Mongabay.co.id

Saat Warga Penolak Tambang di Pulau Bangka Curhat pada KPK. Apa Hasilnya?

Hari itu, Kamis (26/4/2018), warga berkumpul di pesisir pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, di lokasi yang rencananya menjadi dermaga perusahaan tambang. Memang, sekitar 300 meter dari pesisir, terlihat beberapa bangunan. Namun, ketika Mahkamah Konstitusi (MA) mengabulkan gugatan warga yang menolak pertambangan, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) oleh menteri ESDM, pembangunan itu tidak dilanjutkan.

Sesaat kemudian, nampak 3 kapal mendekat ke dermaga yang belum rampung itu. Di atas kapal ada sejumlah pejabat perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Koordinasi bidang Maritim, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemprov Sulut, Pemkab Minahasa Utara serta Polda Sulut.

Namun, 3 kapal itu hanya berada di tengah laut. Untuk menuju lokasi berkumpulnya warga, rombongan pejabat harus menggunakan perahu karet. Kondisi yang agak aneh, kapal pejabat itu tidak berani menepi ke dermaga, meski hanya berjarak sekitar 300 meter.

baca : Setelah Cabut Izin PT MMP, Saatnya Pemerintah Pulihkan Lingkungan Pulau Bangka

 

Warga Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulut, Kamis (26/4/2018) berkumpul di lokasi yang sempat direncakan jadi dermaga perusahaan tambang. Beberapa di antara mereka sempat melempar batu ke arah perahu yang ditumpangi wartawan dan aktivis lingkungan. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Saat proses mendaratkan sejumlah pejabat negara itu, beberapa orang memandangi kapal yang ditumpangi wartawan dan aktivis lingkungan. Mereka berteriak-teriak, dengan suara yang agak samar. Tapi kami tahu, itu tanda penolakan. Terbukti kemudian kapal kami beberapa kali dilempari batu. Dari kejauhan, kami menyaksikan salah seorang utusan KPK berupaya menenangkan warga agar tidak melempari batu lagi.

Rombongan pejabat kemudian mendatangi desa Ehe untuk berdiskusi dengan warga. Tetapi wartawan tidak bisa mendokumentasikan kegiatan tersebut. Kami memutuskan menunggu di tengah laut, agar bisa memantau gerak kapal para pejabat untuk memastikan wawancara bisa dilakukan setelahnya.

baca : Jonan Cabut Izin Produksi Tambang PT MMP di Pulau Bangka, Langkah Selanjutnya?

 

Curhat ke KPK

Menjelang sore, sebagian pejabat memutuskan kembali ke Manado, beberapa lainnya meneruskan perjalanan ke desa Kahuku. Di desa ini, situasinya agak lain. Wartawan yang sebelumnya ditolak, berkesempatan mendokumentasikan diskusi antara warga desa dengan rombongan pejabat yang dikoordinir Satgas III bidang Koordinasi dan Supervisi (Korsupgah) KPK.

 

Dengan perahu karet, para pejabat mendarat di lokasi bakal dermaga pertambangan di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulut, pada Kamis (26/4/2018). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Informasi dari warga desa Kahuku, sebagian besar warga desa Ehe mendukung upaya pertambangan di Pulau Bangka, terbukti adanya penjualan tanah dan warganya yang berharap dapat bekerja di perusahaan tambang. Tapi, berbeda di desa Kahuku,  warganya sejak lama memprotes dan menempuh jalur hukum untuk mengenyahkan perusahaan tambang dari pulau itu.

Diana Takumansang, warga desa Kahuku mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan menolak pertambangan. Bahkan, sejumlah ibu-ibu di desa itu sempat menggelar aksi buka baju. “Pulau ini merupakan peninggalan nenek moyang. Kalau mereka bisa, kenapa kami tidak boleh mempertahankan pulau yang kami cintai ini?” ujar Diana menangis kepada sejumlah pejabat yang hadir di desa Kahuku.

Sedangkan Kantiandagho Paraeng, warga desa Kahuku khawatir jika pulau Bangka menjadi wilayah pertambangan, pekerjaan mereka terdampak buruk. Padahal selama ini mereka bisa hidup tanpa kehadiran perusahaan tambang.

“Dari dulu kami hidup dengan kopra, jadi nelayan atau petani. Apalagi sekarang sudah ada program dari Presiden, yaitu BUMDes. Untuk hasil pertanian dari menanam jagung, sudah ada, walaupun baru mencapai 10 ton,” terangnya.

baca : Bupati Minahasa Utara Tolak Pertambangan Pulau Bangka

 

Warga desa Kahuku, Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulut pada Kamis (26/4/2018) berdiskusi dengan perwakilan kementerian yang dikoordinir KPK tentang permasalahan tambang PT MMP di pulau Bangka. Foto : Michele/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Imanuel Tinungki, kepala desa Kahuku, bersyukur atas kunjungan KPK ke desa itu. Sebab, Pemdes merupakan ujung tombak di masyarakat, dan perwakilan pemerintah pusat. Ia sering mendapat keluhan warga, terkait perusakan sumber air yang diduga akibat aktifitas perusahaan tambang.

“Di atas gunung itu gundul karena dibongkar perusahaan untuk pembuatan jalan dan gudang bahan peledak. Sumber air di situ ditimbun. Padahal dulu jadi tempat untuk memanfaatkan air bersih. Kini, tiap hujan air jadi keruh,” terangnya kepada Mongabay-Indonesia.

Imanuel merasa perlu memberi pengertian dan berposisi netral di tengah warga yang beda pendapat. Karena itu, ia berharap berbagai pihak mau menjunjung supremasi hukum. “Apalagi desa Kahuku sedang menunjang program pemerintah pusat lewat dana desa. Kan, mubazir sesuatu yang sudah dibikin bagus-bagus, ketika tambang masuk jadi rusak,” tambahnya.

Pulau Bangka, yang luasnya hanya 4800 hektar ini, hampir setengahnya atau sekitar 2000 hektar, direncanakan menjadi wilayah pertambangan biji besi.

baca juga : Meski Ada Keputusan MA, PT MMP Bersikeras Menambang di Pulau Bangka

 

Salah satu sisi pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulut yang terancam rusak karena rencana pertambangan bijih besi PT MMP. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Bertahun-tahun sebagian warga pulau menolak kehadiran perusahaan tambang. Sebagian lagi mendukung. Perbedaan itu sempat memicu konflik pada September 2013. Akibatnya, beberapa warga mengalami luka-luka, dan 2 orang penolak tambang dihukum.

Warga penolak tambang sudah menempuh berbagai cara, termasuk jalur hukum. Pada 2013, MA mengabulkan gugatan mereka. Seluruh wilayah PT Mikgro Metal Pedana (MMP) seluas 2000 hektar dikembalikan pada pemerintah. Kemudian pada Maret 2017, lewat SK No.1361K/2017, Menteri ESDM mencabut izin produksi tambang PT MMP di pulau Bangka.

baca : Kepedulian Tiada Pudar Kaka Slank untuk Pulau Bangka

 

Mengkoordinir Solusi

Dalam diskusi dengan warga, Dian Patria, Kepala Satgas III Korsupgah KPK menjelaskan, pihaknya mencari tahu persoalan sekaligus solusi masalah pertambangan di pulau Bangka.

Berdasarkan pertemuan dengan warga Ehe, KPK mencatat dua permintaan yaitu pengembalian hak-hak warga dan pemulihan ekonomi. “Kami sudah ke lokasi, sudah ke Ehe, sudah ketemu hukum tua (kepala desa). Mereka ingin kejelasan. (Perusahaan tambang) mau terus atau tidak ? Kalau tidak terus, warga minta hak-haknya dikembalikan, karena tanah sudah dijual, sudah balik nama. Mereka juga sudah dijanjikan akan dijadikan pekerja di sana,” terangnya.

Sedangkan, kepada warga desa Kahuku, KPK menjelaskan putusan pengadilan tidak detil mengatur instansi yang berwenang mengeksekusi dikeluarkannya perusahaan tambang dari pulau itu. Artinya pengadilan hanya memutuskan pencabutan izin perusahaan.

“Tidak ada perintah untuk mengeluarkan atau menyegel perusahaan. Tidak bisa serta-merta mengusir orang, kalau mereka punya hak atas tanah. Ini faktanya, kami tidak berani memberi harapan-harapan,” ujarnya kepada warga desa Kahuku.

“Kita tinggal cari solusi bagaimana meminimalisir masalah yang ada, dan kami mengawal, jangan sampai ada upaya mengaktifkan izin-izin yang ada. Jadi, memang kita semuanya adalah korban.”

baca : Inilah Kondisi Pulau Bangka Setelah Kehadiran Tambang

 

Warga Desa Kahuku, Pulau Bangka, Sulut pada Kamis (26/4/2018) berfoto bersama perwakilan pejabat kementerian yang dikoordinir KPK. Para pejabat itu datang untuk mencari tahu permasalahan pertambangan bijih besi PT MMP di Pulau Bangka. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Kepada wartawan, Dian Patria menjelaskan, kunjungan itu merupakan agenda KPK terkait program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia sejak 2015 untuk menyelamatkan hutan, tambang, laut dan kebun. Tambang jadi salah satu fokusnya.

“Kami mendorong pemerintah untuk mencabut izin-izin yang bermasalah, termasuk PT Mikgro Metal Perdana (MMP). Nah, izinnya sudah dicabut. Ada konflik, kami tiap bulan disuratin. Jadi, kami mengkoordinasikan peran antar lembaga.”

Sampai saat ini, KPK sudah mendengar informasi adanya dugaan korupsi. Namun belum memperoleh data rinci. “Kan, si perusahaan bilang sudah habis sekian triliun, berarti ada indikasi (korupsi) ke arah pejabat. Sampai sekarang kami tunggu-tunggu pengakuan mereka, tapi belum ada laporan,” terang Dian Patria.

Sedangkan Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, yang hadir diundang KPK, berharap KKP menemukan solusi pertambangan itu.

“Saya tadi mencatat, masyarakat di sini pakai alat tangkap apa, terus ada tanah yang dijual. Untuk pertambangan, sudah keluar putusan (dari MA dan Menteri ESDM). Indikasi perusakan alam, kami lihat dari masyarakat. Nanti akan kami datangi lagi. Kalau rehabilitasi, dikelola oleh Kemenko Maritim. Intinya, kami akan cari solusi bersama,” jelasnya.

baca : Tolak Tambang Pulau Bangka, Dua Warga jadi Tersangka

 

Meski sudah ada putusan MA yang melarang pertambangan, PT MMP tetap bersikeras melakukan pertambangan dengan mendatangkan truk dan ekskavator ke Pulau Bangka, Sulut pada 12 April 2016. Foto : Facebook Save Bangka Island

 

Ungkap Indikasi Korupsi

 Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa yang hadir di desa Kahuku berharap, KPK bisa mengungkap indikasi korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait, tidak hanya di Sulut, namun juga di Jakarta. Menurutnya, indikasi pelanggaran hukum bisa dilihat ketika satu lembaga mencabut izin, sedangkan lembaga lain berupaya mengaktifkan kembali perusahaan tambang di pulau Bangka.

Misalnya, Kemenko Maritim memimpin program recovery lingkungan untuk menjalankan putusan eksekusi. Tiba-tiba, kementerian perekonomian mau mengaktifkan PT MMP atas dasar investasi. Ini adalah keanehan yang harus disikapi oleh KPK,” terangnya.

Perbedaan persepsi merupakan penyebab terus terjadinya konflik di tengah warga. Sebagian warga berharap perusahaan tambang kembali beroperasi, dan mereka mendapat pekerjaan di sana. Di sisi lain, izin tambang telah dicabut.

Padahal, perkembangan pekerjaan tim Kemenko Maritim telah positif masuk ke program-program pemulihan lingkungan pasca pencabutan izin. Karena itu, pemerintah di pusat maupun daerah, perlu menyatukan perencanaan di masing-masing lembaga dan lebih aktif serta berani menindaklanjuti keputusan hukum.

“Bicaranya soal global warming dan lain-lain, tapi aksinya tidak ada, ya sama saja tong kosong berbunyi nyaring,” tegas Jull.

baca : Opini : Pulau Bangka Meradang Karena Tambang

 

Kondisi deforestasi Pulau Bangka, Sulut, yang mulai botak karena aktivitas tambang PT MMP.  Foto : Save Bangka Island

 

Bagi Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), beberapa hal bisa dipetik dari kunjungan sejumlah pejabat itu. Pertama, kurangnya persiapan dan proses kedatangan pejabat, terutama pengamanan.

“Kami sangat kecewa, masyarakat sipil dan jurnalis tidak bisa mengawal proses secara keseluruhan, karena pengamanan dari kepolisian tidak maksimal,” sesalnya.

Kedua, jika izin PT MMP sudah dibatalkan, maka seluruh kegiatan pertambangan menjadi tidak sah atau tidak memiliki dasar hukum. Termasuk infrastruktur tambang yang ada di lokasi.

“Mestinya dipikirkan skenario untuk mengeluarkan infrastruktur tadi untuk bisa melakukan pemulihan lingkungan. Selain itu, pemulihan sosial, terkait jual-beli tanah dan konflik antar warga,” tambahnya.

baca : Pulau Bangka, Wisata Lebih Menjanjikan daripada Tambang

 

Awal Maret 2015, alat berat itu masih tampak beroperasi di tepian pantai Pulau Bangka. Aneh, pemerintah pusat bilang dihentikan, tapi tak ada pengawasan di lapangan. Foto : Save Bangka Island

 

Sebelumnya, dalam diskusi dengan warga Kahuku, KPK menyatakan keputusan hukum hanya mencabut SK yang diterbitkan. Sedangkan, eksekusi untuk mengeluarkan perusahaan tambang perlu menempuh langkah lanjutan.

Menanggapi penilaian tersebut, Johansyah menyatakan, eksekusi di atas kertas saja tidak cukup. Sebab, gugatan warga ditujukan untuk menolak kehadiran tambang. Karenanya, pemerintah diminta untuk memfasilitasi keputusan hukum, dengan cara mengeluarkan infrastruktur pertambangan dari pulau Bangka.

 “Di luar poin-poin tadi, (KPK harus membongkar) indikasi korupsi. Kami meminta KPK menyelidiki dugaan penyelahgunaan wewenang. Tambang yang izinnya sudah dicabut, kok masih ada di sini?” pungkasnya.

 

Exit mobile version