Mongabay.co.id

Pengelolaan Perikanan Terintegrasi Diperkenalkan di Papua Barat

Pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan (KKP) Provinsi Papua Barat secara bertahap terus meningkat kondisinya dibandingkan waktu sebelumnya. Di provinsi tersebut, pengelolaan kini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan aspek pelestarian alam dan manfaat ekonomi jangka panjang bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Integrasi pengelolaan tersebut diperkenalkan secara resmi untuk pertama kali dalam sebuah loka karya yang dilaksanakan di Manokwari, Papua Barat, pekan lalu. Loka karya yang diinisiasi Conservation International (CI) Indonesia bersama Yayasan Bina Usaha Lingkungan Environmenal Defense Fund (YBUL-EDF), bertujuan untuk mengampanyekan gerakan pengelolaan KKP dengan lebih baik lagi.

Pemprov Papua Barat terus aktif melibatkan seluruh kabupaten dan kota agar bisa segera menerapkan pengelolaan yang terintegrasi. Sebagai langkah awal, KKP Daerah Kabupaten Kaimana berperan sebagai daerah pertama yang menerapkan pengelolaan terintegrasi.

baca : Diluncurkan Dana Abadi untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi Kepala Burung Papua

 

Nelayan menangkap ikan di perairan di kawasan konservasi Pulau Namatota, Kabupaten Kaimana, Papua Barat yang termasuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KPPD) Kaimana. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Nataniel D Mandacan di Manokwari, mengatakan, pengelolaan perikanan secara terpadu penting untuk dilaksanakan di Papua Barat, karena harus ada sinergi yang baik antara Pemprov dengan Pemerintah Kabupaten serta pemangku kebijakan lainnya. Melalui pengelolaan yang terintegrasi, perikanan berkelanjutan pada tahap berikutnya bisa tercapai.

“Saya mengapresiasi upaya yang dilakukan Kaimana sebagai contohnya dalam pengelolaan terpadu perikanan berkelanjutan dan KPPD,” ucap dia.

Melalui pengelolaan integrasi, Nataniel berharap, nantinya akan terbangun sebuah skema kelola kawasan konservasi yang komprehensif dengan melibatkan pelestarian alam dan ekonomi bagi masyarakat. Skema itu dinilainya bisa memicu kebangkitan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar KKPD seperti Kaimana.

Pemkab Kaimana sendiri, hingga saat ini terus mendorong pelestarian dan pengelolaan perikanan berkelanjutan yang dapat melindungi sumber pangan dan pendapatan masyarakat. Upaya tersebut semakin aktif dilakukan setelah terbit Surat Keputusan Gubenur No.523/60/3/2018 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kaimana, seluas 508.324 Ha yang meliputi: Kawasan Konservasi Perairan Daerah Buruway, Arguni dan Teluk Etna.

Dalam praktiknya, KKP KKPD Kaimana akan menerapkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di dalam kawasan melalui kegiatan pengelolaan perikanan berbasis adat. Untuk melaksanakan pendekatan pengelolaan perikanan berkelanjutan dan KKPD, keduanya masih memiliki keterikatan yang kuat dan tidak bisa dilepaskan.

baca : Kaimana Deklarasikan Zonasi Laut untuk Konservasi  

 

Menteri Susi Pudjiastuti didampingi Bupati Fakfak Mohammad Uswasnas saat melihat tangkapan ikan dan kuliner di Pasar Ikan Waneri Tanjung Wagon, Fakfak, Papua Barat pada Jumat (23/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Dua Sisi

Nataniel menyebut, di satu sisi pengelolaan perikanan berkelanjutan yang baik diharapkan dapat meningkatan pendapatan masyarakat serta mendukung fungsi KKPD. Akan tetapi, di sisi lain, pengelolaan KKPD yang efektif diharapkan bisa menjamin ketersedian stok ikan bagi masyarakat serta meningkatkan fungsi lain dari KKPD peningkatan potensi pariwisata bahari.

Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw di kesempatan yang sama mengatakan, selain pengelolaan terpadu perikanan berkelanjutan, khususnya di Kabupaten Kaimana, Pemkab dan Pemprov juga ditantang untuk ikut terlibat dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Keterlibatan itu diperlukan, karena sudah ada pengalihan kewenangan pengelolaan perikanan dari Kabupaten ke Provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.23/2014.

“Maka diperlukan pembahasan gagasan pengelolaan terpadu dengan pemangku kepentingan utama tingkat Provinsi guna menghasilkan sinergi antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten,” jelas dia.

Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat Bastian Wanma, meminta kepada semua pelaku perikanan di Papua Barat untuk bisa meninggalkan praktik perikanan yang eksploitatif dan segera beralih ke praktik perikanan yang modern dan memikirkan keberlanjutan sumber daya yang ada.

“Serta memberi multiplier effect bagi sektor lain, terutama pariwisata di KKPD yang saat ini sedang diusahakan dan difasilitasi bersama. Saya harap model ini dapat menjadi sebuah kerjasama pembangunan yang bisa memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat,” tutur dia.

baca : Papua Barat Dijanjikan Bisa Ekspor Langsung Produk Perikanan, Kapan Itu?

 

Masyarakat Kampung Folley, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat mencari teripang menggunakan perahu tradisional pada masa buka sasi pada 22 April – 6 Mei 2018. Foto : Nugroho Arif Prabowo/TNC/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2016, Provinsi Papua Barat sudah memperlihatkan komitmennya untuk menjaga alam di wilayah perairan setelah provinsi tersebut menasbihkan dirinya sendiri sebagai provinsi konservasi pada 19 Oktober 2015. Untuk melakukan komitmen itu, Papua Barat menggandeng kelompok lokal independen yang fokus melaksanakan konservasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung (BLKB). Saat itu, ada 27 kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan konservasi.

Sekda Papua Barat Nathaniel D Mandacan mengatakan, kelompok lokal tersebut melaksanakan konservasi setelah mendapatkan hibah dari Inovation Small Grants Program (ISGP). Program tersbeut adalah hibah kecil dan menengah yang diberikan kepada kelompok-kelompok lokal pelaku konservasi di wilayah BLKB yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia.

“Kepemilikan lokal merupakan aspek penting bagi keberlanjutan jangka panjang dan keberhasilan pembangunan di Provinsi Papua Barat yang mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian sesuai visi Provinsi Konservasi,” jelas dia.

Dari 27 kelompok tersebut, sebanyak 15 kelompok atau hampir 60 persen merupakan komunitas akar rumput yang berasal dari masyarakat dan bukan merupakan lembaga berbadan hukum. Seluruh kelompok tersebut, melaksanakan inisiasi konservasi berfokus pada kesehatan lingkungan, pembangunan kapasitas lokal, penguatan produksi perikanan berkelanjutan, serta perlindungan habitat dan spesies.

baca : Bentang Laut Kepala Burung Dijaga 27 Kelompok Lokal Papua Barat  

 

Hutan mangrove di Teluk Etna, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat yang masih asri. Mangrove di Teluk Etna menjadi bagian dari mangrove Kaimana yang terluas di Indonesia. Foto : M Ambari

 

Kawasan Baru

Berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi laut (KKL) di Indonesia, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Agus Dermawan mendorong dibentuknya kawasan konservasi baru dengan luas yang besar dan signifikan. Jika itu dimungkinkan, dia berencana akan mendeklarasikan kawasan baru tersebut pada penyelenggaraan World Oceans Conference 2018 yang berlangsung di Bali.

“Bagaimana kawasan konservasi yang kita declare itu bisa dikelola dengan baik dan menghasilkan sesuatu untuk masyarakat. Tantangannya ke depan bagaimana membangun jejaring dalam skala besar,” tandas dia.

Agus menyebut, membuat KKL besar dan signifikan saat ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Hal itu, bisa dlihat dari keberhasilan pembentukan Taman Laut Sawu yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan konservasi yang ada dalam gugusan kepulauan wilayah Sunda Kecil itu luasnya mencapai 3,35 juta ha.

Sementara, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi, mengungkapkan, salah satu poin penting setelah kawasan konservasi laut terbentuk, adalah bagaimana menjaganya dengan baik. Untuk bisa melakukan itu, harus ada pengawalan yang ketat dari Pemerintah maupun masyarakat di sekitar kawasan.

“Contoh adalah alat tangkap ikan, itu harus yang ramah lingkungan. Jika dirasa memang belum ramah (lingkungan), maka harus dicari solusinya. Itu bisa dilakukan, asalkan ada komunikasi dengan nelayan dan masyarakat,” ucap dia.

Salah satu bukti keberhasilan menjaga kawasan konservasi laut, menurut Andi, bisa dilihat dari Taman Laut Sawu. Di sana, sebagian besar masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut, atau umumnya sekitar Sunda Kecil, sudah mengenal seperti apa itu konservasi.

Menurut Andi, karena ada pemahaman dari masyarakat, penerapan konservasi di sekitar tempat tinggal mereka juga menjadi lebih mudah dilaksanakan. Bahkan, kata dia, hampir 50 persen masyarakat di sekitar Sunda Kecil menyatakan setuju konservasi dilaksanakan di sekitar tempat tinggal mereka.

“Peran masyarakat adat sangat signifikan dalam melaksanakan konservasi di Sunda Kecil. Kita usulkan agar peran masyarakat adat bisa masuk dalam Undang-Undang, agar menjadi semakin jelas. Kita tidak bisa bergerak selama regulasinya masih abu-abu,” ujar dia.

“Ada 10 kabupaten di Sawu ini. Tahun ke tahun harus bisa lebih kongkrit lagi,” tambah dia.

 

Exit mobile version