Mongabay.co.id

Kenapa Pemerintah Tak Juga Perbaiki Tata Kelola Garam Nasional?

Pemerintah akan segera mengeluarkan rekomendasi impor garam untuk memenuhi kekurangan garam industri sebesar 1,33 juta ton dari total kebutuhan 3,7 juta ton. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sendiri dikabarkan akan menerbitkan rekomendasi untuk impor garam sebesar 600 ribu ton. Adapun, izin yang sudah diterbitkan dari kebutuhan 3,7 juta ton adalah 2,37 juta ton dan diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Impor tersebut dengan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) No.9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Dengan bakal diterbitkannya izin impor tambahan garam oleh Kemenperin, maka hal tersebut mengambil kewenangan penerbitan izin tersebut oleh KKP dalam Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Sejumlah kalangan menilai penerbitan PP No.9/2018 tersebut sebagai kebijakan yang kurang tepat. Penerbitan PP memang akan memuluskan impor garam, tetapi juga sekaligus akan semakin menyudutkan masyarakat pesisir dan petambak garam.

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, Minggu (18/3/2018). Menurut dia, kebijakan tersebut dinilai sudah tidak berpihak lagi kepada kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan petambak garam di Indonesia. Padahal, selain impor, ada pilihan lain yaitu pembenahan tata kelola garam nasional yang masih amburadul.

“(Presiden) Jokowi tidak punya itikad baik (untuk) membenahi tata kelola garam. PP ini dinilai semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini jelas-jelas hanya menguntungkan pengimpor saja,” ungkapnya.

Menurut Susan, penerbitan PP oleh Presiden Joko Widodo tersebut, juga semakin menegaskan bahwa pemerintahan sekarang semakin kehilangan komitmen untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap komoditas perikanan dan pergaraman di Indonesia.

baca : Kenapa Harus Impor Garam Lagi?

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kontra UU No.7/2016

Tak hanya memperlihatkan sikap tidak konsisten, Susan menerangkan, substansi dari PP tersebut juga sudah jelas bertentangan dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Padahal, kedua peraturan itu diterbitkan dalam kurun waktu hampir berdekatan.

Susan merinci beberapa hal yang bertentangan dalam PP dengan UU No.7/2016. Pertama, di dalam UU No.7/2016, kewenangan pengendalian Impor komoditas perikanan dan pergaraman berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara, dalam PP No.9/2018, kewenangan sudah beralih ke bawah kendali KKP, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.

“Hal ini jelas akan terus melanggengkan ego sektoral kementerian dalam urusan impor,” kata dia.

Poin kedua yang menjadi perhatian Susan, adalah tentang klausul yang ada di dalam UU yang menyebut penetapan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib impor garam dengan sangat jelas, yakni mengikuti ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh KKP. Akan tetapi, dalam PP, aturan itu dikaburkan.

Tak hanya itu, Susan kemudian menambahkan, di dalam PP sudah tidak dibahas lagi tentang batasan waktu impor komoditas perikanan dan pergaraman. Pembebasan batasan itu, akan menjadi kebijakan yang sangat berbahaya di kemudian hari.

baca : Kenapa Kebijakan Impor Garam Harus Ditinjau Kembali?

 

Petani garam memanen garam dalam palungan yaitu bilah batang pohon kelapa untuk menjemur air tua menjadi garam kristal di Kusamba, Klungkung, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Mempertimbangkan dua hal utama yang disebutkan di atas, Susan meminta Pemerintah untuk segera membatalkan PP No.9/2018 karena itu bertentangan dengan UU No.7/2016 sekaligus berpotensi mematikan industri perikanan dan pergaraman rakyat di Indonesia.

Terpisah, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah Fadhilah mengungkapkan kekecewaannya atas penerbitan PP No.9/2018. Menurut dia, penerbitan PP akan semakin mempermudah impor garam ke Indonesia tanpa mempertimbangkan waktu yang tepat seperti waktu panen raya garam rakyat.

“Kami masyarakat petambak garam kecewa dengan pemerintah,” tegasnya.

Waji mengatakan, alasan Pemerintah yang menyebut kandungan natrium klorida (NaCl) dalam garam masyarakat tidak sampai 97 persen, merupakan alasan klasik yang seharusnya tidak perlu dimunculkan. Menurut dia, saat ini petambak garam rakyat sudah terus meningkatkan kualitasnya dan itu terjadi di banyak tempat.

Waji kemudian mencontohkan, di kebun garam miliknya di Cirebon, Jawa Barat, sudah sejak lama garam diproduksi dengan memerhatikan kandungan NaCI di atas 97 persen. Tak hanya itu, di saat musim hujan, kebun miliknya masih bisa melakukan produksi garam hingga mencapai 200 ton.

“Pemerintah seharusnya memperkuat usaha garam rakyat dengan cara mengimplementasikan seluruh mandat yang terkandung di dalam UU No.7/2016. Sebaliknya, dengan mempermudah impor garam melalui aturan baru, justru akan mematikan usaha garam rakyat secara perlahan-lahan,” pungkas dia.

baca : Dulu Indonesia Swasembada Garam, Kini Jadi Importir Garam, Ada Apa Sebenarnya?

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

 

Sementara, pendapat serupa juga diungkapkan Serikat Nelayan Indonesia (SNI) yang menilai penerbitan PP yang ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo, merupakan kebijakan yang salah karena sudah bertabrakan dengan UU No.7/2016.

Sekretaris Jenderal SNI Budi Laksana di Jakarta, Minggu, menjelaskan, Pemerintah membuat langkah blunder dengan menerbitkan PP impor garam. Seharusnya, Pemerintah jeli tentang adanya ketidakjelasan kewenangan dalam kendali impor yang selama ini berjalan.

“Ini adalah masalah keberpihakan dan ketidakberpihakan. Adanya tumpang tindih kewenangan dalam kendali impor di kementerian mengindakasikan tarik menarik kepentingan yang kuat,” ungkap dia.

Menurut Budi, persoalan kelangkaan garam selalu menjadi masalah dari tahun ke tahun tetapi tidak ada upaya dari Pemerintah untuk mencari jalan keluar. Tak hanya itu, penerbitan UU No.7/2016, juga sudah menegaskan bahwa Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada petambak garam yang menjadi stakeholder dalam dunia perikanan dan kelautan.

Akan tetapi, Budi menyebut, bagi Pemerintah, langkah terbaik untuk memecahkan persoalan garam adalah dengan memilih jalan pintas untuk memberikan izin impor garam melalui penerbitan PP. Padahal, di dalam PP yang menjadi prioritas adalah 21 perusahaan yang mendapatkan kuota impor garam.

“Sementara, masyarakat petani garam yang tinggal di sepanjang pesisir pantai Indonesia diabaikan,” tegas dia.

baca : Bangkit dari Keterpurukan, Indonesia Targetkan Swasembada Garam pada 2019. Bagaimana Strateginya?

 

Hamparan lahan garam di Desa Mallasoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (24/5/2017). Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Mendesak

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kesempatan berbeda pada Minggu menjelaskan, Pemerintah memiliki pertimbangan sendiri kenapa saat ini PP diterbitkan dan memberikan kewenangan Kemenperin untuk menerbitkan rekomendasi impor garam. Menurut dia, alasan utamanya adalah karena saat ini kebutuhan garam industri sudah sangat mendesak.

“Saat ini kebutuhannya sudah sangat mendesak. Sudah tidak ditemukan jalan keluar lagi, ya itu yang dilakukan,” ujarnya.

Darmin mengatakan, sebelum diterbitkan PP oleh Presiden, kementerian melakukan koordinasi untuk memecahkan persoalan pasokan garam industri. Saat itu, KKP sebagai kementerian yang memberikan rekomendasi, tidak kunjung memberikan rekomendasi tambahan untuk impor garam. Padahal, di saat yang sama, kebutuhannya sudah sangat mendesak.

Tetapi, Darmin melanjutkan, dorongan KKP yang ingin memberdayakan industri garam rakyat yang tersebar di sejumlah daerah untuk membantu pasokan garam industri, dinilai tidak tepat. Mengingat, kualitas garam lokal hingga saat ini masih belum bisa dipakai untuk kebutuhan garam industri. Akibatnya, pasokan untuk sementara masih belum bisa dipenuhi.

“Itu sudah jelas tidak bisa. Garam lokal itu tidak bisa dipakai untuk garam industri,” ucap Darmin.

baca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

 

Farihin merebus garam terakhirnya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Farihin merupakan satu dari 5 rumah tangga pemasak garam yang tersisa di kampung tersebut. Foto Anton Muhajir

 

Adapun, Darmin menyebutkan, industri yang hingga saat ini masih memerlukan pasokan garam industri, misalnya industri kaca, dan kertas. Kedua industri tersebut, terancam tidak bisa melaksanakan produksi karena pasokan garam industri sudah tidak ada lagi.

Jika kondisi itu terjadi, Darmin menjelaskan bahwa Indonesia tidak bisa membantu industri yang sudah mendapatkan kucuran investasi dari dalam dan luar negeri. Dari perusahaan yang sedang mengalami kesulitan itu, bahkan ada yang mengancam akan merelokasi usahanya ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Kesimpulannya, Pemerintah akan segera mengeluarkan rekomendasi impor garam untuk menggenapi kebutuhan garam industri sebesar 3,7 juta ton. Adapun, izin yang sudah diterbitkan dari kebutuhan 3,7 juta ton adalah 2,37 juta ton dan diterbitkan KKP.

 

Kebutuhan Industri

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan tetap mengimpor garam untuk kebutuhan sejumlah industri dalam negeri, antara lain di industri kimia, aneka pangan dan minuman, farmasi dan kosmetika, sampai kertas.

Airlangga pun menjelaskan, kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97 persen. Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah.

“Jadi, pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan bahan baku industri-industri tersebut. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional,” jelasnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (18/3/2018).

baca : Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk menyambut baik adanya kebijakan baru yang memastikan mengenai ketersediaan pasokan bahan baku garam industri. Sedangkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman menyampaikan, seiring dengan peningkatan investasi dan ekspansi, industri makanan dan minuman membutuhkan setidaknya 550 ribu ton garam sebagai bahan baku setiap tahunnya.

Sementara itu, Direktur PT Asahimas Chemical Eddy S. menyatakan, garam industri merupakan bahan baku utama di sektor industri kimia dasar yang dibutuhkan lebih dari 400 perusahaan nasional. Diperkirakan, untuk industri-industri kimia sejenis, penggunaan garam industri impor saat ini sekitar 1,8 juta ton per tahun.

 

Exit mobile version