Mongabay.co.id

Menjaga Puncak Tetap Hijau, Mencegah Datangnya Bencana

Seharusnya ada pepatah bijak yang mengatakan: Siapa yang menuai, siapa saja harus menanam. Sekalipun terdengar ganjil tetapi itu penting. Pasalnya, kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, seringkali menghadirkan bencana bagi ibu kota negara. Banjir dan longsor kerap bersumber dari kawasan yang berjarak 80 kilometer dari DKI Jakarta ini.

Raut wajah Kiryono berseri. Usaha yang selama ini digelutinya membuat orang tergelitik. Pria 38 tahun itu merupakan warga Kampung Bungalow, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Sudah bukan hal aneh, di sekeliling lingkungan tempatnya mengadu nasib, villa megah nan mewah kokoh berdiri. Meski bukan bekerja sebagai penjaganya, Yono tahu betul menyoal perubahan fungsi lahan di kampungnya ini.

Kegeliasahan akan rusaknya kawasan hutan, memanggil dirinya untuk berbuat sesuatu. Berangkat dari kegemarannya naik gunung, dia mengumpulkan bibit-bibit pohon dari hutan yang kemudia ia tanam.

“Susah ternyata menanam pohon itu. Sekalipun murni atas dasar kepedulian,” katanya saat ditemui pekan lalu. “Kalau sekadar menanam, sayang waktu dan tenaga,” tambah Yono yang pernah dirundung kecewa karena kepeduliannya tidak disenangi pihak tertentu.

Potret rusaknya hutan di Puncak bukanlah kasus baru. Perubahan penggunaan lahan di Daerah Aliaran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu telah terindikasi sejak lama.

Sudah lebih 30 tahun, pencanangan rehabilitasi DAS digelorakan. Namun, belum terlihat hasilnya. Fakta ini didukung seringnya bencana hidrometerologis hadir seperti banjir, sedimentasi, tanah longsor, dan kekeringan.

“Pernah terjadi kekeringan sampai air susah didapat. Bahkan, sekarang pun kekeringan kadang bisa terjadi bila kemarau,” ucap Yono yang memutuskan merintis menanam pohon endemik di lahan tidur milik Perhutani.

Baca: Tanah Bergerak, “Murka” Alam yang Sering Terjadi di Bogor

 

Kondisi Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang banyak berdiri villa menggantikan ruang hijau yang seharusnya dipertahankan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan informasi yang dihimpun, jumlah penduduk di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan mengalami peningkatan pesat. Hal ini menjadi salah satu sebab terjadinya perubahan fungsi lahan hijau menjadi permukiman.

Puncak pun tidak luput dari pantauan pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo dengan Nawacitanya memasukkan DAS Ciliwung sebagai salah satu Quick Win yang harus diselesaikan di era pemerintahannya. Target itu teruang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PJMN).

Hal ini menunjukkan itikad pemerintah terkait pengelolaan DAS untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta yang menimbulkan kerugian materi, hampir tiap tahun. Meski, belum ada hitungan dana yang sudah digelontorkan untuk memperbaiki situasi tersebut.

Baca: Tutupan Hijau di Kawasan Puncak Berkurang, Sumber Mata Air Menghilang

 

Kondisi Puncak, Bogor, Jawa Barat yang rawan longsor bukan hanya karena tanah semata tapi juga ada pemicunya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak Ernan Rustiadi menilai, permasalahan Puncak atau DAS utamanya, berada pada penataan ruang, perencanaan, dan pengendalian. Dia menambahkan, tiga instrumen itu sudah terkemas dalam regulasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) baik tingkat pemerintah daerah maupun pusat.

“RTRW lalu RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) ada tetapi tidak sinkron di berbagai level. Harus diketahui, DAS Ciliwung ini erat kaitanya dengan Jakarta,” terangnya.

Selama 22 tahun melakukan pengamatan, Ernan menyebut, kejelasan soal ketentuan hutan banyak yang belum jelas. “Semisal HGU (Hak Guna Usaha), malah sudah jadi tanah milik. Padahal itu tanah negara,” paparnya.

Pada kasus di Puncak, pengendalian tata ruang oleh pemerintah terkesan pragmatis. Artinya, banyak peraturan sektoral yang satu sama lain tidak nyambung. Sementara itu, Puncak juga selalu jadi etalase program-program yang ingin “memamerkan” kecintaan terhadap lingkungan. Namun, perkara roadmap tidak jelas.

“Hampir setiap Presiden, pernah menanam. Tapi, kondisi hari ini menunjukkan langkah itu tidak berjalan,” jelasnya.

Baca juga: Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru?

 

Ruang hijau yang banyak dijadikan permukiman dan peruntukan lain di Puncak, Bogor, Jawa Barat, membuat wilayah ini sering longsor. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, dalam perhelatan tiga kali pemilihan presiden, luas hutan di DAS Ciliwung mencapai 66 kali lipat Kebun Raya Bogor (87 hektar). Tahun 2017, luas sisanya sekitar 3.407 hektar atau 8,9% dari total luas DAS Ciliwung.

Tahun 2009, ada 626,40 hektar lahan pertanian kering berubah menjadi permukiman dan 361,94 hektar perkebunan beralih permukiman. Juga, 321,69 hektar hutan lindung menjadi permukiman dan 71,10 hektar hutan konservasi berubah permukiman.

“(Puncak) tutupan kawasannya sekitar 10%. Padahal, menurut Undang-undang 41 tahun 2009 tentang kehutanan, minimalnya DAS memiliki tutupan kawasan sekitar 30% untuk daerah tangkapan air atau catchment area,” kata Kepala BPDAS HL Citarum-Ciliwung Djonli.

Pengkampanye FWI Anggi Putra Prayoga, menuturkan, sulit sekali menghutankan kembali kawasan Puncak bila tidak adanya kolaborasi multipihak. Menurut SK Menteri LHK 2013, misalnya, di kawasan Puncak tidak ada hutan lindung. Hanya ada hutan konservasi dan hutan produksi.

“Pertanyaannya, bagaimana target itu tercapai? Sementara lahannya diluar skema SK Menteri LHK,” tandasnya.

 

Ruang hijau yang berkurang di Puncak, Bogor, Jawa Barat, membuat wilayah ini sering dilanda tanah longsor. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keterlibatan masyarakat

Dibutuhkan banyak Yono, untuk bergerak maju. Setelah berkeluh menanam pohon secara sukarela 10 tahun lamanya, Yono sowan dengan Indonesia Climate Change Trust Fund. Sebuah lembaga pendampingan masyarakat terkait kolaborasi dan penguatan mitigasi di Hulu Ciliwung.

Yono kini memiliki pekerjaan tetap sebagai petani kopi, selain penjaga hutan. Pohon-pohon yang dulu ditanamnya, jadi modal utama menanam kopi. Bermula hanya mengelola tanah pinggiran Perhutani, sekarang dia dan masyarakat lainnya menggarap lahan lebih luas dan dipercaya Perhutani untuk menggarap hutan produksi.

“Semula, saya tidak tahu soal konservasi. Yang saya pikirkan hanya menjaga hutan agar tidak gundul. Tapi sekarang saya mengerti, ada keuntungan dari lestarinya hutan. Masyarakat perlahan mulai ikut saya, dan kami menanam kopi bersama,” ucapnya.

Tahun lalu, Kopi Bungalow menjadi juara kopi tingkat nasional yang digelar di Aceh. Alhasil, permintaan kopi meningkat dan menjadikan Kampung Bungalow kesohor.

Yono pun sudah berjejaring dengan para pegiat lingkungan yang satu visi. Termasuk dengan Ayi Sutedja, pembina sekaligus petani kopi Gunung Puntang yang menjuari Specialty Coffee Association of America (SCAA) pertengahan April 2016 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.

“Saya akan terus menjaga hutan di Puncak,” ucap Yono dengan bangga.

 

 

Exit mobile version