Mongabay.co.id

Sumber dan Dampak Pencemaran Air di Bali Belum Terpetakan. Kenapa?

Sejumlah laporan menyimpulkan indikasi adanya pencemaran air secara parsial di Bali. Namun belum terpetakan dengan baik, sumber, penyebab, dan lokasinya. Penanganan dan solusinya juga belum terkoordinir.

Hal ini terangkum dalam diskusi tentang pencemaran air yang dilaksanakan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali bersama Indonesia Water Community of Practice (Indowater COP) di Denpasar, Bali, pada Selasa (06/03/2018) lalu. Sejumlah LSM, kelompok guru peduli lingkungan, pemerintah, dan komunitas warga yang berkegiatan di sumber air dan pesisir hadir seperti Reef Check Indonesia, Yayasan Tukad Bindu, Bali Organic Ascociation, dan lainnya.

Luh Kartini, dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang dikenal dengan dosen pengampanye cacing tanah menyebut di Bali situasi pencemaran sumber air makin memburuk. Ditandai dengan turunnya kualitas air danau. “Salah satunya Danau Batur, yang mau dapat bantuan Jepang untuk olah air minum, tapi tak jadi,” katanya.

baca : Misteri Mati Massal Ikan Keramba Danau Batur Akhirnya Terpecahkan

 

Sejumlah warga memancing di aliran sungai Tukad Taman Pancing, Denpasar,Bali. Bagaimana keamanan ikan yang dikonsumsi ini? Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini belum ada solusinya, padahal jika didiamkan terus dan tiga danau tak layak jadi air minum, Bali defisit air dan mengancam kelangsungan pariwisata. “Semua tak ngeh. Di hulu ada masalah besar, salah satunya masalah penegakan hukum,” ia mengidentifikasi. Selain sedimentasi, penyebab lain adalah cemaran zat kimia pertanian melalui pestisida dan lainnya karena daerah hulu merupakan perkebunan.

Sementara di hilir, ada satu contoh upaya sebuah komunitas mengurangi cemaran sampah dengan mengelola kawasan sempadan sungai di sebagian ruas sungai Tukad Bindu, Denpasar. Salah satu pengelola Yayasan Tukad Bindu, IB Anom Parwata menyebut pihaknya ingin mengurangi limbah yang masuk sungai yang selama ini identik dengan kumuh dan sampah. Menjadikan sungai Tukad Bindu sebagai tempat publik yang nyaman mulai menampakkan hasil, sehingga kembali jadi tempat bermain dan mandi anak-anak sekitar.

Perwakilan Badan Lingkungan Hidup Pemprov Bali menyebut pemantauan kualitas air di beberapa titik, terutama hilir Kota Denpasar sudah melebihi baku mutu. Pihaknya mengaku melakukan pemantauan tiap tahun terakhir ada 79 titik pemantauan di 13 sungai yang dialokasikan dari APBD, dan 5 sungai APBN. “Titik di hulu masih bagus, kebanyakan tercemar di hilir,” klaimnya.

baca : Pantau Kualitas Sungai di Jogja, Begini Hasilnya…

 

Anak-anak bermain dengan riang gembira di Sungai Tukad Bindu, Denpasar, Bali. Foto : denpasarkota.go.id /Mongabay Indonesia

 

Riska Darmawanti dari Ecoton yang tergabung dalam IndoWater CoP memperkenalkan konsorsium ini dalam upaya memetakan pencemaran air di Indonesia. Ada enam lembaga yang terlibat yakni PPLH Bali, Ecoton, Yayasan Mitra Insani, Forkadas Citarum, KPC Bogor, dan JPIC Kalteng.

Ia mengaku masalah pencemaran air kalah dengan isu gambut atau kebakaran hukum. Sementara satu hal yang dinilai makin mengkhawatirkan adalah makin teridentifikaasinya kandungan senyawa penganggu hormon yang terkandung dalam pestisida, produk perawatan, deodorant, dan lainnya tak pernah terukur karena masuk perawatan pribadi.

Indowater melakukan riset kualitas air kerjasama Water Laboratory National di Manado yang bermitra dengan sebuah laboratorium Belanda. Salah satu hasilnya, di Kali Brantas, Surabaya ditemukan sejumlah ikan yang disebut bencong karena jantan tapi punya sel telur, dampaknya tak bisa membuahi dan tak subur. Kemudian pada 2014, seorang dokter anak di rumah sakit Darmo menyebut 70% leukemia adalah mereka yang tinggal di bantaran hilir usia anak balita sampai SMP. Riska menyebut perlu penelitian lebih lanjut apakah memang sumber air atau unsur lain seperti kualitas udara penyebabnya.

baca : Kali Brantas Tercemar, Berpotensi Sebabkan Penyakit

 

Hasil riset kualitas air oleh Ecoton memperlihatkan ikan jantan tapi memiliki sel telur ini dinilai dampak senyawa pengganggu hormon (SPH) dari bahan cemaran sumber air di Kali Brantas, Surabaya. Foto: arsip IndoWater/Mongabay Indonesia

 

Ia juga mengaku kesulitan mendapat riset-riset terkait pencemaran air di Indonesia karena kurangnya minat mahasiswa. “Penelitian mahasiswa soal pestisida sangat sedikit terkait manusia, kebanyakan di air dan tanah. Misalnya sungai yang dikelilingi sawit sangat tinggi kadar pestisidanya,” katanya.

Indikator kesehatan lingkungan seperti capung, ikan balang timah juga makin berkurang di sejumlah sumber air. “Ibu saya kanker dan senang makan sayur. Kalau musim hujan petani malah semprot 2 kali karena pestisidanya terbawa hujan,” ceritanya. Selain itu, sumber pencemaran lain adalah dioksin dari bakar sampah juga bahan-bahan pembersih. Ia menyontohkan pernah ada penelitian di sebuah sarana PDAM, limbah kadar dioksin tinggi lebih tinggi dari pabrik kertas. Klorinnya tinggi.

baca : Spesies Ikan Terus Menyusut, Penerapan Suaka Ikan di Kali Brantas Mendesak

 

Senyawa Jahat

Senyawa Pengganggu Hormon (SPH) adalah sekelompok senyawa kimia yang menyebabkan gangguan keseimbangan hormon. Sumber SPH dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu bahan kimia/hasil sampingan industri (PCB, dioksin/furan, plastik), pestisida (DDT, endosulfan, glifosat), logam (Hg, Pb, dan Cd), serta farmasi (pil KB, anti depresan).

SPH dinilai berdampak terhadap kesehatan satwa liar dan manusia. Pada satwa liar, dampak SPH mulai dari kegagalan penetasan telur hingga perubahan kelamin dan kematian. Sementara pengaruh SPH terhadap kesehatan manusia mulai penurunan IQ hingga kanker. Pencemaran SPH di Indonesia tidak hanya terdeteksi pada perairan, tetapi juga pada sedimen atau dasar perairan dan biota air.

baca : Kala Kondisi Sungai-sungai di Jambi Makin Memprihatinkan

 

Jenis satwa di sumber air yang diidentifikasi komunitas IndoWater CoP. Foto: IndoWater/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh IndoWater CoP menunjukkan bahwa mayoritas penelitian (85%) terkait SPH menitikberatkan pada logam berat di sedimen, air, dan biota air. Tidak banyak penelitian yang mengukur konsentrasi SPH pada manusia. Penelitian atau investigasi terkait dampak SPH terhadap kesehatan dicatat sebagai penyakit kronis atau tidak menular.

Beberapa kasus terkait paparan SPH yang dirangkum IndoWater di antaranya insidensi kanker yang terjadi pada petani di Daerah Otonomi Baru (DOB) Mesuji dan Tulang Bawang Barat. Dinas Kesehatan Pemprov Lampung setidaknya menemukan 10 kasus kanker ringan dan ganas di sejumlah desa di kedua DOB. Jenis kanker yang ditemui adalah kanker di sekitar telinga dan leher.

Kemudian kasus di Brebes, Jawa Tengah sebanyak 204 dari 600 petani bawang perempuan mengalami keguguran dalam kurun waktu 2008-2009. Penyebabnya adalah kurangnya informasi terkait dampak kesehatan penggunaan pestisida. Mengutip keterangan Dr. Astrid Sulistomo bahwa wanita yang terpapar pestisida selama bekerja memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi mengalami keguguran. Beberapa dari responden mengalami keguguran hingga lima kali secara berturut‐turut dengan umur kehamilan 20 minggu.

baca : Rusak Lingkungan, Hentikan Penggunaan Pestisida

 

Dita, seorang anak yang menderita lumpuh layu, diduga terdampak merkuri dari tambang emas di Bombana, akhir Agustus 2015, baru meninggal dunia. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Bali Fokus juga mencatat beragam kasus cacat lahir akibat paparan merkuri selama orangtua (terutama ayah) melakukan ekstraksi merkuri. Anak‐anak penambang emas pada tiga lokasi penelitian (Cisitu, Sekotong, dan Bombana) mengalami cacat lahir dalam berbagai tingkatan, mulai dari bibir sumbing hingga undescended testis (UDT) dan hidrocefalus, di mana seorang anak dapat mengalami 2 sampai 3 cacat fisik berbeda.

baca : Berburu Emas, Bertaruh Nyawa di Bombana

Dua tahun terakhir, IndoWater CoP menyebut mengembangkan program pemantauan dan pengendalian pencemaran senyawa pengganggu hormone (SPH).   Program ini terdiri atas penelitian, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan, laporan ilmiah (jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi) yang dikumpulkan pada berbagai universitas (IPB, UI, ITB, UGM, UB, dan UA) sedikit sekali informasi yang didapatkan terkait pencemaran SPH di Bali.

 

Exit mobile version