Mongabay.co.id

Riset Ini Sebutkan Target Energi Terbarukan 23% Bakal Meleset, Mengapa?

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Akhir Maret lalu,  International Institute for Sustainable Development (IISD) bersama Global Subsidies Initiatives (GSI) meluncurkan riset berjudul Missing the 2# percent target: Roadblocks to the Development of Renewable Energy in Indonesia.

Temuannya, hampir semua responden percaya target 23% bauran energi pada 2025,  tak akan tercapai. Dengan begitu, ia jadi alarm, Indonesia perlu perubahan untuk penuhi target dan menjauhkan dominasi batubara dalam sistem energi.

Riset ini mencari tahu mengapa energi terbarukan khusus angin dan tenaga surya tak meningkat signifikan di Indonesia. Mereka mewawancarai politisi, pemerintah, perwakilan industri, pengembang, organisasi sipil, donor internasional, dan berbagai pemangku kebijakan dengan total 26 wawancara.

Dalam catatan laporan ini, meski pada 2007-2016,  kapasitas pembangkit tenaga air dan panas bumi naik 39% dan 67%, namun masih sedikit dibandingkan batubara.

Kala merujuk pasokan energi terbarukan untuk kelistrikan dan transportasi, terlihat persentase tertinggi energi terbarukan dicapai pada 2014 sebesar 7% dari bauran energi. Jika tak ada perubahan kebijakan besar mendukung energi terbarukan, maksimum angka ini hanya akan mencapai 12% pada 2025, jauh dari target 23%.

Mengapa ini bisa terjadi? Pertama, harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan sangat rendah, hingga investor sulit balik modal dan mendapat untung sesuai. Ini terutama sejak keluar Peraturan Menteri ESDM No 12, berganti Permen 50 tahun 2017, yang mematok harga 85% dari biaya pokok penyediaan (BPP).

Kedua, perubahan kebijakan, lambatnya regulasi dan implementasi setengah-setengah PLN yang membuat investor tak percaya diri dan bikin risiko makin besar.

Ketiga, pengembang energi terbarukan juga khawatir bahwa sistem harga baru tak membawa dampak pada lingkungan lebih baik, karena justru mendukung energi fosil.

Energi fosil tetap dapat subsidi dan dukungan pemerintah yang tak langsung mempengaruhi biaya pembangkit listrik rata-rata. Harga BPP energi terbarukan juga terpengaruh dengan ini.

“Energi terbarukan yang tak disubsidi bersaing dengan pembangkit batubara yang disubsidi.”

Pelaku industri juga menilai kewenangan dan kekuatan PLN yang besar menghadirkan sejumlah konflik kepentingan. Peran PLN sebagai pemasok bahan bakar untuk pembangkit diesel, katanya, bisa bikin mereka kehilangan pendapatan jika pembangkit diesel ditiadakan. PLN mayoritas operasikan pembangkit ini.

 

Pembangkit mikro hidro di Pulakek Koto Baru. Foto: Elviza Diana

 

Halangan terakhir, sifat dukungan dan pengaruh  lintas pemangku kepentingan. Mereka paling pro energi terbarukan punya pengaruh sedikit dalam pembuatan kebijakan sektor energi. Sementara mereka yang punya pengaruh besar mendukung, tetapi tidak tegas.

Meskipun begitu, dalam laporan ini juga memuat sebuah catatan positif.  Penurunan harga global untuk energi terbarukan perlahan mengikis kesenjangan harga antara energi terbarukan dengan energi fosil. Namun, sebut laporan itu,  aturan harga dalam kesepakatan jual beli listrik, minimal 85% BPP, akan sulit dipenuhi. Meski demikian,  tetap ada proyek layak yang sedang dikembangkan.

Untuk itu, pemerintah perlu menjaga kestabilan kebijakan, menghapus regulasi menghambat proses perizinan dan kesepakatan bidang energi terbarukan.

Pemerintah, juga harus memastikan proyek elektrifikasi di luar jaringan menggunakan teknologi berbiaya rendah misal mencoba transisi dari diesel ke solar PV dan hidro.

Lalu, perlu evaluasi ulang apakah persyaratan perdagangan dan aturan mengenai konten lokal memberikan pengaruh pada harga. Seperti dalam riset ini, aturan 60% konten lokal dalam industri dinilai belum sepenuhnya bisa dipenuhi industri lokal dan sesuai keperluan pembangkit.

Selain itu,  pemerintah juga diminta aktif mendukung jika ada area yang mungkin untuk pengembangan energi terbarukan dengan harga di bawah BPP. Juga peningkatan area terbarukan dengan mengurangi subsidi untuk energi fosil termasuk batubara dan meningkatkan pemahaman soal eksternalitas dari batubara juga perlu jadi perhatian.

Terakhir, pelaku industri terbarukan juga bisa mencari dukungan teknis dan keuangan internasional,  misal,  melalui dukungan akses pendanaan Nationally Determined Contributions (NDC).

 

 

 

Exit mobile version