Mongabay.co.id

Panas Bumi Andalan Capaian Energi Terbarukan, Bagaimana Kontrak Baru?

Pipa-pipa sumur uap yang memproses panas bumi jadi energi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) jadi andalan pencapaian bidang energi terbarukan dan konservasi energi pada tiga bulan pertama 2018. Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mencatat, kapasitas terpasang PLTP hingga kini mencapai 1.924,5 Megawatt dari target 2.058,5 Megawatt akhir tahun ini.

Rida Mulyana, Dirjen EBTKE mengatakan,  capaian ini membuat Indonesia menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat dalam pemanfaatan panas bumi sebagai tenaga listrik, menggeser Filipina.

“Kita patut bangga karena dengan capaian itu melebihi Filipina sebesar 1.870 Megawatt,” katanya kepada wartawan baru-baru ini di Jakarta.

Hingga akhir 2017,  kapasitas terpasang tercatat 1808,5 Megawatt. Penambahan kapasitas terpasang tahun 2018 berasal dari pengoperasian PLTP Karaha Unit I (30 Megawatt) dan PLTP Sarulla III sebesar 110 Megawatt. Unit tambahan PLTP Sarulla COD pada 2 April 2018 sebesar 86 Megawatt.

Lalu menyusul semester kedua 2018, PLTP Sorik Marapi Modullar I, 20 Megawatt pada Agustus 2018, unit II, 30 Megawatt pada Desember 2018, PLTP Balai Unit I, 55 Megawatt dan PLTP Sokoria Unit I, V Megawatt pada Desember 2018.

Saat ini,  Indonesia punya cadangan panas bumi 17.506 Megawatt dan sumber daya 11.073 Megawatt. Potensi ini tersebar di 331 titik dari Sabang sampai Merauke. Pemanfaatan baru 11,03% ini, katanya, jadi peluang besar bagi investor untuk mengembangkan panas bumi sekaligus memenuhi kebutuhan energi nasional.

Indonesia, ucap Rida, diproyeksi jadi penghasil listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia pada 2023 mengalahkan Amerika Serikat, yang saat ini kapasitas listrik PLTP mencapai 3.729,5 Megawatt.

Untuk itu, pemerintah menerbitkan regulasi khusus mengenai panas bumi dalam UU No 21/2014 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah No 7/2017 tentang panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung serta peraturan teknis lain.

“Dua regulasi ini mengubah mindset lama bahwa pengembangan panas bumi bisa dilakukan di kawasan hutan konservasi karena tak lagi dikategorikan sebagai usaha pertambangan,” kata Rida.

Dari segi penerimaan negara, panas bumi memberi kontribusi Rp220,07 miliar atau 31,4% dari target APBN 2018 sebesar Rp700 miliar hingga akhir tahun. Komposisi pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) ini berasal dari wilayah kerja panas bumi (WKP) eksisting Rp909 miliar dan WKP pemegang izin panas bumi Rp24 miliar.

 

Operasional Intake PLTA Singkarak di nagari Guguk Malalo, Tanah Datar. Foto : Riko Coubut

 

Target PNBP panas bumi tahun ini turun dari 2017, Rp933 miliar. Menurut Rida, karena pemerintah melihat rencana mengeboran dan belanja operasional berpengaruh pada PNBP.

“Makin aktif WKP eksisting membor di sana-sini makan akan makin sedikit PNBP diperoleh. Jika tidak pengeboran, konsekuensi produksi turun,” katanya seraya menambahkan, setiap WKP wajib aktif di wilayah mereka.

Bagi pemerintah daerah, bonus produksi panas bumi akumulasi sejak tahun 2014-2017 mencapai Rp195,6 miliar, merupakan bonus wajib disetorkan pengembang kepada kota atau kabupaten wilayah kerja.

Kabupaten Bandung, misal,  jadi penerima bonus panas bumi terbesar Rp64,6 miliar.

Saat ini,  ada tiga penawaran WKP yakni Danau Ranau, Oka Ille Ange dan Gunung Sirung. Ketiganya,  dalam evaluasi perbaikan proposal.

Selain itu,  ada sembilan wilayah penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (WPSPE) yakni di Graho Nyabu, Tanjung Sakti, Sekincau, Gunung Hamiding, Simbolon Samosir, Geureudong, Hu’u Daha, Pentadio dan Cubadak

 

Energi terbarukan lain

Untuk pembangkit listrik tenaga surya dan mikro hidro (PLTS dan PLTMH), ESDM mencatat kapasitas terpasang 307,3 Megawatt dari target 515 Megawatt. PLT Bioenergi mencapai 1.881 Megawatt.

Bahan bakar nabati (BBN) triwulan ini baru 0,90 juta kilo liter (KL) dari target 3,92 juta KL. Persentase pemanfaatan BBN dalam BBM PSO (subsidi) yakni 94% sedangkan BBM non PSO 73%. BBM PSO digunakan pada sektor usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum. BBM non PSO untuk transportasi, industri, dan komersial serta pembangkit listrik.

 

Grafis: Target energi baru dan terbarukan. Sumber: Dewan Energi Nasional

 

Sampai April 2018, realisasi investasi aneka energi terbarukan capai Rp120,5 miliar dengan kapasitas 10,3 Megawatt. Rencananya,  hingga akhir tahun dibangun pembangkit kapasitas 360,85 Megawatt dengan investasi US$0,718 miliar berasal dari Independent Power Producer (IPP) dan dana alokasi khusus (DAK).

Khusus PLTS akan dibangun 48 megawatt dengan investasi Rp936,73 miliar tersebar di Gorontalo, Lombok, Minahasa, NTT, Rope Ende.

Tenaga angin (PLTB) yang telah dibangun di Sidrap, Sulawesi Selatan akan ditambah dengan PLTB Jeneponto 60 Megawatt total investasi Rp4,3 triliun. Juga ada 27 PLTM juga akan dibangun dengan investasi Rp3,9 triliun.

Dengan capaian ini, pemerintah mencatat penurunan emisi karbon hingga 40 juta ton melebihi target tahun ini 35,6 juta ton.

“Penurunan emisi CO2 selain memenuhi Perjanjian Paris juga menunjukkan kita peduli lingkungan. Capaian triwulan I ini baru dari sektor energi, belum termasuk transportasi,” ucap Rida.

 

Kontrak baru

Investasi energi terbarukan hingga bulan ketiga tahun ini mencapai US$0,29 miliar, masih jauh dari target US$2 miliar.

Hal yang belum pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya, selama 2017 ditandatangani 70 kontrak energi terbarukan dengan kapasitas 1.214,16 Megawatt.

Rinciannya, energi air 754 Megawatt (62%), biogas 9,8 Megawatt (1%), biomassa 32,5 Megawatt (3%), surya 45 Megawatt (4%), panas bumi 86 Megawatt (7%) dan minihidro 286,8 Megawatt (23%).

Dari semua kontrak baru, tiga telah commercial operation date (COD), dan 17 kontrak tahap konstruksi. Ada 37 kontrak 414,6 Megawatt tahap persiapan financial closing. Pemerintah, kata Rida, berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersedia berdiskusi bersama IPP yang belum bisa financial close hingga kini.

 

Foto utama: Pipa-pipa sumur uap yang memproses panas bumi jadi energi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Turbin PLTB Sidrap pada pagi hari, nampak dari atas. Foto: Zainal/ Mongabay Indonesia

 

Prinsip kehati-hatian

Meskipun panas bumi akan terus menjadi andalan transisi ke energi berkelanjutan,  Achmed Shahram Edianto, Koordinator Ring of Fire Climate and Energy Team WWF Indonesia mengingatkan,  pemerintah terutama PLN harus tetap memperhatikan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pengembangan panas bumi.

Ia bisa dilakukan dengan meminimalisir atau menghindari dampak negatif terhadap lingkungan dan perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi, menjaga dan membangun nilai kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitar area panas bumi. Juga meningkatkan keberlanjutan produksi panas bumi dan peran industri panas bumi dalam upaya konservasi.

Catatan WWF Indonesia, dari KESDM 2015,  ada 58 titik potensi panas bumi dengan 8.998 Megawatt (18,59%) di hutan konservasi, 85 titik 10.624 Megawatt (30,45%) hutan lindung, 76 titik 4.196 Megawatt (24,36%) di hutan produksi dan 83 titik 5.090 megawatt di alokasi penggunaan lain (26,6%).

Dari studi WWF dan Antropologi UI di beberapa daerah pengembangan panas bumi antara lain, Rajabasa, Dieng, Lahendong, Aceh dan Bedugul, terdapat sejumlah persepsi dan dampak baik positif maupun negatif terhadap industri ini.

Satu sisi, masyarakat merasakan dampak positif jika perusahaan membebaskan lahan sesuai ekspektasi pemilik lahan, dan melibatkan tenaga kerja lokal. Ia membuat masyarakat tergerak meningkatkan kapasitas diri untuk pemanfaatan langsung panas bumi dan pengembangan paket wisata geothermal.

Tanggung jawab perusahaan,  juga dapat respon baik dari masyarakat, dan pegawai lokal sukarela menjaga rig yang belum beroperasi. Praktis ini juga membuka isolasi suatu wilayah.

Sisi lain, ada juga perusahaan dianggap tak sosialisasi risiko dengan layak. Komunikasi perusahaan dan pemerintah daerah serta masyarakat tak lancar hingga representasi pengembang tak disukai masyarakat.

Seringkali pengalaman mistis jadi justifikasi penolakan dan perusahaan menjalin hubungan asimetris dengan organisasi masyarakat. Ada juga kejadian, program penghijauan perusahaan bertabrakan dengan kepentingan petani sayur lokal.

Selain itu, kepercayaan masyarakat mengurangi kewaspadaan akan bahaya yang dapat terjadi, pendapatan masyarakat lokal tak sepenuhnya terwakili. Ada juga kekhawatiran terhadap keamanan peralatan proyek, pengembang jadi kambing hitam berujung konflik, tentu saja kerusakan lingkungan karena lingkungan terdegradasi.

 

 

Exit mobile version