Mongabay.co.id

Menjawab Tantangan Pangan Global, Ini Teknologi Budidaya untuk Industri Akuakultur. Seperti Apa?

Indonesia harus menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan global dalam industri akuakultur atau budidaya perairan pada sektor perikanan dan kelautan. Kesiapan Indonesia dibutuhkan untuk mengawal para pelaku industri tersebut yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Agar antusiasme masyarakat global terhadap bahan pangan berbasis ikan bisa dimanfaatkan dengan baik.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto di Jakarta pekan lalu mengatakan, pada 2030 mendatang lembaga pangan dunia PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) memprediksi kebutuhan dunia terhadap ikan akan meningkat hingga mencapai 172 juta ton. Dan sebanyak 58 persennya akan bergantung pada produk akuakultur.

Jika prediksi dari hasil riset itu terbukti, maka Indonesia harus menyiapkan sedini mungkin dari sekarang. Salah satu caranya, adalah dengan menyiapkan strategi untuk mendorong suplai ikan konsumsi melalui penggunaan teknologi yang mengedepankan prinsip eko-efisiensi.

“Prinsip tersebut yakni mendorong produktivitas dengan mengandalkan input sumber daya yang efisien melalui penggunaan sumber daya air dan lahan,” ujar Slamet.

baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

 

ikan budidaya. Foto : kkpnews

 

Menurutnya tantangan besar akuakultur adalah bagaimana meningkatkan produktivitas untuk suplai pangan, namun dengan penggunaan sumber air dan lahan yang lebih efisien. Penggunaan air tanah yang berlebihan, akan mengancam ketersediaan air dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Oleh itu, usaha budidaya ikan yang dilakukan di darat akan didorong dengan memanfaatkan sumberdaya air terbatas.

“Atau bahkan dengan teknologi kita bisa tekan tanpa ada pergantian air sama sekali. Dalam akuakultur ini sangat mungkin dan telah dibuktikan,” jelasnya.

 

Teknologi Akuakultur

Salah satu teknologi yang bisa menjawab tantangan saat ini, adalah Resirculating Aquaculture System (RAS). Teknologi tersebut sudah diterapkan dan membuahkan hasil yang bagus dalam industri perikanan budidaya. Selain RAS, teknologi lainnya yang dikembangkan adalah biofiltration system, budidaya lele sistem bioflok, dan penerapan sistem resirkulasi tertutup (closed recirculation system).

“Penerapan sistem RAS telah terbukti mampu mengefesiensikan penggunaan air hingga lebih 80 persen, namun menghasilkan output produktivitas ikan hingga 100 kali lipat dibanding sistem konvensional,” jelas Slamet.

baca : Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti didampingi Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto melihat lokasi percontohan untuk teknologi resirculating aquaculture system (RAS) di desa wisata Bokasen, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada awal Maret 2018. Foto : Foto: DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Sementara, teknologi biofiltration system, saat ini juga mulai diterapkan di Indonesia. Teknologi tersebut, adalah pemanfaatan sistem filtrasi yang efektif dan akan menghasilkan kualitas air yang stabil dan memicu penggunaan air yang efisien bahkan bisa ditekan dengan tanpa dilakukan pergantian air.

Tak cukup dua teknologi tersebut, Slamet menambahkan, saat ini penerapan budidaya intensif lele dengan sistem bioflok juga telah dikenal luas di masyarakat. Penggunaan teknologi bioflok, juga mampu menghemat penggunaan air hingga lebih 80 persen, sementara outuput limbah budidaya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah yakni diintegrasikan dengan sistem aquaponik.

“Sistem ini juga mampu menggenjot produktivitas ikan hingga 10 kali lipat dibanding konvensional,” sebutnya.

Terakhir, Slamet menerangkan, teknologi yang sedang dikembangkan adalah closed recirculation system yang diterapkan pada budidaya di tambak. Teknologi tersebut, juga mampu menekan penggunaan air semaksimal mungkin, khususnya penggunaan air tawar.

baca : Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?

 

Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Semua teknologi tersebut menjadi upaya menghadapi tantangan global ke depan, khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan di tengah krisis ekologi, utamanya keterbatasan sumber daya air. Ke depan, dia berharap paradigma pengelolaan akuakultur bisa lebih bijak dalam berfikir.

“Bahwa alam memiliki keterbatasan optimum dalam mendukung kehidupan, sehingga pengelolaan harus dilakukan secara bertanggungjawab,” tandasnya.

Slamet menambahkan, dari ulasan beberapa pakar di dunia, diketahui kalau pengembangan akuakultur akan memicu konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya air. Tetapi, jika digunakan teknologi yang tepat seperti dijabarkan di atas, pernyataan para pakar tersebut dapat dihindari.

“Melalui penerapan inovasi teknologi dan penerapan produksi bersih dalam proses budidaya, maka tantangan besar terkait krisis air dan ketahanan pangan mampu dihadapi dengan baik,” sebut dia.

baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?  

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Teknologi RAS

Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Minahasa, Sulawesi Utara Fernando S mengungkapkan, prinsip dasar teknologi RAS di seluruh dunia memiliki kesamaan, yaitu memanfaatkan air sebagai media pemeliharaan secara berulang-ulang dengan mengendalikan beberapa indikator kualitas air agar tetap pada kondisi prima.

Untuk teknologi tersebut, Fernando mengatakan, pihaknya sudah melakukan modifikasi sesuai kondisi yang ada. Selain itu, untuk menekan biaya menjadi lebih murah, peralatan yang gunakan juga menggunakan produk dalam negeri.

“Tujuannya sudah jelas, produk dalam negeri bisa menekan biaya dari sisi investasi,” jelasnya.

Fernando memaparkan, penggunaan teknologi RAS dalam perikanan budidaya bisa dilakukan dengan biaya murah sebesar Rp80 juta saja. Dengan biaya sebesar itu, pembudidaya sudah bisa membiayai pemasangan teknologi RAS yang dikembangkan dan mencakup di dalamnya adalah alat-alat yang digunakan seperti O2 generator, tanki filter, venturi, blower, ultraviolet, dan material lainnya.

Dengan biaya tersebut, Fernando menuturkan, pembudidaya sudah bisa memiliki peralatan yang bisa digunakan untuk pemakaian selama enam tahun dan nilainya jauh lebih murah dibandingkan dengan sistem serupa yang didatangkan langsung dari negara lain dan nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

“Saya katakan ini RAS hasil karya anak negeri, dengan hasil yang tidak jauh beda dengan sistem RAS lain, namun dengan harga yang jauh lebih murah,” sebutnya.

baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?

 

Dirjen Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Slamet Soebjakto melihat bak budidaya perikanan dengan system Recirculating Aquaculture System (RAS). Sistem yang dikembangkan BPBAT Tatelu, Minahasa, Sulut ini dapat meningkatkan produksi hingga 100 kali lipat dari budidaya ikan konvensional. Foto : DJPB KKP

 

Produksi Naik 100 Kali Lipat

Lebih jauh Fernando mengungkapkan, dengan menggunakan teknologi RAS, pembudidaya ikan bukan saja mampu memenuhi kebutuhan benih berkualitas, namun juga bisa meningkatkan produksinya sebanyak mungkin.

Dia menyebut, dibandingkan dengan sistem konvensional yang lebih dulu digunakan para pembudidaya ikan, sistem RAS bisa menaikkan produksinya hingga 100 kali lipat. Dengan menggunakan RAS pada kolam nila, produksi akan mencapai 5.000 ekor per meter kubik. Tapi sebaliknya, jika menggunakan sistem konvensional, produksi hanya mampu mencapai 50 ekor saja.

“Itu berarti, dengan penerapan sistem RAS, produktivitas bisa digenjot hingga 100 kali lipat dibanding dengan sistem konvensional. Kelebihan lainnya, budidaya dengan sistem ini sangat menghemat penggunaan air, dan dapat dilakukan pada areal yang terbatas,” paparnya.

Dengan pertimbangan untuk pembudidaya lokal, Fernando menyebut, pihaknya sengaja mengembangkan teknologi RAS dengan rancangan mampu melakukan produksi minimal 1 juta ekor benih ikan nila ukuran 2-3 cm dengan masa pemeliharaan maksimal 1 bulan/siklus.

Secara ekonomi, Fernando mengatakan, dengan biaya instalasi sistem RAS senilai lebih kurang Rp80 juta dengan biaya penyusutan mencapai Rp13,3 juta pertahun dan biaya operasional berkisar Rp1,5 juta per bulan, maka setidaknya akan diraup pendapatan kotor hingga Rp100 juta/tahun atau lebih dari Rp8 juta/bulan.

Tak hanya meningkatkan daya saing secara ekonomi, Fernando menambahkan, penggunaan teknologi RAS akan membantu para pembudidaya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, serumit apapun tantangan di masa depan, itu akan bisa diatasi melalui RAS.

“Teknologi ini dinilai akan mampu mengatasi fenomena alam yang tak menentu seperti perubahan iklim dan kualitas lingkungan,” tandas dia.

Dengan segala keuntungan tersebut, baik Fernando maupun Slamet Soebjakto mengharapkan teknologi RAS bisa berkembang lebih besar lagi dan digunakan oleh para pembudidaya ikan di seluruh Indonesia. Untuk saat ini, teknologi tersebut sudah diadopsi oleh Balai Perikanan KKP dan diharapkan produksi di masing-masing Balai tersebut bisa meningkat.

 

Exit mobile version