Mongabay.co.id

Vonis Bersalah Dua Perusahaan Tambang, Organisasi Lingkungan Desak Pencabutan Izin

PLTU batubara, munculkan beragam masalah lingkungan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kalangan organisasi lingkungan mendesak pemerintah mencabut dua izin perusahaan tambang, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) di Bangka Belitung, dan  PT Indominco Mandiri di Kalimantan Timur, yang terbukti bersalah melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walaupun putusan ini jadi sinyal positif bagi penegakan hukum perusak lingkungan di sektor pertambangan, tetapi organisasi lingkungan menilai putusan masih terlalu ringan.

“Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Gubernur, sesuai kewenangan masing-masing harus mencabut izin usaha dan izin lingkungan hidup sebagai bentuk sanksi administratif menindaklanjuti pidana lingkungan yang telah terbukti kepada kedua perusahaan,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, dua pekan lalu.

Kasus di Bangka, Bangka Belitung, berawal dari operasi penambangan timah dengan kapal isap produksi (KIP) tak berizin di destinasi wisata Pantai Pasir Padi,  Direktur Utama SIP Modentus Hendrawan, awal Januari 2018 terjerat hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Putusan pengadilan dinilai sangat ringan, menghukum perusahaan membayar Rp1,1 miliar  tanpa menyentuh pengurus perusahaan.

Kala itu, Muhammad Yunus, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, mengatakan, penambangan di Pasir Padi sebelumnya dilaporkan Walhi Bangka Belitung ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK.

Perusahaan ini diduga melanggar Pasal 109 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 116 ayat (1) huruf a dengan ancaman pidana maksimal tiga tahun dan denda Rp3 miliar. Bahkan,  ada indikasi dugaan pelanggaran tindak pidana pencucian uang.

“Supaya jera, para pelaku kejahatan lingkungan hidup harus dihukum seberat-beratnya. Selain meresahkan masyarakat, merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian negara,” kata Yunus.

SIP hanya vonis Rp1,1 miliar, tanpa menyentuh hukuman ke direksi perusahaan yang terbukti melakukan tindak pidana lingkungan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, putusan tak berbeda jauh dengan PT Indominco Mandiri di Kutai Kartangera, Kalimantan Timur, juga melanggar tindak pidana lingkungan, dengan mencemari lingkungan karena pembuangan limbah berbahaya, dari operasi PLTU di Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir, Kecamatan Muarangkayu.

Ratno Budi, Direktur Walhi Babel mengatakan, temuan mereka ada sejumlah kejanggalan selama proses kasus ini berjalan. Tuntutan Jaksa hanya Rp1,6 miliar, sebelum putus Rp1,1 miliar.

Semestinya,  tuntutan jaksa maksimal karena dalam Pasal 109 UU PPLH tuntutan maksimal Rp3 miliar, dan pidana kurungan mulai 1-3 tahun bagi subyek hukum petinggi perusahaan.

“Jaksa melenyapkan tuntutan pidana kurungan. Kami mencurigai terjadi pembonsaian tuntutan maupun vonis yang dirancang dari awal sejak penyidikan. Kami mendesak, KLHK upaya banding,” katanya.

Putusan PN Pangkal Pinang terhadap SIP, katanya,  masih belum menebus rasa keadilan bagi masyarakat.

Dari perhitungan Walhi Bangka Belitung, denda Rp1,1 miliar dapat ditebus hanya dengan satu minggu operasi penambangan oleh satu kapal isap tambang timah di perairan Bangka Belitung.

Rata-rata produksi pertambangan laut dengan KIP dalam perbulan 20-50 ton biji timah. Jika mengacu harga timah basah tingkat lokal, satu kilogram timah seharga Rp120.000, sebulan bisa hasilkan Rp4,8 miliar.

“Jadi cukup seminggu Rp1,1 miliar denda itu dapat ditebus perusahaan, apalagi operasi ilegal sudah berlangsung enam bulan,” katanya.

 

Kapal isap timah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Serupa Indominco

Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim, kepada Mongabay mengatakan, pembuangan limbah PLTU batubara PT Indominco Mandiri (Indominco), anak usaha PT. Indo Tambangraya Megah (ITM) berupa fly ash dan bottom ash batubara ini merupakan rentetan penghancuran alam sejak dari penambangan di Sungai Santan, Kutai Kartanegara hingga intimidasi kepada warga. Dalam kasus ini, pidana penjara terhadap pimpinan perusahaan juga lenyap.

Dalam hitungan Jatam Kaltim, kata Rupang, pidana denda Rp2 miliar kepada Indominco dapat ditebus hanya mengapalkan seperempat tongkang batubara volume 8.000 ton. Hitungan itu, katanya,  didapat dari harga batubara acuan saat ini, dikalikan satu tongkang batubara.

Adapun satu tongkang batubara isi 8.000 ton Rp11 miliar dengan asumsi satu ton batubara rata-rata US$100.

“Artinya, cukup seperempat tongkang Indominco sudah membayar lunas denda pengadilan dan atas gugatan KLHK itu,”katanya.

Mengenai kasus Indominco, dalam putusan disebutkan perusahaan asal Thailand di bawah payung Grup Banpu ini divonis dengan Pasal 104 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU PPLH. Ia berbunyi, setiap orang yang melakukan dumping limbah dan, atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dapat kena pidana dengan ancaman kurungan maksimal tiga tahun dan pidana denda Rp3 miliar.

“Kasus ini dilaporkan warga dan Jatam Kaltim kepada Gakum KLHK, kemudian KLHK menggugat pidana ke pengadilan,” katanya.

Berdasarkan data Jatam 2013, Indomico merupakan perusahaan pertambangan batubara berizin pemerintah pusat dengan produksi tiap tahun 29 juta ton. Perusahaan batubara ini disokong sejumlah perbankan raksasa global dan perbankan dalam negeri seperti adalah HSBC, JP Morgan, Standart Chartered, BCA dan Bank Mandiri.

Indominco,  bagian dari tujuh produsen batubara terbesar di Indonesia, atau 70% produksi nasional enam perusahaan raksasa lain tersebar di Sumatera dan Kalimantan.

“Tak hanya upaya banding, pemerintah harusnya cabut izin Indominco, karena terbukti melakukan pidana lingkungan hidup,” katanya.

Sebelumnya, AH Bramantya Putra, Direktur Indominco mengatakan, perusahaan mematuhi putusan Majelis Hakim Pengadilan Tenggarong pada 4 Desember.  Denda Rp2 miliar telah dibayarkan perusahaan pada 19 Desember 2017.

Merah bilang, dua putusan pengadilan di PN Pangkalpinang maupun PN Tenggarong sangatlah rendah, bahkan pidana kurungan terhadap pimpinan perusahaan lenyap. Putusan ini tak memasukkan biaya pemulihan dan putusan tidak mewakili pidana kejahatan korporasi.

Dua putusan ini, katanya,  penting guna memastikan negara termasuk KLHK sungguh-sungguh menegakkan pidana kejahatan korporasi.

“Lakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi yang terindikasi melalui penyalahgunaan kewenangan dan kerugian negara, yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan dalam dua kasus ini,” katanya.

Arif Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, kedua kasus, pejabat pengawas tak menjalankan kewenangan dalam pengawasan atas perusahaan tambang Indominco maupun SIP.

Dalam kasus SIP, bagaimana mungkin pejabat pengawas membiarkan perusahaan berjalan selama enam bulan tanpa tahu izin lingkungan sudah habis masa berlaku dan tak ada izin lingkungan baru.

“Ini menunjukkan ada indikasi penyalahgunaan kewenangan di pejabat pengawas,” katanya.

Dia mendesak,  jaksa dan KLHK banding dalam kasus SIP, karena belum mewakili rasa keadilan warga yang selama ini terdampak tambang.

Kepada perusahaan pembeli dan perbankan maupun lembaga keuangan yang mendukung SIP maupun Indominco agar setop dukungan maupun pembelian bahan tambang. Dua perusahaan ini, katanya, sudah terbukti bersalah lakukan tindak pidana lingkungan.

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional berpandangan, vonis majelis hakim seharusnya dapat memberikan efek jera.

“Agar ada efek jera majelis hakim harusnya menghukum berat kedua perusahaan. KHLK harus upaya banding,” katanya.

Berdasarkan catatan koalisi yang terdiri dari Walhi Nasional, Walhi Babel, Jatam Nasional, Jatam Kaltim, YLBHI, Kruha, KNTI, Kiara dan ICW, ada 54 KIP timah di Bangka. Kerusakan dampak tambang ini,antara lain, tangkapan nelayan menurun, ekosistem terumbu karang–dari monitoring Walhi Babel dengan peneliti Institut Pertanian Bogor– menemukan air laut sudah melebihi baku mutu padatan tersuspendi (TSS).

Konsumen timah dari penambangan ini diterima perusahaan elektronik dunia tersebar di Eropa. Merek-merek terkenal pengguna timah dari Babel, seperti Apple, Samsung, Philips, Sony dan Lenovo dan banyak lagi.

 

Foto utama:PLTU batubara, ciptakan beragam masalah lingkungan, seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, oleh PT Indominco Mandiri. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pertambngan batubara di Samarinda menciptakan bencana ekologi dan kemanusiaan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version