Mongabay.co.id

Apa Kabar Hutan Adat Setelah 5 Tahun Putusan Mahkamah Konstitusi?

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif berusaha masuk. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

“Lima tahun usia putusan MK-35 hari ini. Pemerintah terkesan tidak serius dalam melaksanakan putusan meski jadi bagian dari janji Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla.” Begitu ungkapan Rukka Sombolinggi, Sekretariat Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang terkirim dalam beberapa grup percakapan elektronik di telepon seluler saya, 16 Mei 2018.

Ya, hari itu, tepat lima tahun sudah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan UU Kehutanan itu,  keluar. Keputusan penting bagi masyarakat adat ini menyatakan,  hutan adat bukan lagi hutan negara.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Harapan dan penyemangat baru bagi masyarakat adat di negeri ini muncul kala amar putusan itu dibacakan sang Ketua MK, Akil Mochtar, sore itu.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil,  yang kini mendekam dalam penjara seumur hidup karena terjerat korupsi kasus sengketa pemilu.

Selama lima tahun ini, ada kemajuan dalam pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat lewat peraturan daerah (perda) maupun putusan bupati atau walikota bahkan penetapan dari pemerintah pusat. Sudah ada penetapan hutan adat kepada belasan komunitas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun secara luasan masih sangat-sangat kecil.

Rukka bilang, sudah ada 17.092 hektar wilayah adat kembali dalam bentuk hutan adat. Dengan luasan tak seberapa ini, katanya, masyarakat adat harus yakin bakal terus bertambah.

“Keyakinan ini harus dijaga dengan bingkai kesabaran dan keteguhan. Termasuk teguh melawan jebakan pihak-pihak yang berusaha membelokkan makna hakiki putusan MK-35 dengan alasan apapun,” katanya.

Bahkan, keteguhan dari mereka yang membujuk masyarakat adat menerima skema hutan desa. “Ini sebuah kemunduran yang mereka bingkai cantik dengan istilah ‘terobosan.’

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun: Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Kepada Mongabay, Rukka mengatakan, hingga kini masyarakat adat terus berjuang dengan memasang plang atau penanda wilayah adat mereka. “Semangat ini jelas sangat terlihat, pengakuan itu memang sangat mendesak. “

Dengan putusan MK ini, katanya, seharusnya jadi momentum merehabilitasi wilayah adat yang selama ini banyak rusak investasi ekstraktif.

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, katanya, memberikan peluang kepada masyarakat adat melalui implementasi REDD+. Peta masyarakat adat pun digagas masuk dalam kebijakan satu peta. Tahun 2012, sebanyak 4,8 juta luasan hektar dan kini 9,3 juta hektar luasan peta partisipatif wilayah adat sudah diserahkan ke pemerintah.

Baca juga: Dua Tahun Usiamu, Putusan MK-35 Masih jadi Macan Ompong

Secara progresif, langkah ini pun dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. MK-35, katanya,  diterjemahkan dalam bagian Nawacita, bahkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN). Rancangan UU Masyarakat Adat, satu paket di sana.

Sayangnya, hingga kini, dari 9,3 juta hektar peta partisipatif masyarakat adat, hanya segelintir peroleh penetapan. Berdasarkan data KLHK per Maret 2018, luas hutan adat 24.378, 84 hektar.

”Dari situ kelihatan bahwa pemerintah tidak serius.”

Pada Februari 2018, pemerintah pun menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat. Rukka khawatir, dalam pembahasan ini banyak konsentrasi terpecah pada masing-masing daerah.

 

Aksi masyarakat adat Meratus, Kalimantan Selatan, sehari sebelum putusan sidang Trisno. Mereka mendesak pemerintah akui wilayah mereka dan bebaskan Trisno. Foto: AMAN

 

Dia melihat, ada sebuah tanda bahaya di mana KLHK menunggu pemerintah daerah yang menjalankan pengakuan hak adat.

”Padahal KLHK sebagai pusat, hutan masih sentralistik urusan kehutanan, padahal  bisa menggunakan itu, seperti memberikan izin kepada investasi. Kenapa ke perusahaan begitu cepat, mengembalikan hak masyarakat adat tidak bisa?”

Bukan itu saja, katanya, utang Indonesia belum tunai. Hingga kini, UU Masyarakat Adat masih terkatung-katung alias belum juga ada pengesahan.

Berdasarkan penelitian The International Land and Forest Tenure Facility,  jika mengandalkan pengakuan hutan adat, berdasarkan UU dan peraturan daerah maka perlu 16.667 tahun. Ini jika dihitung kecepatan pembuatan kebijakan perda dalam satu tahun terakhir.

Dengan begitu, untuk percepatan seharusnya konkret dengan UU Masyarakat Adat. ”Tidak ada yang lain selain UU Masyarakat Adat yang jelas sesuai dengan situasi dan aspirasi masyarakat adat,” katanya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani Ranik mengatakan, implementasi MK-35 memang masih minim di lapangan.

Menurut dia, niat baik Pemerintahan Jokowi dalam implementasi MK-35 ini sebenarnya bisa terlacak dengan melihat posisi partai pendukung pemerintah dalam RUU yang berkaitan dengan masyarakat adat. ”Percuma jika Presiden Jokowi bilang mendukung tapi partai-partai di pemerintah balik badan,” katanya.

Keluhan kelambatan menanti penetapan hutan adat juga datang dari daerah. “Kami takut jadi keraguan (pemerintah) kalau jadi hutan adat. Kalau tak ada penetapan kami tak bisa menerapkan aturan pengelolaan hutan secara adat dan diambil alih oleh negara nantinya,” kata Syamsudin, Ketua Adat Biang Sari Desa Pengasi Baru di Kecamatan Bukit Kerman, Kerinci, Jambi.

Berbicara Jambi, sebenarnya sejak 1990-an hak kelola masyarakat melalui pengakuan hutan adat sudah ada.  Meskipun kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diatur sampai akhirnya keluar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan istilah hutan adat.

Rudi Syaf Direktur KKI Warsi mengatakan, sejak 1993, Warsi sudah memfasilitasi masyarakat yang turun-temurun menjaga hutan, ada menyebut hutan adat, rimbo pusako, rimbo parbukalo.

“Karena perangkat hukum nasional belum ada, kita hanya mendorong bupati membuat SK-SK Bupati untuk hutan adat,” katanya.

Meskipun dalam UU Kehutanan 1999, sudah menyebutkan pasal terkait hutan adat namun dalam praktik tak ada peraturan di bawah UU yang mengatur soal itu sampai muncul keputusan MK-35.

Setelah MK-35 pun, katanya, tak semua hutan adat yang punya surat keputusan kepala daerah otomatis mendapatkan legalisasi. “Terjadi kekosongan proses itu.”

Berdasarkan data Warsi, di Jambi,  ada 37 SK Bupati ataupun peraturan daerah terkait hutan adat seluas 9.406,69 hektar pada empat kabupaten, yakni, Bungo, Kerinci, Merangin dan Sarolangun.

Berbanding terbalik dengan data Dinas Kehutanan Jambi, hingga kini hanya terdata 13 hutan adat dengan luasan 3.064,5 hektar yang sudah mendapatkan legalisasi KLHK.  “Ini berarti hanya sepertiga yang sudah mendapatkan legalitas dari KLHK,” kata Rudi.

Kelambatan pengakuan hutan adat di daerah, katanya, karena pembuatan suatu perda seringkali mendapat berbagai tantangan, antara lain, konstelasi politik lokal terutama pandangan parpol terkait identitas masyarakat adat. Juga eksekutif dan legislatif kurang paham soal masyarakat adat serta persoalan anggaran.

“Bikin perda di DPR itu kalau tak ada anggaran sulit. DPR butuh anggaran untuk tahapan naskah akademik, konsultasi publik, ranperda, ini butuh anggaran dan tenaga ahli. Pengalaman kami di Perda Masyarakat Adat Serampas perlu waktu satu tahun hingga rampung,” katanya.

Selain itu,  syarat juga berat, seperti harus ada perda masyarakat hukum adat, batas-batas wilayah adat hanya berdasarkan seloko adat dan diketahui oleh orang tua-tua yang masih hidup. “Ini menyulitkan jika diubah dalam bentuk peta wilayah adat.”

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Senada dikatakan Riko Kurniawan, Direktur Walestra. Dia bilang, kendala perda masyarakat hukum adat juga menyulitkan delapan hutan adat yang kini mereka ajukan di Kerinci.

“Enam lokasi berada di alokasi penggunaan lain masih masalah regulasi yang merupakan wewenang daerah. Ini juga menghadapi kendala minimnya pemahaman KPH (kesatuan pengelolaan hutan-red) terkait mekanisme hutan adat,” katanya.

Menurut Rudi, pemerintah terlalu berhati-hati dalam melegalisasi hutan adat, dibandingkan skema perhutanan sosial lain seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan maupun hutan tanaman rakyat.

Data Dinas Kehutanan Jambi, luasan hutan desa di Jambi, 83.599 hektar tersebar di 38 lokasi, HTR 7.469,54 hektar pada 57 kelompok tani hutan.

Di Jambi, Kabupaten Kerinci, pertama kali memberikan pengakuan terhadap hutan adat Temedak Keluru pada 1993. Sebelum  ada keputusan MK-35, perda pengakuan masyarakat hukum adat Datuk Singaro Putih di Bungo, sudah ada sejak 2006.

Walaupun begitu, legalisasi dari KLHK baru ada di hutan adat Dusun Batu Kerbau dan Dusun Baru Pelepat pada 2017. Belum lagi, mengenai informasi hutan adat ini juga belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat.

Suara juga datang dari Papua. Di Papua, ada sekitar 257 suku. Sejak 2001, berlaku otonomi khusus (otsus) di Papua melalui UU 21/2001. UU Otsus ini,  memuat pasal-pasal yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.

Yunus Yumte dari Samdhana Institute menyatakan, kehadiran putusan MK-35 memperkuat UU Otsus Papua.

“Sebelum putusan MK-35, Otsus sebenarnya sudah terlebih dahulu bicara tentang subyek dan obyek hak orang asli Papua, bahkan sudah ada perdasus-perdasus,” katanya.

Perdasus yang relevan, misal Nomor 22/2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat di Papua.

Semestinya, kata Yunus, meskipun di nasional belum ada perpu atau perpres sebagai turunan MK-35, untuk Papua harusnya tak ada halangan. “Papua sudah ada perdasus.”

Selain Perdasus 22/2008, juga Perdasus 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat  dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Lagi-lagi, meskipun sudah ada beragam aturan itu, kerja-kerja penetapan wilayah adat di Papua,  sangatlah lambat.

“Itu diukur dari wilayah adat yang sudah mendapat pengakuan dari  pemerintah daerah. Pasca MK-35 belum ada hutan adat di Papua maupun Papua Barat ditetapkan oleh Menteri Kehutanan,” katanya.

Persoalan lain di Papua, katanya, kesulitan kabupaten dan kota membuat perda-perda masyarakat adat. Penyebabnya,  antara lain, pembicaraan mengenai langkah strategis mempercepat penetapan hukum, subjek-subjek hukum masyarakat adat–hingga melekat seperti dimaksud dalam Otsus maupun MK-35—belum tuntas.

Selain itu,  peta wilayah adat sebagai syarat teknis juga masih terkendala. Pemetaan wilayah adat, katanya,  belum masif di seluruh Papua. Baru beberapa lembaga, katanya,  rutin tiap tahun melaksanakan pemetaan wilayah adat.

Hasil evaluasi beberapa lembaga soal pemetaan wilayah adat, katanya, perlu penyelesaian masalah teknis dan sosial,  antara lain, pertama, kesepakatan antara komunitas adat sendiri. Kedua, ada kesadaran masyarakat adat terutama di tingkat pimpinan terkait pilihan hukum untuk penetapan subyek  dan obyek hak.  Ketiga, membangun jejaring strategis dengan pemerintah.

“Itu tiga tantangan besar yang harus dijembatani, tapi bukan tidak mungkin berjalan. Perlu kerja bersama untuk membangun tiga hal ini.”

Sebelumnya,  pada 24 April 2018, Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua menyampaikan kritik atas program bagi-bagi sertifikat oleh Jokowi sebagai bagian dari program reforma agraria.

Kritik ini disampaikan sebagai respon atas pembagian 3.331 sertfikat tanah bagi masyarakat di 10 kabupaten di Papua. Sertifikat-sertifikat ini secara simbolis dibagikan Jokowi saat berkunjung ke Papua,  13 April 2018.

SOS untuk Tanah Papua dalam pernyataan sikap menyebutkan, kebijakan dan program reforma agraria di Tanah Papua tanpa konsultasi luas,  terutama dengan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat.

Penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk mengabaikan konflik agraria yang belum terselesaikan.

“Kami menemukan Tora yang tergambarkan dalam peta indikatif untuk program redistribusi aset berada dalam wilayah adat dan kawasan hutan yang masih tanah adat, dikuasai, dimilik dan dikelola masyarakat adat,” kata Wirya dari Jerat Papua, salah satu lembaga yang masuk SOS untuk Tanah Papua.

Selain itu, tanah-tanah yang didaftarkan dan dilegalisasikan melalui BPN di daerah, terindikasi memiliki konflik-konflik penguasaan dan pemilikan, terutama obyek tanah di program nasional transmigrasi dan sawah baru.

Program reforma agraria di Tanah Papua,  melalui legalisasi dan redistribusi aset, katanya,  juga dinilai berpotensi menghapus sistem penguasaan dan pemilikan tanah komunal berubah jadi tanah pribadi (individu) bahkan badan usaha tertentu.

Privatisasi pemilikan hak tanah melalui kebijakan dan komersialisasi, katanya,  akan mengancam hilangnya keberadaan dan hak masyarakat adat Papua. Juga, memiskinkan dan menghilangkan sistem sosial ekonomi masyarakat adat Papua yang masih tergantung pada tanah dan kekayaan alam.

 

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Masih gamang?

Martua Sirait, dari Samdhana Institute mengatakan, pada 2013 pemerintah terlihat masih gamang atas putusan MK-35.

Hal ini terlihat,  baru satu tahun setelah putusan, tepatnya Juni 2014, Kementerian Dalam Negeri atas supervisi Nota Kesepahaman Bersama 12 kementerian dan lembaga atas supervisi KPK, dan rekomendasi Inkuiri Nasional Komnas HAM menerbitkan Permendagri no 52/2014. Ia mengatur soal pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, sebagai pedoman pemerintah daerah dalam menerbitkan peraturan, dengan lampiran sangat jelas.

Gayung bersambut, pada 2015, KLHK menerbitkan PemenLHK No 32/2015 tentang Hutan Hak. “Secara eksplisit mengklasifikasikan hutan adat sebagai hutan hak, yang akhirnya jadi pedoman bagi KLHK dalam proses pengakuan hutan adat,” katanya.

Kebijakan pun terus disempurnakan, seperti pedoman jelas bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengajukan aplikasi pengakuan hutan adat dan masuk dalam program perhutanan sosial.

Terbit beberapa kebijakan lain, seperti Perpres 88/2017, Permenko Ekonomi No. 3/2018 mengenai pedoman pelaksanaan tugas tim inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah di kawasan hutan  dan SK Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Juga Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 184/2018 tentang penunjukan gugus tugas multipihak penyelesaian permasalahan lahan, perambahan dan usulan wilayah adat di kawasan konservasi.

Semua itu, katanya, berkaitan dengan pemenuhan hak hak masyarakat adat di kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi.

“Ini sangat penting dalam mendapatkan kesamaan pandang lintas kementerian soal pemenuhan hak hak konstitusional masyarakat adat,” katanya.

Meskipun sudah ada beragam aturan, katanya, penting ada UU Masyarakat Adat ahar lebih jelas menjabarkan hak-hak mereka.

Dengan UU, katanya, bisa lebih jelas bahwa langkah pengakuan hak-hak masyarakat adat bukan hanya KLHK tetapi harus diikuti kementerian lain, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan lain-lain.

“Karena itu, harus jadi UU yang lebih jelas menjabarkan hak hak masyarakat adat dan bagaimana negara menghormati, mengakui, melindungi, memenuhi dan memajukan. Di sinilah pentingnya UU yang baru dikirimkan suratnya oleh Presiden kepada DPR untuk pembahasan.”

 

Foto utama: Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif berusaha masuk. Dengan begitu, pengakuan dan penetapan wilayah adat dari pemerintah sangat penting, demi memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat adat ini.  Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version