Mongabay.co.id

Fokus Liputan : Larangan Penangkapan Lobster, Permen Pahit bagi Nelayan Lombok (Bagian 1)

Pada 23 Desember 2016, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.56/Permen-KP/ 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Namun, permen yang bertujuan untuk melindungi keberlanjutan lobster, kepiting, dan rajungan ini justru menjadi “permen pahit” bagi puluhan ribu nelayan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Untuk mengetahui duduk perkara dan dampak pelarangan tersebut, Mongabay melakukan liputan mendalam pada 14-18 Maret lalu, terutama di kawasan selatan Pulau Lombok. Pemilihan lokasi ini karena dua kabupaten di bagian selatan Pulau Lombok yaitu Lombok Timur dan Lombok Tengah, termasuk salah satu lokasi pusat lobster terbesar Indonesia.

Hasil liputan dibuat dalam lima bagian yaitu tentang demografi nelayan, dampak larangan, maraknya penyelundupan bibit lobster, serta jalan keluar yang diharapkan para pihak termasuk nelayan, organisasi nelayan, pemerintah, dan organisasi non- pemerintah.

Tulisan berikut merupakan bagian pertama dari serial tentang polemik larangan budi daya dan penangkapan lobster di Lombok.

***

Matahari belum sepenuhnya terbit di pantai selatan Pulau Lombok pada Jumat, 16 Maret 2018 pekan lalu. Namun, Jamil sudah berada di atas keramba berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai berpasir putih itu. Pagi itu pemuda berusia 24 tahun warga Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah tersebut mengangkat satu per satu empat rangkaian pocong yang dia pasang sejak sekitar 12 jam sebelumnya.

Pocong merupakan sebutan nelayan setempat terhadap alat tangkap untuk bibit lobster. Alat ini terbuat dari sak semen bekas yang digunting menjadi lingkaran lalu dilipat mirip kipas. Lebar satu pocong kira-kira sama dengan telapak tangan orang dewasa. Pocong-pocong dirangkai dalam sebuah tali berisi antara 20-30 pocong dalam satu rangkaian.

baca : Petugas Gagalkan Penyelundupan, Puluhan Ribu Bayi Lobster Sitaan Itu Lepas Liar

 

Pocong terbuat dari sak semen yang biasa dipakai nelayan di Pulau Lombok, NTB untuk menangkap bibit benih lobster. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Seperti nelayan penangkap bibit lobster lain di kawasan Kuta, Jamil memasang rangkaian pocong itu di keramba. Tiap keramba, terbuat dari rangkaian bambu berukuran 3×3 meter mengapung dengan bantuan tong atau gabus styrofoam, berisi 4-6 rangkaian pocong. Jamil memasang empat rangkaian pocong, ditenggelamkan di bawah kerambanya dengan kedalaman 10-20 meter. Dia juga memasang lampu untuk memancing kedatangan ikan.

Setelah terpasang selama semalam, lipatan-lipatan pocong akan menjadi rumah tempat tidur bagi bibit lobster, udang, ataupun ikan-ikan kecil lain. Pada pagi hari, nelayan akan mengangkat pocong-pocong itu. Mereka menggoyang-goyangkan pocong agar bibit-bibit benih jatuh di atas keramba.

Pagi itu, Jamil hanya mendapatkan dua bibit lobster pasir (Panulirus homarus) berusia kurang dari 1 minggu. Ukurannya tak lebih besar dari sapu lidi. Warnanya bening dengan sedikit titik-titik hitam. Dia memasukkannya ke bekas tempat susu serupa kaleng tetapi terbuat dari plastik.

“Yang ini (harganya) murah. Paling hanya Rp15 ribu (per ekor),” katanya sembari sibuk mengangkat pocong.

Berdasarkan kajian Pusat Pengembangan Perikanan Laut dan Budi Daya Perikanan di Mataram, terdapat empat jenis lobster di kawasan Lombok Timur yaitu lobster pasir, lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster bambu (Panulirus versicolor) dan lobster bambu (Panulirus longipes). Dua jenis pertama, lobster pasir dan mutiara, jumlahnya lebih banyak sedangkan jenis bambu dan batik lebih sedikit.

baca : Upaya Penyelundupan Benih Lobster Masih Terjadi, Kok Bisa?

 

Bibit lobster jenis pasir yang ditangkap nelayan di Pulau Lombok, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi harga, lobster mutiara paling mahal. Harga bibitnya berkisar antara Rp25.000 – Rp30.000 per ekor. Karena itu, bagi nelayan di Kuta, mendapatkan bibit lobster mutiara adalah berkah. Herdian Efendi, nelayan lain, pernah mendapatkan uang sampai Rp4 juta dalam satu malam dari menangkap benih lobster.

“Panen besar cuma dalam satu malam,” ujarnya dengan mata berbinar.

Jamil dan Herdian hanya dua di antara puluhan ribu nelayan di Pulau Lombok bagian selatan yang sempat mendapatkan berkah dari penangkapan bibit lobster. Di lokasi yang sama, berjarak sekitar 300 meter dari kawasan pusat pariwisata baru Mandalika, terdapat sekitar 30 keramba. Seperti Jamil dan Herdian, mereka berharap berkah dari menangkap benih lobster, kegiatan yang sebenarnya saat ini terlarang.

baca : Kenapa Penyelundupan Benih Lobster Terus Meningkat?

 

Pusat Pemijahan

Berada di sisi selatan Pulau Lombok, kawasan Kuta memang termasuk salah satu pusat bibit lobster. Begitu pula dengan pantai-pantai lain di kawasan serupa. Kondisi pesisir dengan banyak teluk dan karang menjadi surga bagi kawasan Lombok bagian selatan untuk tempat lobster memijah, seperti Teluk Ekas, Teluk Awang, Pantai Sepi, dan Pantai Selong Belanak.

“Pesisir NTB bagian selatan adalah spawning ground (tempat memijah) lobster,” kata Sabaryono, Kepala Seksi Ikan dan Alat Penangkapan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB.

 

Penangkapan benih lobster di Pulau Lombok, NTB, masih berlangsung meskipun sudah ada larangan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Secara geografis, menurut Sabaryono, Pulau Lombok juga tempat terjadinya upwelling, pergerakan arus laut dari dingin ke hangat sehingga lobster senang tinggal di daerah ini. Apalagi, kondisi pantainya cenderung berkarang sehingga menjadi tempat cocok bagi benih lobster. Begitu pula dengan pulau lain di NTB, seperti Sumbawa, meskipun tak sebanyak di Lombok bagian selatan.

Karena berkah posisi dan kondisi geografis itu, banyak nelayan di pesisir selatan Lombok beralih ke penangkapan dan budi daya lobster dari sebelumnya menangkap ikan di lautan lepas. Menurut Sabaryono, jumlah nelayan penangkap bibit lobster di Lombok mencapai kira-kira 10 ribu dari sekitar 62 ribu jumlah nelayan di NTB.

Kegiatan ini baru mereka lakukan sejak sekitar 2010. Sebelum itu, nelayan di kawasan ini lebih banyak menangkap ikan di lautan terbuka. Jenis ikan tangkapan mereka beragam, termasuk tongkol dan tuna. Dengan perahu ketinting 6,5 GT bermesin tempel 15 PK, mereka akan mengarungi lautan selama sekitar 10 jam. Hasilnya mereka jual langsung ke pasar atau pengepul.

Harganya sebenarnya termasuk bagus. Tuna, misalnya, bisa sampai Rp25 ribu – Rp35 ribu per kg. Dalam sekali mancing mereka bisa mendapatkan satu atau dua ekor tuna dengan berat 80 kg. “Kalau dapat dua ekor bisa sampai lima jutaan,” kata Hamdun Ali, nelayan lain.

baca : Demi Kelestarian Laut, Nelayan NTB Janji Tidak Lagi Menangkap Benih Lobster

 

Salah seorang nelayan Pulau Lombok, NTB, memperlihatkan bibit lobster tangkapannya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Godaan Lobster

Namun, kemudian datang godaan dari bibit lobster sejak 2010. Nelayan tidak lagi perlu melaut sampai 10 jam untuk mendapatkan hasil. Mereka cukup memasang pocong di keramba, kembali istirahat di rumah, lalu sesekali mengecek pada malam hari. Lokasi keramba juga dekat, hanya 100-300 meter dari rumah.

“Wajar kalau nelayan lebih tergiur pada cara tangkap yang lebih mudah dengan hasil lebih tinggi,” kata Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), yang mendampingi nelayan di Lombok.

Perubahan cara tangkap itu berdampak pula pada pendapatan. Harga lobster melejit tinggi seiring banyaknya permintaan, terutama ekspor ke Vietnam dan Singapura. Anak-anak sekolah bisa mendapatkan uang jajan Rp100 ribu tiap pagi hasil membantu menangkap bibit sebelum ke sekolah sementara orangtua mereka membeli sepeda motor, mobil atau bahkan naik haji.

baca : Saat Pocongan Lobster Dimusnahkan, Maka Langkah Baru Dijejak

 

Pantai selatan Pulau Lombok, NTB, merupakan pusat bibit lobster karena kondisi geografisnya yang berkarang Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Hingga kemudian terbit Permen KP No.1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Pasal 2 Permen ini menyatakan setiap orang dilarang melakukan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur. Penangkapan lobster dapat dilakukan jika ukuran karapas lobster sudah di atas 8 cm.

Setahun kemudian, muncul Permen No.56/2016 yang melarang penangkapan dan pengeluaran lobster, kepiting, dan rajungan. Pasal 2 menyatakan bahwa penangkapan dan atau pengeluaran lobster ke luar negeri hanya bisa dilakukan jika lobster tidak sedang bertelur dan beratnya di atas 200 gram.

“Bagi nelayan di Lombok, inilah permen pahit yang mereka terima,” ujar Amin.

 

Exit mobile version