Mongabay.co.id

Masyarakat Pesisir Sulsel Makin Sulit Air. Kenapa?

Meski berada di pinggir pantai, akses masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap air bersih ternyata sangat buruk. Ditambah lagi ancaman keberadaan kawasan industri.

“Kita mendapati fakta bahwa sebagian besar wilayah pesisir terutama pulau kecil sangat sulit mendapatkan air bersih dan terus bertambah sulit dari waktu ke waktu. Jika pun ada mereka perlu mengeluarkan biaya yang lumayan untuk menikmati air,” kata Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/3/2018).

Kawasan pesisir memang memiliki sumber daya air terbatas, ditambah privatisasi dan penggunaan air skala besar justru dilakukan oleh industri, baik itu pabrik ataupun perhotelan, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir. Belum lagi ancaman intrusi air laut dan terganggunya kualitas air tanah akibat sanitasi lingkungan yang buruk maupun pencemaran.

baca : Krisis Air Bersih Makassar, Perempuan Pesisir Paling Terkena Dampak

 

Seorang perempuan mendorong gerobak berisi air bersih di Makassar, Sulawesi Selatan. Perempuan di kota dan pesisir memiliki kerentanan terkena dampak perubahan iklim, termasuk soal keterbatasan air bersih. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dicontohkan, di beberapa desa di Kepulauan Tanakeke harus menyisihkan pendapatan harian warga setidaknya Rp.10.000,- untuk membeli 2 jeriken 20 liter air bersih di Kota Takalar untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum. Kebutuhan lainnya seperti mencuci dan mandi menggunakan air dengan kualitas lebih rendah.

“Mereka mengandalkan air hujan kala musim hujan. Sama halnya yang dirasakan masyarakat di Asmat,” ungkap Yusran.

Padahal aksesibilitas masyarakat dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat 2, di mana dikatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyediakan akses air minum bagi masyarakat.

Temuan di lapangan di sejumlah desa-desa pesisir di Sulsel menunjukkan ketersediaan air tanah secara kuantitas dan kualitas yang semakin menipis dari tahun ke tahun.

“Intrusi air laut semakin banyak mengganggu kualitas air tanah di pesisir. Air semakin asin. Beberapa hal menyebabkan hal ini, seperti pengambilan air tanah yang besar dan tidak adanya filter alamiah yaitu mangrove di green belt.

Juga masalah pencemaran, dimana wilayah pesisir terutama perkotaan adalah outlet semua limbah. Sering kali terakumulasi di wilayah pesisir, yang sangat mempengaruhi kualitas air.

baca : Suram, Potret Lingkungan Hidup 2017 di Sulsel

 

Dua perempuan berjalan pulang setelah mencuci dan mengambil air bersih di di Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. . Perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim karena aksesibilitas dan ketergantungan terhadap alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sumber Air

Banyak sumber air yang belum optimal dikelola untuk kebutuhan masyarakat pesisir dan pulau. Misalnya, teknologi desalinasi air laut, yang bisa menjadi salah satu sumber potensial.

“Hanya saja memang biayanya lumayan mahal dan butuh perawatan yang memadai.”

Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, menyatakan hal senada. Akses air bersih di Kota Makassar, terkhusus di wilayah pesisir seperti Kelurahan Buloa, Tallo dan Cambaya masih sangat sulit, karena monopoli air oleh industri.

“Dari hasil pemantauan hak atas air yang pernah kami lakukan menemukan bahwa pelayanan atas hak air bersih di Kota Makassar belum adil dan merata, di mana masyarakat miskin khususnya perempuan mengalami situasi ketidakadilan dalam mengakses air bersih.”

Untuk mendapatkan air, perempuan harus mengantre di depan Masjid, mulai pukul 19.00-03.00, atau membeli di agen air.

Hal itu memberatkan perempuan karena kebutuhan air untuk kesehatan reproduksi dan kegiatan keseharian seperti mencuci, memasak dan lainnya. Apalagi konstruksi sosial menempatkan posisi perempuan pada ranah domestik.

“Jadi ketika krisis air terjadi maka perempuan akan merasakan dampak yang berlapis. Padahal air adalah hak asasi manusia yang merupakan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air bagi warga negaranya,” katanya.

baca : Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Perempuan dinilai sebagaim pihak yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lainnya. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Asmar Exwar, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, saat ini ancaman terhadap krisis air lebih banyak pada wilayah kabupaten yang memiliki banyak konsesi IUP dan kawasan perkotaan.

Kota Makassar misalnya, suplai airnya dapat dilihat dari kondisi yang mempengaruhi, seperti kelestarian kawasan pada daerah aliran sungai Lekopacing di Kabupaten Maros dan sungai Moncongloe dan Jeneberang di Kabupaten Gowa.

“Perubahan fungsi lahan di kawasan ini dapat mempengaruhi secara langsung suplai air ke Kota Makassar,” katanya.

Di sisi lain, kondisi kota Makassar juga sudah sangat rapuh mempertahankan ketersediaan air tanah untuk konsumsi. Lahan kota berubah menjadi kawasan pemukiman dan bisnis. Ruang hijau dan wilayah resapan sangat minim, kurang dari 10% dari luas kota.

Penggunaan air tanah yang masif oleh sektor industri dan perhotelan berdampak negatif bagi lingkungan dan memicu penurunan muka tanah.

Wilayah seperti Biringkanayya, Daya atau kawasan industri telah mengalami intrusi air laut sehingga air tanah menjadi asin sehingga tidak dapat dikonsumsi.

“Penurunan permukaan tanah jika dibiarkan maka akan mudah terpapar banjir genangan atau rob karena pengaruh pasang air laut ditambah kerentanan akibat penimbunan laut yang sementara berjalan. Rencana besar proyek reklamasi seluas 4.000 ha akan memberikan pengaruh negatif pada lingkungan khususnya pada wilayah pesisir Kota Makassar dan sekitarnya,” jelasnya.

 

Proses reklamasi Pantai Makassar untuk area Centerpoint of Indonesia (CPI) atau COI masih terus berlangsung, meski belum mendapat izin dari KKP. Pemprov Sulsel menggandeng PT Ciputra Group bekerjasama dengan PT Yasmin. Dari 157 hektar pantai yang ditimbun, hanya 50 hektar yang akan dikelola oleh Pemprov Sulsel, selebihnya akan dikelola oleh swasta dengan mekanisme HGU. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Asmar juga menyoroti ketersediaan air terkait kondisi ekosistem karst di Kabupaten Maros dan Pangkep. Kawasan karst dengan sistem hidrologinya sebagai cadangan air alami, juga tereksploitasi pertambangan semen dan marmer.

“Kerusakan karst akan meningkatkan risiko lingkungan berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber air. Beberapa desa di sekitar wilayah karst juga mengalami krisis air setiap musim kemarau, seperti Desa Salenrang dan sekitarnya. Ini dampak intrusi air laut sehingga air tanah tidak dapat dikonsumsi, kecuali air yang berasal dari mata air pada kawasan karst.”

Terkait hal ini, Asmar berharap pemerintah melakukan moratorium izin baru pertambangan dan secara bertahap melakukan pengurangan IUP.

“Perbaikan dan pemulihan lingkungan harus masuk menjadi prioritas rencana program daerah. Pengaturan penggunaan air tanah khususnya pada sektor bisnis harus semakin diperketat. Dan mempertahankan daerah resapan serta penambahan alokasi ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan.”

 

Seruan Hari Air 2018

Secara nasional, terkait peringatan Hari Air 2018 22 Maret, sejumlah NGO yang terdiri dari WALHI, Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat Hak Atas Air, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang, Debt Watch dan Konsorsium Pembaruan Agraria menyerukan dua hal.

Pertama, kembalikan hak rakyat atas air, karena sejatinya air merupakan hak yang harusnya dikembalikan pengelolaannya pada komunitas, masyarakat adat, komunitas perempuan, dan lain-lain.

Kedua, penegakan hukum bagi korporasi perusak lingkungan ekosistem air. Selama ini, air oleh pengambil kebijakan masih dilihat secara parsial, bukan sebagai ekosistem yang menyeluruh. Akibatnya kasus-kasus kejahatan korporasi yang menyebabkan kerusakan ekosistem karst, ekosistem gambut, maupun pencemaran limbah industri jarang dikaitkan sebagai tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup, secara khusus pada ekosistem air.

“Padahal pertanggungjawaban mutlak korporasi telah ada dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

 

Exit mobile version