Mongabay.co.id

Babak Baru Pengelolaan Air Bersih Jakarta: Swasta atau Pemerintah?

Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

Tahun lalu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga dan memutuskan pemerintah Jakarta lalai dalam sediakan air bersih lewat perusahaan swasta. Dengan begitu pelayanan air harus kembali ke Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Usaha menjalankan keputusan ini kemungkinan tak mudah kala masih ada pihak-pihak yang berusaha memperpanjang kontrak air selama 25 tahun.

Baca juga: Privatisasi Air Jakarta, Swasta Untung , Warga Ketiban Pulung

 Awalnya, Rabu  pagi (21/3/18), beredar undangan buat wartawan, lewat aplikasi Whatsapp, soal acara penandatanganan “Perjanjian Restrukturisasi antara PAM Jaya, Palyja dan Aetra.” Agenda ini datang dari hubungan masyarakat PAM Jaya. Rencananya, dilakukan Rabu pukul 13.30 di Ruang Balairung, Balaikota Jakarta.

Aetra adalah PT Aetra Air Jakarta, yang selama 10 tahun (2007-2017) dikuasai perusahaan Acuatico milik Sandiaga Uno, kini dikuasai Moya Indonesia, anak perusahaan Salim Group, konglomerat yang menguasai Indofood, Indomobil dan Bogasari.

Baca juga: Ketika Mahkamah Agung Batalkan Privatisasi Air di Jakarta

Palyja adalah PT PAM Lyonnaise Jaya, yang selama 20 tahun (1997-2017) dikuasai Lyonnaise des Eaux, anak perusahaan Suez, konglomerat Perancis, namun tahun lalu dijual kepada Future Water (Singapura).

Rabu pagi, beberapa jam sebelum penandatanganan, ada pemberitahuan bahwa acara batal. Sorenya, Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan pada wartawan bahwa dia baru menerima draf perjanjian itu.

“Kalau putusan MA (Mahkamah Agung-red) itu harus kita laksanakan. Nggak mungkin Pemprov tidak melaksanakan putusan MA. Saya tidak ingin Balai Kota jadi tempat tanda tangan tapi kita tidak tahu isi tanda tangannya.”

Lantas, apa isi draf perjanjian restrukturisasi itu?

Dalam draf yang diperoleh Mongabay dari Balai Kota, perjanjian ini akan diteken PAM Jaya (diwakili Direktur Utama Erlan Hidayat) dan Aetra (Presiden Direktur Mohammad Selim) serta Palyja (Presiden Direktur Robert R. Rerimasie). Masing-masing terdiri dari 16 halaman dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Ia dimulai dengan dasar hukum termasuk perjanjian awal (master agreement) Juni 1997 ketika PAM Jaya diswastakan atas perintah Presiden Soeharto dengan kontrak 25 tahun. Pembatasnya Sungai Ciliwung: sebelah timur buat Aetra, sebelah barat buat Palyja.  Lalu diikuti berbagai perjanjian tambahan Juni 2012.

Draf perjanjian 2018,  isinya tetap kembar alias mirip.  Artinya, pasal-pasal buat Aetra dan Palyja, praktis sama, kembaran dengan perjanjian 1997.

 

 

Pasal 2 mengenai ruang lingkup perjanjian pokok dinyatakan akan ada “Perjanjian Pernyataan Kembali,” dimana Aetra dan Palyja akan mengembalikan proses pembelian air baku dan proses pelayanan pelanggan kepada PAM Jaya. Ia juga termasuk pengelolaan instalasi pembersihan air Buaran 1, Buaran 2 dan Pulogadung (buat Aetra) serta Pejompongan 1, Pejompongan 2, Cilandak, dan Taman Kota (buat Palyja). Ia juga menyatakan distribusi air sampai sebelum meter pelanggan, diserahkan kepada PAM Jaya. Lama kontrak selama 25 tahun –sama dengan kontrak 1997.

Pasal ini agak berbeda dengan perjanjian 1997. Perjanjian lama, pengelolaan semua instalasi air diserahkan kepada swasta. Kali ini, instalasi air diserahkan kepada PAM Jaya.

Baca juga: Ajak Berjuang Bersama Warga, Presiden Diminta Tak Banding Putusan Privatisasi Air Jakarta

Zainal Abidin dari Serikat Pekerja PAM Jaya menanggapi, “Sebagai aktivis 1998 saya merasa dicurangi.”

Menurut Zainal, pada perjanjian 1998, disepakati bahwa privatisasi ini berakhir pada Februari 2022. Kini,  empat tahun sebelum kontrak selesai –bahkan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menekankan bahwa kontrak itu melalaikan hak warga Jakarta—manajemen PAM Jaya hendak memperpanjang kontrak 25 tahun.

Keputusan Mahkamah Agung bermula pada 12 November 2012, ketika 12 warga Jakarta dan organisasi masyarakat sipil –Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium dan Walhi Jakarta– menggugat pemerintah dan kedua perusahaan. Mereka diwakili Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sebagai kuasa hukum.

Baca juga: Menakar Kebijakan Jokowi Soal Air Bersih Jakarta

Para tergugat termasuk tujuh pejabat negara: Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur Jakarta, Ketua DPRD Jakarta, Direktur Umum PAM Jaya. Penggugat menuduh semua pejabat itu melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada swasta.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan mereka pada 24 Maret 2015. Para tergugat –kecuali Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Purnama— banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Ahok mengatakan, dia “bersyukur para penggugat menang. Dia berjanji mengambil alih perusahaan swasta. Namun, pada 12 Januari 2016, pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri.

Penggugat banding ke Mahkamah Agung. Hasilnya, pada 10 Oktober 2017, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi. Kontrak air bersih pada 1997 dinyatakan dengan tekanan Presiden Soeharto, dilakukan penunjukan tanpa tender, dan hak warga Jakarta atas air bersih dilalaikan.

Menurut Human Rights Watch, putusan pengadilan ini merupakan  keputusan penting atas hak air. Pemerintah Indonesia,  seyogyanya menjalankan keputusan guna “… memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tidak lagi kehilangan hak atas air dan sanitasi.

Zainal Abidin mengingatkan, pada Februari 1998, ketika perjanjian mulai berjalan, pihak swasta mendapatkan semua instalasi air –dari Buaran sampai Pejompongan— sampai data setiap konsumen. Semua akan dikembalikan ke PAM Jaya pada Februari 2022.

Dia berpendapat draf “restrukturisasi” ini hanya menyerahkan segelintir dari yang sudah diserahkan PAM Jaya kepada swasta pada 1998. “Restrukturisasi” ini adalah upaya menjual kekayaan negara untuk kepentingan sekelompok orang.

Pasal 7 menyatakan, saham Aetra atau Palyja sebesar 10-15% kelak dibeli dan “dibayar penuh” oleh PAM Jaya. PAM Jaya juga berhak mendudukkan seorang direktur dalam manajemen perusahaan swasta.

Pasal 8 menyebut, perusahaan swasta akan menurunkan non revenue water (NRW) atau air yang tak tertagih sampai 20% dari sekitar 40%, menurut data PAM Jaya.

NRW adalah persoalan lama dalam bisnis air Jakarta. Ia disebabkan kebocoran pipa tua dan pencurian air.

“Ambil contoh mereka produksi 1.000 meter kubik. Berarti PAM Jaya harus bayar donk senilai itu. Mari kita hitung tingkat NRW sekarang, anggap 40% dikurangi dari 1.000 meter kubik, waduh, enak sekali tinggal ngalir uang itu ke rekening swasta? Yang bangun instalasi produksi dari uang pajak rakyat, yang dapat untung mereka?” tanya Zainal.

 

Sungai Ciliwung di sekitar Menteng, Jakarta. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Makin banyak air PAM Jaya dipakai, makin kecil pemakaian air tanah. ©Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

Menurut analisis Amrta Institute, organisasi soal air, warga Jakarta harus membayar rata-rata Rp7.800 per meter kubik. Struktur harga dibagi dalam tujuh kategori dari rumah ibadah (paling murah) sampai hotel bintang lima (paling mahal).

Ironisnya, harga rata-rata ini lebih mahal tiga kali lipat dibanding harga air bersih di Surabaya, kota besar kedua di Indonesia. Harga air di Jakarta bahkan paling tinggi di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, Singapura hanya Rp3.500 per meter kubik.

Cakupan kerja kedua perusahaan swasta, naik dari 43% pada 1997 ke 62.64% pada 2016 dari seluruh warga Jakarta yang harus dilayani. Artinya, dalam 20 tahun kerja, Aetra dan Palyja, belum bisa melayani seluruh warga Jakarta. Mereka selalu tak berhasil memenuhi target cakupan kerja dari kontrak 1997.

Dampaknya, ratusan ribu warga Jakarta harus mengambil air tanah lewat sumur bor –bikin permukaan tanah makin ambles—atau membeli air bersih dari tukang air.

Harian New York Times melaporkan, pada Desember 2017, Jakarta adalah kota paling cepat ambles di seluruh dunia. Laporan ini diberi judul, “Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater.” Ia terjadi karena tanah Jakarta, bukan saja dibebani dengan ribuan gedung bertingkat, juga berbagai industri dan bangunan menyedot air tanah.

Jakarta Utara adalah wilayah dengan paling banyak warga harus beli air dari tukang air atau truk air berhubung tanah sudah dimasuki air laut. Satu gerobak air bersih di Muara Angke, Jakarta Utara, berisi 10 jerigen Rp50.000 atau Rp200 per liter. Bandingkan dengan harga rata-rata air bersih dari PAM Jaya Rp7.800 per kubik atau Rp7.8 per liter. Orang miskin harus bayar air 25 kali lebih mahal dari kelas menengah!

Wakil Gubernur Sandiaga Uno mengakui ketimpangan ini dalam pertemuan dengan mantan Walikota Paris Anne Le Strat, yang melakukan “remunisipalisasi” (pengambilan perusahaan swasta) usaha air bersih di Paris pada 2009. Uno mengatakan, takkan membiarkan harga air bersih lebih mahal untuk orang kurang mampu di Jakarta.

Apa yang dilakukan Uno buat menyamakan ucapan dan tindakannya?

 

Enam bulan

Draf yang belum diteken minggu lalu menyebut banyak sekali dasar hukum buat perjanjian bisnis air bersih itu. Menariknya, draf tak menyebut keputusan Mahkamah Agung tahun lalu.

Tak kalah menarik. Keputusan Mahkamah Agung diteken April 2017 dan diumumkan pada Oktober 2017. Ada jangka waktu enam bulan keputusan dibuat dan diumumkan.

Ini masa enam bulan yang menarik. Pada Agustus 2017, PT. Recapital Advisors milik Roesan Reoslani dan Sandiaga Uno menjual saham mayoritas Aetra kepada Moya Indonesia lewat bursa saham Singapura seharga US$92,87 juta (sekitar Rp1.24 triliun). Moya Indonesia sendiri dibeli Salim Group pada Juni 2017.

Sandiaga Uno mengatakan, dia menjual saham kepada Moya bukan karena ada kasasi di Mahkamah Agung namun ingin terlepas dari conflict of interest saat menjabat jadi Wakil Gubernur Jakarta.

Uno dan Anies Baswedan, menang pemilihan daerah Jakarta, pada April 2017. Mereka mengalahkan pasangan Ahok dan Djarot Hidayat, dalam pemilihan kepala daerah, dimana berbagai organisasi pendukung Baswedan-Uno memakai isu agama buat menekan Ahok.

Mereka menuduh Ahok menistakan agama Islam dan minta diadili. Mereka juga mengatakan “umat Islam tidak menjadikan kaum kafir atau Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.” Ahok, seorang Nasrani. Dia kampanye sambil bolak-balik ke pengadilan. Pada 9 Mei 2017, Pengadilan Jakarta Selatan menghukum Ahok bersalah dengan dua tahun penjara.

Salim Group membeli Moya Indonesia sekitar dua bulan sesudah Uno menang pemilihan. Moya membeli Aetra sekitar empat bulan sesudah Uno menang pemilihan.

Apakah Anthony Salim, orang nomor satu Salim Group, tak tahu bahwa lima tahun sesudah penjualan itu, kontrak Aetra akan berakhir?

Apakah Irwan Atmadja Dinata, Direktur Eksekutif Moya, tak tahu akan gugatan masyarakat sipil terhadap privatisasi air bersih?  Apakah Sandiaga Uno tak tahu keputusan Mahkamah Agung?

Rasanya, hampir mustahil ketiga orang ini tak tahu soal gugatan air bersih ini. Pertanyaannya, apa yang dijaminkan Sandiaga Uno kepada Moya Indonesia saat melakukan transaksi Aetra?

Menarik lagi, pada September 2017, Suez Environment menjual 51% saham Palyja kepada Future Water (Singapura). Penjualan ini dilakukan sebulan sesudah penjualan Aetra. Sekali lagi, apakah Future Water,  tak tahu akan gugatan masyarakat sipil terhadap privatisasi air bersih? Apakah Future Water tak tahu keputusan Mahkamah Agung?

 

 

Pertemuan apa di rumah Sandiaga?

Sandiaga Uno—yang dalam pembagian kerja dengan gubernur menangani soal infrastrukturtak terdengar ada menyatakan keberatan terhadap draf itu.

Bahkan, Zainal Abidin merujuk pada pertemuan “morning coffee” di rumah Sandiaga Uno, Jalan Pulo Bangkeng, daerah Senopati, pagi hari sebelum jadwal penandatanganan kontrak air. Pertemuan itu dihadiri Sandiaga Uno plus Aetra, Erlan Hidayat dari PAM Jaya serta Subekti dari PD Perusahaan Air Limbah Jakarta Raya.

Zainal menduga pertemuan di rumah Sandiaga Uno ini buat mempersiapkan acara penandatanganan kontrak baru 25 tahun itu.

Erlan Hidayat menolak memberi komentar kepada Mongabay.

“Yang mengubah ya dirut yang sekarang itu,” kata Zainal.

Saya mengirim pesan lewat telepon kepada Sandiaga Uno soal dugaan keterlibatannya dalam memperpanjang kontrak air selama 25 tahun. Pesan saya tak dia jawab. Saya memutuskan mencegat saat Sandiaga Uno di Kantor Ombudsman Indonesia, Senin (9/4/18). Mulanya,  dia berhenti dan mendengarkan pertanyaan saya.

“Soal privatisasi air di Jakarta bagaimana, Pak? Apakah akan tetap melibatkan swasta, Pak?”

Uno melihat saya namun tak menanggapi. Kebetulan ada beberapa ibu minta foto bersama. Dia memberikan waktu buat foto bersama sambil tersenyum. Usai berfoto, saya berjalan di sisi kiri Uno menuju mobil.

Saya bertanya,”Apakah pertemuan di rumah Bapak, tanggal 20 Maret membicarakan itu, Pak?”

Dia tak mau menjawab. Dari raut wajah, Uno terkesan kaget.

Hingga dia masuk ke mobil, saya masih bertanya, “Surat itu benar atau tidak, Pak?”

Lagi-lagi, Uno hanya diam dan melempar senyum kepada saya lantas pergi tanpa mau menjawab persoalan enam bulan yang menarik itu.

Sandiaga Uno adalah pemodal terbesar dalam pilkada Jakarta. Dia tahu bisnis air memerlukan kekuatan politik. ‘Kekuatan’ itu berpeluang tersedia kala terpilih sebagai wakil gubernur.

 

 

Restrukturisasi hanya pengelabuan

Kabar pembatalan acara –beredar dalam berbagai kelompok Whatsapp– mendorong Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta –para pihak penggugat, serikat pekerja air maupun pendukung mereka– menemui Gubernur Anies Baswedan,  keesokan harinya.

Mereka mengatakan bahwa “rencana restrukturisasi” tak sejalan dengan putusan Mahkamah Agung. Mereka minta Gubernur Baswedan memenuhi hak air bersih warga Jakarta.

Sigit Budianto dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, salah penggugat privatisasi, mengatakan strukturisasi adalah upaya mengelabui putusan Mahkamah Agung seperti yang terjadi pada kasus PT Semen Indonesia dengan masyarakat Rembang, Jawa Tengah.

Dalam kasus Rembang, Mahkamah Agung memerintahkan pemerintah Jateng cabut izin lingkungan PT Semen Indonesia. Namun Gubernur Ganjar Pranowo mengeluarkan addendum baru dalam izin lingkungan perusahaan itu.

“Perintahnya jelas. Hentikan swastanisasi. Perintah dari MA kan begitu. Bukan lantas otak-atik kontrak biar terlihat legal,” kata Sigit.

Mereka berharap pemerintah Jakarta melakukan penguatan kapasitas PAM Jaya dengan dukungan anggaran dan perbaikan manajemen hingga PAM Jaya mampu melakukan perluasan cakupan kerja –sesuatu yang gagal dipenuhi swasta dalam 20 tahun– termasuk meningkatkan pelayanan bagi pelanggan, mengurangi kebocoran air dan menjangkau masyarakat miskin.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga merilis “Laporan Evaluasi Kinerja PAM Jaya 2016” terbitan Juni 2017,  ada kerugian Rp1,266 triliun sejak kerjasama pada 1997 dengan dua perusahaan swasta dan equitas negatif Rp945 miliar. PAM Jaya juga punya kewajiban kepada Palyja Rp266 miliar dan kepada Aetra Rp173 miliar.

Anies Baswedan membentuk tim untuk kajian air bersih Jakarta dengan sejumlah pihak, antara lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, akademisi, insinyur dan kelompok masyarakat sipil. “Dari masyarakat sipil ada, tetapi spesifiknya siapa, belum,” katanya dikutip dari Tempo.co.

Persoalan air bersih di Jakarta tampaknya belum bisa diselesaikan dengan keputusan Mahkamah Agung. Jalan masih panjang bagi warga Jakarta mendapatkan hak air bersih mereka…

Dokumen:    Perjanjian restrukturisasi Pam Jaya – Aetra yang batal ditandatangani 21 Maret 2018

Dokumen: Perjanjian restrukturisasi Pam Jaya -Palyja yang batal ditandatangani pada 21 Maret  2018

Foto utama: Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga di Muara Angke, Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

 

Pembersihan Sungai Ciliwung di daerah Kalibata. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Makin banyak air PAM Jaya dipakai, makin kecil pemakaian air tanah. Artinya, makin kecil juga penyedotan air lewat sumur. sehingga makin kecil amblesnya permukaan tanah Jakarta. Ia berdampak pada pencegahan banjir. ©Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version