiknya diberi kredit

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah merevisi Permen Lingkungan Hidup No 21/2008 soal baku mutu emisi (BME) thermal. Kalangan organisasi lingkungan menilai revisi aturan ini, terutama untuk pembangkit batubara, masih lemah. Muncul usulan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), lebih lemah lagi. Organisasi-organisasi lingkungan ini meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jangan dulu mengesahkan revisi aturan ini.

Menurut Walhi,  berdasarkan draf yang diperoleh, revisi permen itu tak memperhatikan keselamatan dan kesehatan publik, selain standar BME lemah.

“Dari hasil bacaan kami ada beberapa kelemahan draf permen BME pembangkit thermal,” kata Dwi Sawung, Juru Kampanye Energi dan Urban Walhi Nasional, Februari lalu.

Upaya pemerintah melalui KLHK beberapa tahun ini merevisi Permen Lingkungan Hidup No. 21 karena BME PLTU batubara masih pakai angka sangat besar, yakni 750 mg/Nmuntuk SO2 dan NO2, dan partikulat 100.

Dalam permen itu juga tidak diatur soal PM  2,5 dan merkuri. Standar yang sangat lemah ini hingga harus revisi.

Dalam draf dari Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, MR Karliansyah, ada tiga kategori. Pertama,  untuk PLTU beroperasi sebelum 1 Desember 2008. Kedua, PLTU yang perencanaan atau beroperasi setelah 1 Januari 2009-31 Desember 2020. Ketiga, PLTU yang beroperasi setelah 1 Januari 2021.

Secara praktis, kata Sawung, tak ada PLTU akan masuk dalam kategori tiga karena semua PLTU sudah ada dalam perencanaan.

“Praktis semua PLTU berada dalam kategori satu dan dua.”

Angka-angka di dalam tabel itu, juga masih terlalu tinggi. “Jika kita bandingkan dengan Tiongkok dan India terdapat perbedaan sangat jauh sekali.”

Dia contohkan, Tiongkok, SO2 untuk pembangkit sudah beroperasi, 200, baru operasi 100, angka NOx untuk baru 100, yang beroperasi pada 2004-2011 angka 100 serta sebelum 2004 pada angka 200.

“Dalam draf itu kami tak mengetahui dari mana angka-angka itu berasal. Basis ilmiah apa yang diambil untuk menetapkan angka itu? Apakah dari penelitian kesehatan terbaru? Ataukah dari hasil negosiasi dengan pembangkit?” ucap Sawung.

Kalau melihat perkembangan teknologi terbaru, alat pengendali pencemaran udara yang tersedia di pasar saat ini mampu menekan ke angka lebih ketat.

“Ataukah pemilik pembangkit tak bersedia mengeluarkan uang untuk memperbaharui alat pengendali pencemaran udara mereka?”

 

Rancangan BME pembangkit batubara, dari KLHK, sebelum masukan Kementerian ESDM
Rancangan BME pembangkit batubara, setelah masukan Kementerian ESDM

 

Kondisi seperti ini, kata Sawung, penting sekali ada konsultasi publik terbuka guna menunjukkan proses keputusan angka baku mutu udara memihak kepentingan kesehatan publik, bukan berdasarkan keinginan industri saja.

Penetapan kategori, kata Walhi sangat janggal. Membuat peraturan ini, katanya,  seperti berusaha membuat tak ada PLTU yang akan masuk kategori ketiga– yang memiliki standar baku mutu lebih ketat.

Satu hal lagi, dalam draf tak mencantumkan parameter PM 2,5 ke dalam baku mutu. Padahal, katanya,  penelitian dunia medis terbaru sudah menyebutkan PM 2,5 sebagai ancaman kesehatan dari emisi pembangkit. Banyak negara sudah mencantumkan PM 2,5 sebagai standar baku mutu.

Di dalam draf itu, juga tak ada kewajiban memasang continous emmission monitoring system (CEMS). Padahal,  dengan CEMS yang terhubung langsung dengan server pemantau terpusat  membuat sumber emisi sulit mempermainkan angka pemantauan.

“Dari hasil bacaan kami, draf revisi permen ini masih lemah dan belum layak ditetapkan jadi permen. Memerlukan pelibatan publik dalam menentukan angka lebih memperhatikan dampak kesehatan publik.”

 

Minim pelibatan publik

Pelibatan publik minim dalam pembahasan revisi permen ini juga jadi sorotan berbagai organisasi lingkungan. Sebelumnya,  Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dan Greenpeace,  pernah mengajukan diri terlibat dalam konsultasi publik pembahasan revisi.

Namun,  dengan alasan tidak jadi pihak terkait, tak bisa ikut. Baru pada pertengahan Februari lalu, pemerintah mengajak organisasi masyarakat sipil ikut konsultasi publik. “Padahal masyarakat terdampak yang akan menghirup asapnya,” ucap Sawung.

Walhi dalam surat yang dikirim Direktur Walhi Nur Hidayati pada 20 Desember 2017,  meminta informasi lengkap hasil konsultasi publik yang diketahui dilakukan pada 12 dan 20 Desember 2017.

Menanggapi surat itu, dalam surat MR Karliansyah 12 Januari 2018 mengatakan, prinsipnya pemerintah– Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, PT PLN dan perusahaan pembangkit– mendukung rencana penurunan emisi pembangkit dengan merevisi Permen LH 21.

“Pihak-pihak itu mengusulkan agar penurunan emisi dengan mempertimbangkan kondisi pembangkit dan dampak ikutannya,” kata Karliansyah dalam surat balasan.

 

 

KLHK lantas mengirimkan draf angka yang diusulkan buat BME. Dalam draf dinyatakan volume gas diukur pada keadaan standar 25 derajat celcius, satu atm dalam keadaan kering, semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7% untuk bahan bakar batubara dan wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

Meski demikian, Walhi mengapresiasi dengan memasukkan merkuri sebagai salah satu pencemar. Ia terkait ratifikasi Konvensi Minamata sebagai upaya Indonesia menekan peredaran merkuri.

Namun, angka parameter merkuri, 0.03 masih belum memuaskan. Meski sama dengan India dan Tiongkok, Amerika Serikat berani menekan hingga 0.001.

Walhi menyayangkan parameter total partikulat (PM) belum tercantum lebih spesifik PM 2,5 atau PM10.

“Jika berdasarkan kajian terbaru harusnya dicantumkan PM 2,5 atau PM 10. Ini draf masih PM saja. Ini bikin kita tertinggal karena revisi tidak berdasarkan kajian terbaru,” katanya.

Kondisi ini, bakal menyulitkan advokasi penyelamatan lingkungan, kalau terjadi pelanggaran dan dibawa ke pengadilan dasar hukumnya masih sangat lemah.

Dengan kata lain, pembangkit-pembangkit tak akan masuk dalam kategori mencemari, meskipun fakta demikian karena aturan BME rendah.

“Harusnya angka-angka ini ditetapkan berdasarkan riset kesehatan dan teknologi terbaru, bukan hanya bincang-bincang dengan industri sebagai pencemar. Dampaknya, masyarakat yang menanggung akibatnya, menghirup asap.”

 

Politik lingkungan?

Khalisah Khalid, Kepala Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi mengatakan, draf BME masih lemah dan mutu rendah ini menunjukkan politik lingkungan mencerminkan kegagalan pemerintah melihat keselamatan publik.

“Karena bukan dianggap persoalan publik maka pelibatan publik pun diabaikan,” kata Alin, panggilan akrabnya.

Angka-angka yang muncul,  katanya, jadi sangat politis. Sayangnya, tak berpihak pada masyarakat, tetapi industri.

Tak hanya soal warga terdampak pencemaran dan polusi, dari segi ekonomi pun angka ini menunjukkan pembangkit batubara bukanlah pembangkit murah.

“Ini bukan saja karena eksternalitas, pencemaran lingkungan dan dampak kesehatan tak pernah dihitung juga secara teknis untuk memakai pembangkit ini butuh biaya besar,” katanya, seraya bilang, idealnya gunakan Air Pollution Control (APC) yang memakan biaya.

 

Truk pengangkut batubara ke PLTU yang lalu lalang di jalanan desa dan menimbulkan debu, terutama musim kemarau. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah pun, katanya, mestinya juga memperhatikan karakter pelaku industri yang akan merunut pada peraturan dalam negeri.

Contoh, meskipun Jepang punya teknologi lebih ketat untuk BME, namun karena regulasi dalam negeri lemah, mereka akan memakai standar rendah. Jika terjadi pencemaran, masyarakat baik pemerintah tak bisa menuntut karena secara aturan memang tidak melanggar.

“Akhirnya pemerintah juga yang bertanggungjawab.”

Untuk itu, Walhi meminta KLHK jangan dulu mengesahkan revisi permen ini sampai membuka partisipasi publik terutama masyarakat terdampak.”

 

Kenaikan harga batubara

Selain BME, Walhi juga meminta pemerintah mempertimbangkan tren kenaikan harga batubara sejak awal 2018.

Dalam website KESDM,  harga batubara acuan (HBA) untuk Februari 2018 sebesar US$100.69 per ton, naik US$5.15 dibanding Januari US$95.54.

Menurut KESDM, kenaikan harga batubara dipicu permintaan tinggi dari Tiongkok untuk musim dingin, juga produksi dan pengiriman batubara terhambat karena cuaca di negara itu.

HBA merupakan harga rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya dengan kualitas disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8% dan ash 15%.

Pemerintah sudah merumuskan formula baru harga batubara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO) melibatkan PLN dan industri batubara dalam negeri.

Bagi pemerintah formula baru ini diharapkan dapat menjaga kestabilan tarif listrik untuk menjaga daya beli masyarakat, inflasi dan daya saing industri. Sebelumnya, pemerintah menegaskan tarif listrik tak akan naik hingga akhir Maret 2018.

Walhi melihat,  ini makin menunjukkan harga listrik mahal dari pembangkit batubara.

“Jika tanpa eksternalitas memang murah, jika dipasang APC dengan BME ketat ditambah lagi harga batubara yang makin mahal, jadinya mahal ke tarif listrik. Meskipun ada subsidi untuk masyarakat, tetap kembali beban ke negara,” ucap Alin.

 

Dampak yang ditimbulkan batubara, antara kondisi saat ini dan perkiraan masa depan kala pembangkit batubara proyek 35.000 mW terealisasi. Sumber: Greenpeace

 

 

Tak perbaiki kondisi

Greenpeace juga mengkritisi BME ini. Dari tiga kategori itu, sebut Greenpeace dalam tanggapan terhadap revisi aturan BME, kategori I dan II masih sangat lemah. Kalau ikut kriteria itu, 75% PLTU eksisting bahkan telah memenuhi angka pada rancangan BME ini hingga praktis tak perlu pemasangan teknologi pengontrol emisi tambahan untuk mengurangi emisi.

Ketiga kategori itu, juga masih mengizinkan pelepasan merkuri tinggi, yaitu 30 ug/Nm3. Jadi, penerapan rancangan BME pada permen ini tak akan signifikan memperbaiki polusi udara yang ada.

Dengan membandingkan kapasitas PLTU batubara sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2017-2026 yang akan diatur dalam permen ini, dipastikan 77% dari PLTU atau 41,844 MW, bakal di bawah BME kategori I dan II..

Greenpeace menyebut, peraturan yang lemah ini bakal berdampak negatif serius selama PLTU beroperasi. “Kita akan terkunci dalam ancaman polusi udara serius selama 30 tahun masa operasi.”

Hanya 23% dari total PLTU yang akan beroperasi setelah 1 Januari 2021, atau sebesar 12,721 MW, berada pada BME cukup ketat.

Belum lagi, kata “perencanaan” pada kategori II bisa menimbulkan ambigu. Di mana semua proyek PLTU yang memasuki proses perencanaan rentang waktu 1 Januari 2009-21 Desember 2020, namun selesai setelah 1 Januari 2021, dapat masuk kategori II dengan baku mutu lebih longgar. Alias, dengan kata lain, bisa saja muncul pengertian tak akan ada PLTU baru masuk kategori III.

 

Perbandingan BME PLTU batubara di beberapa negara

 

 

ESDM masih perlonggar revisi aturan

KESDM mengusulkan nilai BME pembangkit batubara lebih rendah dari usulan KLHK. Pelonggaran ambang batas emisi ini akan memperburuk dampak pembakaran batubara PLTU terhadap pencemaran udara.

“ESDM tidak menganggap pencemaran udara dari pembakaran batubara sebagai masalah serius dan memilih melindungi pihak pembangkit dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatan masyarakat,” kata Sawung.

Berdasarkan hasil terbaru dari diskusi Greenpeace, Walhi, dan ICEL, bersama KLHK pada 15 Februari 2018, terdapat perubahan angka dalam rancangan BME untuk PLTU batubara dari sebelumnya.

Berdasarkan keterangan dari  KLHK, perubahan rancangan BME ini dibuat berdasarkan usul dan kesepakatan dengan KESDM yang merasakan keberatan dengan rancangan sebelumnya.

Pada draf rancangan revisi permen LH itu, KESDM mengusulkan nilai BME di angka 200 untuk SO2 (mg/Nm3) dan NO2 (mg/Nm3). Nilai 75 (mg/Nm3) untuk partikulat PM dan 30 Hg (mg/Nm3).

Batas emisi ini berlaku pada PLTU yang beroperasi setelah permen ditetapkan. Dengan begitu, katanya, proyek megawat Grid Jawa-Bali tak termasuk BME ini.

Dengan kata lain, katanya, nilai BME berlaku sama dengan PLTU-PLTU tua seperti Suralaya yakni 550 (mg/Nm3) untuk SO2 dan NO2. Pengajuan BME ini, katanya,  jauh di bawah usulan KLHK.

Adila Isfandiari, peneliti dari Greenpeace Indonesia mengatakan, BME dalam permen ini berperan sangat penting dalam meminimalisir dampak negatif dari PLTU batubara bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.

Kajian Greenpeace kalau rencana pembangunan baru enam pembangkit listrik batubara dilakukan, Kota Jakarta adalah satu-satunya ibu kota di dunia paling banyak di kelilingi PLTU dalam radius 100 kilometer. Pada 2025, PLTU di sekitar Jakarta mencapai 12 unit.

Margaretha Quina dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mempertanyakan keseriusan pemerintah menekan emisi dalam rancangan revisi permen BME. Saat ini, katanya, tak ada dasar jelas bagaimana pemerintah menetapkan angka-angka BME itu.

“Nilai BME dalam Permen LH ini diharapkan dapat mengantisipasi lonjakan peningkatan beban emisi hingga kategorisasi pengetatan nilai emisi harus didasarkan analisis armada. Harus memberlakukan nilai BME terketat terhadap pembangkit yang belum beroperasi,” katanya.

Sikap KESDM, katanya, jelas bertolak belakang dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan yang telah mengakui ada permasalahan pencemaran udara dari PLTU batubara, khusus Jawa-Bali.

 

Foto utama: Cerobong asap batubara mengepul di permukiman warga di Desa Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Rabu (14/2/2017). Warga setempat mengeluhkan asap batubara karena sering menyebabkan sesak nafas. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Warga harus menutup rumah pakai terpal karena debu dari PLTU masuk ke rumah mereka dan sangat mengganggu. Foto: Greenpeace

 

 

 

Exit mobile version