Mongabay.co.id

Kabar dari Pulau Pari: Menanti Aksi Pemerintah Jakarta Tindaklanjuti Temuan Ombudsman

 

Rainbow Warriow datang ke Pulau Pari. Warga pulau yang sedang berjuang melawan perampasan lahan mereka menyambut antusias. Warga Pulau Pari, tengah menanti keadilan, membebaskan lahan dan ruang hidup mereka dari klaim perusahaan yang sudah dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman RI. Kini, mereka menanti kerja-kerja pemerintah dan lembaga peradilan, baik Pemerintah Jakarta, BPN sampai pengadilan sebagai aksi tindaklanjut temuan Ombudsman.  

***

Rabu siang, (9 /5/18), kapal Greenpeace, Rainbow Warrior,  tiba di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Langit cerah. Air laut biru. Puluhan perahu nelayan tradisional dari pesisir Pulau Pari mendekati Rainbow Warrior, mereka tergabung di Forum Peduli Pulau Pari (FP3).

Spanduk-spanduk “Save Pulau Pari” dan “Jangan Rampas Tanah Rakyat”, terbentang di atas perahu. Kedatangan Rainbow Warrior disambut antusias nelayan. Begitu pula harapan ribuan lebih warga di Pulau Pari yang berjuang atas lahan mereka.

Sulaiman, warga RT1/RW4, Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan antusias menyambut Rainbow Warrior.  Bagi Sulaiman, kapal ini membawa misi baik bagi warga Pulau Pari, agar pemerintah menepati janji membangun poros maritim, tak menggusur tanah warga yang turun-temurun tinggal di sana.

“Banyak lagi pulau kecil di daerah lain dirusak dan diprivatisasi atas nama pembangunan dan investasi. Warga dan nelayan tergusur dari tanah leluhur,” katanya kepada Mongabay.

Sulaiman bilang, sudah berbagai cara mereka dilakukan mempertahankan tanah itu, dari aksi sampai melapor ke lembaga negara. Tetap saja, rakyat tak berdaya.

Lebih 90% lahan di Pulau Pari diklaim milik PT. Bumi Pari Asri, 10% lahan milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ada lebih 300 keluarga, atau 1.000 orang lebih tergusur jika privatisasi berlanjut.

“Ada warga yang lima generasi tinggal di Pulau Pari akan tergusur dan mata pencaharian hilang,” katanya.

Baca juga : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?

 

Aksi warga dan nelayan di Pulau Pari menyambut kapal Rainbow Warrior. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Warga Pulau Pari, katanya,  mempertanyakan janji Presiden Joko Widodo akan membangun poros maritim Indonesia. Komitmen itu, katanya,  bisa jadi hanya mimpi kalau pulau-pulau kecil diberikan ke investor.

“Empat tahun memimpin, Presiden belum bisa membenahi pulau-pulau kecil untuk luas masyarakat, buktinya, apa yang terjadi di Pulau Pari ini?”

Dia bilan, presiden membagi-bagikan sertifikat tanah di  berbagai tempat, di Pulau Pari,  hak dan tanah warga terampas. Dia dan warga Pulau Pari berharap, solidaritas Greenpeace dan Rainbow Warrior terdengar pemerintah hingga membatalkan privatisasi Pulau Pari.

Warga berharap,  ada dukungan luas publik maupun masyarakat internasional yang senasib atau sedang menghadapi persoalan serupa.

Baca juga : Pulau Pari, Riwayatmu Kini…

 

Ombudsman nyatakan maladministrasi

Perjuangan warga Pulau Pari mempertahankan hak kelola sejak lima tahun lalu. Pada 2014-2015,  Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sekitar 77 sertifikat di Pulau Pari. Sertifikat-sertifikat itu dinyatakan maladminstrasi oleh Ombudsman pada awal April 2018.

Awal April itu, Ombudsman RI mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) terhadap laporan Forum Peduli Pulau Pari mengenai dugaan maladministrasi penerbitan sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT. Bumi Pari Asri di Pulau Pari.

Plt. Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Dominikus Dalu S mengatakan, menindaklanjuti laporan, Ombudsman empat kali memeriksa terlapor yakni Kepala Kantor Pertanahan Kota Adminitrasi Jakarta Utara dan jajaran.

Baca juga : Kekerasan di Pulau Pari Dibawa ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

 

Aktivitas nelayan tradisional di Pulau Pari yang saat ini terancam privatisasi dari investor. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu,  Ombudsman juga dua kali investigasi lapangan di Pulau Pari dan meminta keterangan ahli serta telaah dokumen terkait laporan.

“Hasilnya, terjadi penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang dan pengabaian kewajiban hukum dalam penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari,” katanya.

Penerbitan SHM tak mengikuti prosedur yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1-4 serta Pasal 26 ayat 1,2 dan 3 PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pada pokoknya, kata Dominikus, pertama, proses pengukuran tak diinformasikan atau tak diketahui warga Pulau Pari atau yang berbatasan dengan bidang-bidang tanah.

Kedua, hasil pengukuran atau daftar peta bidang tanah diumumkan hingga warga Pulau Pari tak memiliki kesempatan menyatakan keberatan.

Penerbitan 62 SHM juga dinilai Ombudsman menyebabkan monopoli kepemilikan tanah dan peralihan fungsi lahan di Pulau Pari.  Hal ini, katanya, bertentangan dengan ketentuan Pasal 6,7 dan 13 ayat 2 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok  Agraria.

Sementara penerbitan SHGB dinyatakan Ombudsman, selain bertentangan dengan UUPA, juga dengan Pasal 2 huruf g UU Penataan Ruang, Pasal 171 ayat 1 dan 2 huruf e peraturan daerah Jakarta No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dan Ketentuan Pasal 10 ayat 1 UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Pada pokoknya penerbitan 14 SHGB di Pulau Pari mengabaikan fungsi sosial tanah, ada monopoli kepemilikan, mengabaikan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang, melanggar RTRW kawasan pemukiman dan melanggar asas-asas pemerintahan yang baik,” katanya.

Baca juga : Perbedaan Cara Pandang Kriminalisasi Nelayan Pulau Pari, Seperti Apa?

 

Dukungan penyelamatan Pulau Pari dari berbagai kalangan di kawasan mangrove Pulau Pari, sehabis penanaman. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Penerbitan SHGB ini juga dinilai mengabaikan kewajiban hukum karena kantor Pertanahan Jakarta Utara tak mengevaluasi dan mengawasi pemegang SHGB atas nama PT. Bumi Pari Asri dan PT. Bumi Raya Griyanusa.

Sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf b PP No 40/1996, kata Dominikus, seharusnya Kantor Pertanahan mengawasi pemegang sertifikat yang tak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur Pasal 30 huruf b dan c PP Nomor 40/1996.

“Korporasi pemegang SHGB sejak 2015 tak melakukan aktivitas di atas tanah atau membiarkan tanah terlantar.”

Untuk itu, Ombudsman RI meminta pemerintah Jakarta melakukan tindakan korektif. Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta diminta mengevaluasi penerbitan SHM dan SHGB di Pulau Pari. “Ini akan jadi bentuk akuntabilitas BPN kepada masyarakat termasuk pelapor, secara komprehensif.”

Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN dan Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta, katanya,  harus mengaudit internal Kantor Pertanahan Jakarta Utara  karena telah menerbitkan sertifikat.

Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta juga harus mengevaluasi surat keputusan (SK) pemberian SHGB kepada kedua perusahaan.

Pemerintah Jakarta, katanya,  diminta mengembalikan peruntukan Pulau Pari sebagai kawasan pemukiman penduduk atau nelayan sesuai dengan ketentuan Pasal 171 Perda Provinsi tentang Tata Ruang Wilayah 2030.

Pengembalian ke pemukiman ini, katanya, jadi upaya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil, nelayan, lingkungan dan ekosistem laut.

“Apabila Pemprov Jakarta mengembangkan Pulau Pari sebagai salah satu kawasan wisata di Kepulauan Seribu, pembangunan parawisata agar mengintegrasikan kepentingan warga Pulau Pari,” katanya.

Baca juga : Dinilai Tak Bersalah, Tiga Nelayan Pulau Pari Diminta Segera Dibebaskan dari Hukuman

 

Sebanyak 80 personil polisi yang dilibatkan penyegelan tanah dan bangunan milik Surdin di Pulau Pari, Pulau Seribu Selatan, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada Senin (20/11/2017). Penyegelan tersebut ditolak warga setempat sehingga terjadi kekerasan. Foto : KIARA/Mongabay Indonesia

 

Pemprov Jakarta bersama BPN juga harus menginventarisasi data warga Pulau Pari, pengukuran dan pemetaan ulang terhadap kepemilikan hak atas tanah di sana.

Ombudsman menegaskan,  jika ada warga yang memiliki alas hak agar status kepemilikan diperjelas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Inventarisasi, katanya,  juga harus dilakukan pemprov terhadap aset-aset yang ada di atas tanah.

Tindakan korektif ini harus dilaporkan kepada Ombudsman dalam waktu 30 hingga 60 hari sejak laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) keluar.

Ombudsman juga mengimbau kepolisian menghentikan sementara kasus pidana yang melibatkan masyarakat dan nelayan Pulau Pari selama tindakan korektif dilakukan.

Menanggapi LAHP ini, Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno yang menerima langsung laporan, mengatakan,  hasil LAHP ini sejalan dengan penataan yang tengah dilakukan Pemerintah Jakarta,  baik terhadap tanah maupun aset.

“Kita juga ingin wisata di Pulau Pari ini dengan melibatkan masyarakat,” katanya sembari memastikan pemprov akan mengawal tindakan korektif yang diminta Ombudsman.

Hari itu, kala menerima LAHP ini, warga Pulau Pari dan Forum Peduli Pulau Pari sujud syukur di depan kantor Ombudsman. Mereka berharap sertifikat segera dicabut dan dinyatakan tak lagi berlaku.

Koalisi Selamatkan Pulau Pari terdiri dari Walhi, LBH Jakarta, Kiara, KNTI, PBHI, SP, SPI dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif mendesak respon beberapa pihak selain Pemprov Jakarta.

Baca juga : Mongabay Travel: Pulau Pari, Gairah Wisata Baru di Kepulauan Seribu

 

Proses negosiasi pada peristiwa kekerasan yang dialami warga Pulau Pari, Pulau Seribu Selatan, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada Senin (20/11/2017). Kekerasan tersebut dipicu karena pemaksaan penyegelan tanah dan bangunan milik Surdin. Foto : KIARA/Mongabay Indonesia

 

Tigor Hutapea dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, negara dan pemerintah harus memberikan keadilan bagi warga Pulau Pari.  UUD 1945, katanya,  mengamanatkan rakyat berhak atas tempat tinggal dan penghidupan layak. “Itu hak konstitusi warga Pulau Pari.”

FP3,  meminta kejaksaan menghentikan dakwaan terhadap Sulaiman yang sedang proses pengajuan berkas perkara ke PN Jakarta Utara dengan mendasarkan alasan hapusnya penuntutan perkara. Sebab, secara substansi SHM dan SHGB cacat prosedur dan cacat kewenangan.

PN Jakarta Utara, katanya, harus mengambil putusan menghentikan perkara dengan memperhatikan temuan Ombudsman dalam menangani kasus Pulau Pari.

“BPN harus cabut sertifikat-sertifikat dan dinyatakan tak berlaku lagi, kembalikan penguasaan pulau Pari ke rakyat,” kata Tigor.

Dia juga meminta, KPK mengusut kemungkinan ada dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat di Pulau Pari.

Pemerintah daerah, kata Tigor, harus memberi perlindungan kepada warga Pulau Pari sebagai pelaku ekonomi pariwisata, bukan perlindungan sebagai tenaga kerja.

“Berhenti menawarkan Pulau Pari kepada investor karena warga Pulau Pari saat ini adalah investor yang membangun pariwisata dengan swadaya tanpa bantuan pemerintah.”

Sebaiknya, katanya, pemerintah memperhatikan peningkatan kemampuan warga sebagai pelaku ekonomi agar mandiri.

“Tanpa tindakan ini dikhawatirkan temuan LAHP Ombudsman tak membawa arti apa-apa bagi warga Pulau Pari.”

 

Save Pulau Pari, bersama Rainbow Warrior, warga dan para aktivis. Foto: Greenpeace/ Mongabay Indonesia

 

Arifsyah Nasution Juru kampanye Laut Greenpeace mengatakan, perjuangan warga Pulau Pari menghadapi kekuatan modal dan rintangan keras, beberapa warga bahkan dikriminalisasi.

Kini, satu warga Pulau Pari, jadi tersangka dan akan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan tuduhan Pasal 385 ayat 4. Satu warga lain berstatus saksi.

Untuk mendukung perlindungan hak nelayan dan pelestarian lingkungan, Greenpeace menolak tegas privatisasi pulau-pulau kecil.

Kasus Pulau Pari, katanya, jadi contoh bahwa hak masyarakat pesisir selalu terabaikan untuk kepentingan korporasi. Pemerintah, katanya, seharusnya menjamin hak masyarakat mendiami sebuah pulau, dan memberikan pendampingan maupun perlindungan agar pengelolaan pesisir dan laut berkelanjutan.

“Temuan Ombudsman menyatakan ada maladministrasi dalam proses pengeluaran sertifikat tanah, mengindikasikan jelas ada upaya perampasan sistematis terhadap hak-hak warga Pulau Pari,” katanya.

Greenpeace, melihat tiga ancaman perlu menjadi perhatian serius untuk pulau-pulau kecil di Indonesia,  yakni perubahan bentang alam karena perusakan habitat di pesisir dan perairan pantai  seperti hutan mangrove, terumbu karang. Ia sering jadi korban pertambangan dan pembangunan seperti reklamasi. Lalu,  kenaikan muka air laut karena pemanasan global dan perubahan iklim, dan privatisasi, penguasaan lahan oleh korporasi dan perseorangan yang rawan menimbulkan persoalan sosial dan pelanggaran HAM.

“Ancaman lain laut kita pencemaran dan penangkapan ikan berlebih,” kata Arif.

 

Setiap pengunjung Pulau Pari wajib menanam mangrove sebagai upaya bersama menyelamatkan pesisir dari bencana. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Fatilda Hasibuan dari Walhi mengatakan, ketimpangan penguasaan tanah luar biasa di neger ini. Negara, katanya,  harus hadir di Pulau Pari melalui reforma agraria untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah oleh warga Pulau Pari.

Tanah 41 hektar di Pulau Pari, ditempati, 332 keluarga, itupun terancam terampas perusahaan yang menguasai 44.500 hektar tanah di seluruh Indonesia.

Dihubungi terpisah, Ahmad Aris, Kasubdit Pengolahan Ekosistem Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, belum memberikan izin privatisasi Pulau Pari.

KKP juga heran kala BPN mengeluarkan sertifikat tanah terhadap satu pulau alias mayoritas dikuasai perusahaan. Hanya 70% wilayah bisa dimanfaatkan di pulau kecil, termasuk Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sekitar 30% lain harus untuk publik.

Pada kasus Pulau Pari, awalnya 90% lahan diakui PT Bumi Raya. Pengakuan ini didukung sertifikat yang dikeluarkan BPN.

“Di dalam UU Pesisir, masyarakat berhak mengelola pulau kecil. Akar permasalahan ada pada pertanahan,” kata Aris.
Aris bilang, dari 17.504 pulau di Indonesia, KKP sudah mendepositokan 16.059 pulau ke PBB. Sekitar 80% dari yang terdaftar itu merupakan pulau kecil dengan luas 10 hektar ke bawah.

BPN, katanya,  menyalahi aturan Permen 17 Tahun 2016 tentang sertifikasi di pulau kecil. Pantai, area publik tak boleh jadi milik perusahaan atau pengelola pulau. “Kita harus berikan konsep ke depannya yang sudah dikuasai masyarakat.”

 

 

Exit mobile version