Mongabay.co.id

Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

Indonesia disebut sebagai surganya keragaman hayati dunia. Terutama, Wallacea. Wilayah ini, meliputi ribuan pulau yang berada di antara kawasan Oriental dan Australasia. Pulau-pulau tersebut masuk dalam tiga kelompok yaitu Sulawesi dan pulau satelitnya, Kepulauan Maluku, serta Kepulauan Nusa Tenggara.

Jatna Supriatna, pakar biologi konservasi Indonesia menuturkan, meski Wallacea kaya ragam hayati akan tetapi ancaman kepunahan flora dan faunanya juga ada. Terutama, di pulau-pulau kecil yang jauh dari pantauan. “Selama ini, fokus kepunahan masih pada hewan besar di wilayah yang terlihat seperti harimau, badak, atau orangutan,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia usai peluncuran buku fotografi karya Riza Marlon, Wallace’s Living Legacy di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Jatna mencontohkan temuan tarsius tumpara dalam famili Tarsiidae, yang merupakan primata endemik Pulau Siau, Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara. Pulau ini, mempunyai gunung api yang masih aktif. “Kalau terjadi erupsi besar Gunung Karangetang, bisa langsung habis semua,” ujar anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Baca: Jejak Alfred Russel Wallace Itu Sungguh Mengagumkan

 

Tarsius spectrum si penjelajah malam. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Ancaman kepunahan juga bisa datang dari aktivitas manusia seperti perkebunan sawit yang mulai merambah pulau-pulau kecil, perburuan liar, hingga perubahan iklim. Di pulau-pulau kecil,   perubahan terjadi sangat cepat, seperti cuaca dan pengaruh suhu permukaan, perbedaan kelembababan dan panas, juga bencana alam.

“Wallacea yang kaya, sudah mendapat perhatian dunia. Pemerintah Inggris, memberikan kerja sama dana penelitian di wilayah ini. Dana tersebut, menjadi peluang besar untuk para peneliti Indonesia mengeksplorasi flora dan fauna yang belum tergarap,” jelasnya.

 

Kuskus (Ailurops ursinus) yang hidupnya damai di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Jatna mengatakan, potensi temuan flora dan fauna endemik di Wallace memang sangat besar karena memang belum terdeteksi maksimal secara ilmiah. Selain peneliti, diperlukan juga pula para taksonomis yang dikhususkan datang ke lapangan untuk mengumpulkan, mencatat temuan, serta membantu para peneliti. Setelah itu, para ilmuwan datang untuk menjelaskan secara ilmiah.

Terkait buku yang diluncurkan Riza Marlon, dia mengatakan satwa yang dipublikasikan memang beragam. Sebagai fotografer alam dan satwa liar, kata Jatna, dia mengetahui lokasi satwa dan komposisi warna yang menarik. Dia memotretnya, lalu dicocokkan dengan penjelasan ilmuwan. Sementara para peneliti atau ilmuwan, biasanya datang dengan target khusus dan fokus pada objek tertentu tanpa memperhatikan aspek fotografi. “Kalau ilmuwan itu fotonya untuk riset, diletakkan di museum, lalu disimpan,” jelasnya.

 

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Indonesia miskin ilustrasi satwa liar

Riza Marlon pada buku ketiganya Wallace’s Living Legacy, menampilkan berbagai foto satwa liar khas Wallacea. Dua bukunya yang sudah terbit adalah Living Treasure of Indonesia   (2010) dan Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan:107+ Ular Indonesia   (2014).

Caca, panggilan Riza Marlon, mengakui tidak memasukkan status satwa di buku yang disusun tujuh tahun ini. Selain karena keterbatasan ruang, ia juga tidak mau terlalu ‘ilmiah’. Dia berpendapat, dirinya bukan lagi ilmuwan dan bukunya diharapkan bisa memberikan informasi yang tidak memusingkan pembaca.

Butuh perjuangan berat bagi Caca untuk mendokumentasikan satwa-satwa tersebut. Keluar masuk hutan, naik turun lembah dan gunung, menginap berhari di hutan, hingga memanjat pohon tinggi. Ia memilih 200 foto dari ribuan frame satwa yang sebagian besar merupakan satwa endemik, alias tak ditemukan di tempat lain di dunia.

Caca juga berbagi pengalaman memotret satwa liar selama 25 tahun karirnya. Ada beragam masalah, mulai luas Indonesia dengan sebaran 17 ribu pulau, fauna peralihan, ancaman kehidupan satwa akibat alih fungsi lahan, tambang, HPH, hingga perdagangan liar. Meski begitu, untuk memotret juga butuh ketertarikan, komitmen kuat, investasi jangka panjang, hingga peralatan.

Namun, dengan kemajuan teknologi, alasan keterbatasan peralatan sudah bisa diatasi. “Tak ada alasan lagi untuk tidak mendokumentasikan. Peralatan fotografi kini makin ringan dan terjangkau,” ujarnya.

Baca juga: Riza Marlon: Medan Terberat Adalah Kawasan Indonesia Timur…

 

Riza Marlon menunjukkan buku terbarunya Wallace’s Living Legacy, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (14/3/2018). Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional ini mengatakan, hingga sekarang tak banyak referensi visual mengenai satwa liar, terlebih endemik Indonesia. “Kita masih miskin ilustrasi foto satwa liar, apalagi endemik,”ujarnya. Karena tak banyak terpublikasi dan dikenal masyarakat, maka rasa memiliki akan kekayaan alam Indonesia belum tumbuh.

Kata-kata bijak tak kenal maka tak sayang tampaknya berlaku pada lingkungan, khususnya satwa liar dan endemik. Menurut Caca, untuk konservasi lingkungan, butuh dukungan publik yang hingga kini masih sulit diperoleh karena masyarakat belum mengetahuinya. Karena itu, harus ada proses pengenalan dan pembelajaran. Melalui buku, informasi ini disampaikan meski banyak pihak yang takut membuatnya. “Padahal reaksi publik bagus.”

Sejak kecil, Caca memang tertarik pada satwa. Didukung    hobi fotografinya, ia mengabadikan obyek satwa di sekitarnya. Semasa kuliah, ia menyadari kekayaan alam Indonesia belum banyak didokumentasikan, justru produksi buku dan film tentang satwa Indonesia dikerjakan orang asing.   Caca hadir mengisi kekosongan    tersebut, menjadikan alam dan satwa liar sebagai bagian hidupnya.

 

Yaki (Macaca nigra). Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Sarwono Kusumaatmadja, mengapresiasi buku ini dengan mengatakan, Riza Marlon mengungkap kekayaan alam Indonesia yang tidak diketahui sebelumnya. Indonesia yang secara geografis terdiri dari kepulauan dengan kekayaan alam tinggi, membuat  Nusantara makin berharga. “Jasa Riza membuat kita mengetahui kekayaan alam, dia membantu melindungi Indonesia,” ujar Sarwono.

Fotografer Arbain Rambey, sebagai salah satu editor foto menjelaskan, buku Riza seperti buku jurnalistik. “Segala sesuatunya direncanakan, terukur dan memberikan informasi sangat penting,” ujar Arbain. Ia memuji karya Riza dengan komitmen yang sangat tinggi. Ia mengatakan, dirinya belum sempat menjelajah hutan-hutan dan alam Indonesia seperti yang dilakukan Caca.

 

 

Exit mobile version