,

Krisis Air Bersih Makassar, Perempuan Pesisir Paling Terkena Dampak

Sudah seminggu terakhir ini Asmawati (40) kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan rumah tangganya. Air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tak pernah mengalir normal.

“Kalau butuh air biasanya ambil di rumah keluarga di bagian atas, yang aliran airnya masih lancar. Atau beli dari warga lain yang aliran PDAM nya bagus,” ungkap ibu dari tiga orang anak ini.

Hal yang sama dialami oleh Hayati (45). Tiap bulan harus membayar biaya beban PDAM sebesar Rp 120 ribu tidak menjamin adanya akses air yang lancar bagi mereka.

“Dalam sebulan jarang sekali mengalir air. Kalau pun mengalir hanya bisa dapat beberapa ember sehari. Airnya menetes-menetes di penampungan air,” jelasnya.

Asmawati dan Hayati adalah warga Kelurahan Cambaya, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang sehari-hari merupakan ibu rumah tangga. Suami mereka adalah nelayan tangkap sekitar pesisir Makassar. Hidup di wilayah pesisir Makassar ternyata memberikan beban tersendiri bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, khususnya air bersih.

Dalam acara Launching Hasil Pemantauan Perempuan terkait Hak Atas Air yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, di Hotel Jolin, Makassar, Jumat (27/5/2016), sejumlah perempuan yang hidup di pesisir Makassar menyatakan masalah dan kerisauanya terhadap akses air yang terbatas, dari segi ketersediaan ataupun kualitas air.

“Kalau bisa memilih saya lebih memilih memberi tamu saya makanan atau beras dibanding air. Kita harus pelan-pelan pakai air. Anak-anak saya juga selalu ingatkan kalau pakai air karena susah diperoleh,” ungkap Asmawati.

Menurut Nur Asiah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, apa yang dialami Asmawati, Hayati dan perempuan pesisir Makassar lainnya menunjukkan kondisi krisis air yang terjadi di Makassar saat ini dan perempuanlah yang paling pertama mendapatkan dampaknya.

“Perempuan lah yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lainnya,” jelas Nur Asiah.

Berdasarkan pemantauan hak atas air di kota Makassar, yang dilakukan SP Anging Mammiri dengan melibatkan 870 perempuan di lima kelurahan di Makassar, yakni Kelurahan Cambaya, Camba Berua, Tallo, Buloa dan Bangkala, pada November 2015 – Januari 2016 lalu, ditemukan beberapa permasalahan terkait hak atas air. Mulai dari ketersediaan air, kualitas air, biaya yang dikeluarkan, serta pelayanan perusahaan air dalam pemenuhan hak atas air masyarakat.

Menurut Nur Asiah, dari 870 responden yang diwawancarai, sumber utama air mereka umumnya berasal dari PDAM, yaitu sebanyak 51,47 persen, menyusul sumur pribadi atau sumur bor (24,12%), agen atau pedagang air (23,98%) dan perusahaan swasta atau air kemasan (0,42%).

Terkait ketersediaan air, sebanyak 52,88 persen warga menilai ketersediaan air yang mereka dapatkan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil lain, sebanyak 81% warga menyatakan biaya yang mereka keluarkan setiap bulan untuk mendapatkan air terlalu mahal, antara  Rp300 ribu – Rp600 ribu perbulan.

“Ini menjadi beban tambahan bagi keluarga dengan kondisi ekonomi yang juga pas-pasan, padahal kebutuhan dasar ini seharusnya bisa disediakan oleh pemerintah.”

Nur Asia selanjutnya mengutip beberapa hasil wawancara dengan warga terkait penelitian ini.

“Ada keluhan dari seorang ibu di Kelurahan Tallo misalnya, bahwa selama empat bulan ini air tidak mengalir sehingga mereka harus membeli air di pedagang air dengan harga Rp5.000 per gerobak dengan isi 12 Jergen per gerobak, sementara kebutuhan air mereka setiap harinya mencapai 3 – 5 gerobak.”

Perempuan dinilai sebagaim pihak yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lainnya. Foto : Wahyu Chandra
Perempuan dinilai sebagaim pihak yang paling merasakan dampak dari krisis air yang terjadi karena peran produksi dan reproduksi mereka dalam keluarga. Mereka yang sangat dekat air untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lainnya. Foto : Wahyu Chandra

Hal yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini bahwa sebanyak 50,91 persen warga menilai kualitas air yang mereka dapatkan dari PDAM masih jauh dari standar yang layak.

Sejumlah warga yang terlibat dalam proses pemantauan ini, menurut Nur Asiah, menyatakan sudah menyampaikan pengaduan ke PDAM Makassar namun tidak mendapatkan tanggapan yang jelas.

“Perempuan menjadi rentan mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena harus mendorong gerobak air, mengangkat air dari gerobak. Ada yang mengeluh rahimnya menjadi sakit karena sering mengangkut air.”

Meski menghadapi krisis air di wilayah pesisir, dalam RPJMD Kota Makassar tahun 2014 – 2019 ternyata tidak memproritaskan sarana atau fasilitas air bersih di tiga kecamatan pesisir Makassar tersebut, yaitu Kecamatan Tallo, Ujung Tanah dan Kecamatan Manggala, serta tidak adanya kebijakan terkait pengelolaan sumber daya air.

“Ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Makassar belum memprioritaskan pemenuhan hak masyarakatnya khususnya perempuan dalam menjamin pemenuhan hak atas air. Pemerintah kota juga mengabaikan UUD 1945 pasal 33 dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tambah Nur Asiah.

Dari hasil penelitian ini, SP Anging Mammiri merekomendsijan dua hal ke Pemkot Makassar, antara lain mengeluarkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di kota Makassar yang partisipatif, serta memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perempuan atas Air, dengan memastikan kualitas, kuantitas air serta memastikan ketersediaan air setiap saat dengan jumlah yang memadai.

“Termasuk peningkatan pelayanan bagi perusahaan yang mengelola air minum (PDAM) bagi warga kota Makassar.”

Menanggapi hasil penelitian ini, Muhammad Al Amin, Kepala Biro Advokasi dan Kampanye WALHI Sulsel, menyatakan krisis air di Makassar saat ini tak terlepas dari proses dan dinamika perkotaan yang terjadi. Proses industrialisasi yang meningkat serta pembangunan infratruktur perhotelan yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas lingkungan.

“Karst di Maros sebagai salah satu sumber air bagi Makassar kini juga mengalami tekanan-tekanan yang besar. Belum lagi kondisi di hulu Gunung Bawakaraeng sekitarnya mengalami degradasi yang cukup besar. Sungai Jeneberang juga mengalami sedimentasi yang parah. Ini yang harus diperhatikan agar ketersediaan air bisa terus dijaga,” katanya.

Menurut Amien, pengalaman di berbagai daerah, selain sebagai pihak yang paling terkena dampak krisis air, perempuan sebaliknya justru menjadi pihak yang paling berperan dalam menjaga ketersediaan dan kualitas air itu sendiri.

“Contohnya di Salenrang, Maros, sekitar kawasan karst. Meski kaya air tapi sumber air bersih juga terbatas. Akhirnya para ibu-ibu di sana membuat mekanisme tersendiri dalam memperoleh air bersih dengan teknologi sederhana yang berbasiskan kearifan lokal setempat.”

Andi Tenri A Palallo, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar, menilai hasil penelitian ini sangat berguna bagi pemerintah Kota Makassar dalam membuat kebijakan yang lebih ramah pada perempuan, khususnya dalam hal pemenuhan air bersih.

“Saya akan minta hasil pemantauannya untuk disampaikan ke Walikota langsung agar bisa direspon dengan kebijakan yang sesuai. Kita bisa bersama-sama menjadikan Kota Makassar bisa jadi lebih baik,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,