Mongabay.co.id

Surat Terbuka Koalisi kepada Presiden Ingatkan Beragam Masalah Sawit

Tandan Buah Segar sawit baru panen. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah Parlemen Eropa mengesahkan rancangan proposal energi antara lain berisi rencana penghapusan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan dasar bahan bakar berkelanjutan (biofuel) pada 2021, negara-negara produsen sawit beraksi. Tak terkecuali, Indonesia, sebagai produsen sawit nomor satu dunia. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Indonesia mengutus Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman, road show ke beberapa negara Eropa untuk melobi pembatalan rencana itu, bahkan, bertemu Paus Fransiskus. Langkah pemerintah ini oleh kalangan masyarakat sipil dinilai lebay alias terlalu reaktif, terlebih melihat fakta di lapangan begitu banyak masalah terjadi gara-gara kehadiran perkebunan sawit.

Baca juga: Kajian KPK Temukan Masalah Sawit dari Perizinan sampai Pungutan Pajak

Menyikapi ini koalisi masyarakat sipil di Indonesia, menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo dan Presiden Dewan Uni Eropa dan pemimpin Negara anggota Uni Eropa. Mereka menekankan, soal dampak usaha perkebunan sawit  seperti penyebab perusakan hutan, perampasan tanah, pelanggaran HAM, korupsi dan bencana lingkungan, itu nyata terjadi.

Surat terbuka ini ditandatangani 236 organisasi masyarakat sipil, antara lain dari pegiat lingkungan, petani,  akademisi, masyarakat adat dan lain-lain.

“Surat ini kami sampaikan kepada presiden Jokowi, Parlemen Eropa, Komisi Eropa dan perwakilan negara. Karena setelah parlemen memutuskan, itu akan ada dialog, keputusan itu harus diambil oleh perwaiklan negara dan Komisi Eropa. (Keputusan) ini diambil pada Juni,” kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional dalam diskusi di Jakarta, awal pekan ini.

Pada Juli itu, katanya,  ada putaran ke lima perundingan comprehensive economic partnership agreement (CEPA),  yakni, perundingan pasar bebas antara Indonesia dan Eropa.

Walhi, katanya,  sejak awal mengatakan sawit harus keluar dari perundingan perdagangan. “Sawit, bukan hanya urusan dagang doang. Ada banyak sekali konflik agraria, lingkungan hidup, deforetasi dan lain-lain. Itu tak akan selesai jika hanya dibicarakan dalam kacamata perdagangan,” katanya.

Selama ini,  pemerintah selalu mendorong sawit dalam konteks perdagangan dan perekonomian. Padahal,  berbagai persoalan jauh lebih besar dari itu, seperti soal penguasaan lahan. Perusahaan-perusahaan besar dapat tanah ratusan ribu hektar, sementara masyarakat,  misal di Polanto Jaya yang hanya memperjuangkan 42 hektar, harus dikriminalisasi.

Lalu, bingkai Eropa melakukan pelarangan terhadap sawit Indonesia itu sebenarnya salah. Yang dilakukan Eropa, katanya, kebijakan RED tak lagi memberikan subsidi untuk biofuel. Artinya,  Uni Eropa masih boleh memakai biofuel tetapi tak akan dihitung sebagai penggunaan energi terbarukan di Eropa.

Ekspor CPO Uni Eropa, 46% untuk biofuel, selebihnya pasar masih terbuka asalkan persoalan-persoalan seperti konflik agraria, deforestasi dan persoalan lain di dalam negeri itu selesai. Merujuk data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 700-an lebih konflik agraria terjadi sampai sekarang.

“Ini kan fokus ngomong mau perang dagang, tidak berkaca pada persoalan-persoalan di dalam negeri.”

Saat ini,  pemerintah berupaya menguatkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Dia mengingatkan, sekadar label berkelanjutan belum cukup mengingat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan standarisasi lebih tinggi saja, masih banyak masalah.

 

Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Soal penyelesaian ketimpangan penguasaan lahan, pemerintah sedang menjalankan program reforma agrarian dan masih banyak hambatan.

Pemerintah, katanya, juga berencana keluarkan moratorium sawit yang hingga kini tak ada kejelasan.

Dia bilang, pembenahan dalam negeri harus dilakukan. Kalau sudah lakukan pembenahan, katanya, internasional tak akan mencari kesalahan. “Karena memang permasalahan dalam negeri kita masih banyak dan perlu diselesaikan,” katanya.

Selain membuat surat tefbuka, koalisi masyarakat sipil juga akan terus membuka dialog dengan lembaga-lembaga lain dan akan disampaikan kepada Jokowi.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional mengatakan, Pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dan sangat reaktif. Pemerintah dituding mencoba mengaburkan masalah dan fakta-fakta dampak kehadiran sawit.

“Kita lihat, kepentingan korporasi jauh lebih mendominasi. Perdagangan jadi isu yang kemudian naik.”

Langkah reaktif pemerintah ini, katanya, dengan mengabaikan di lapangan, praktik-praktik perkebunan sawit menilmbulkan beragam masalah seperti pelanggaran HAM, perampasan tanah, deforestasi, pelanggaran terhadap masyarakat adat, dan lain-lain.

“Isu krusial terkait HAM, hak atas lingkungan sehat, justru tak nampak dalam persoalan ini.  Digiring persoalan hanya soal perdagangan,” katanya.

Alin, sapaan akrabnya mengatakan, respon pemerintah juga lebih sibuk menuding masyarakat sipil melakukan kampanye hitam.

Isu ini, katanya, tampak akan jadi ‘bahan’ negosiasi perdagangan dan tawar menawar Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa. “Ketimbang jadikan momentum bagi kita untuk mengelola sumber daya alam yang baik terutama sektor sawit yang nyata masih carut marut.”

Sri Palupi, peneliti The Institute for Ecosoc Rights mengatakan, surat terbuka ini penting merespon bagaimana cara Indonesia mengelola sumber alam. Mengingat setelah 20 tahun reformasi berjalan, tak ada perubahan bagaimana cara Pemerintah Indonesia mengelola sumber alam.

“Padahal, sudah sangat jelas mandat dari konstitusi dan TAP MPR , bahwa kita harus mengubah cara dalam mengelola sumber daya alam.”

 

Sumber: Kajian sawit KPK 2016

 

Saat ini, katanya, ketimpangan malah luar biasa. Ketimpangan yang terjadi dalam industri sawit, kata Sri, antara lain, pertama, ketimpangan penguasaan lahan.  Di Indonesia, katanya, hanya beberapa perusahaan bisa menguasai sampai jutaan hektar sedang petani makin hari makin banyak kehilangan lahan. Kedua, usaha konglomerasi makin lama justru makin mendapatkan prioritas.

“Makin ke sini justru bukan rakyat yang mendapatkan subsidi. Justru rakyat yang memberikan subsidi kepada usaha-usaha konglomerasi, misal tampak dari kebijakan kemitraan plasma antara perusahaan dengan masyarakat lokal maupun transmigran.”

Ketika mengikuti program plasma, katanya, masyarakat harus menyerahkan lahan 10 hektar guna mendapatkan kebun plasma seluas satu hektar. Dengan mengikuti program plasma, perusahaan-perusahaan besar mendapatkan kemudahan dalam modal, termasuk kemudahan subsidi ketika terjadi kegagalan.

“Makin ke sini, risiko kegagalan, itu bukan ditanggung perusahaan, tetapi petani. Dari segi bagi hasil pun, lebih banyak menguntungkan perusahaan,” katanya.

Menurut Sri, desa-desa di sekitar perkebunan sawit,  80% kehilangan lahan dan berubah status jadi buruh. Terjadi proses pemiskinan luar biasa. Petani yang memiliki sawit atau kebun plasma kurang dari empat hektar, masuk kategori petani miskin.

“Riset kami menunjukkan petani kurang empat hektar, itu mendapatkan bantuan raskin dan bantuan langsung pemerintah. Berstatus miskin.”

Industri sawit, katanya, merusak sistem sosial di pedesaan. “Bagaimana masyarakat perkebunan sawit sangat bergantung utang. Mau berapa pun lahan, tak ada satu keluarga terbebas utang.”

Selain itu, katanya, ekspansi masif perkebunan sawit juga jadi ancaman krisis pangan. Banyak daerah tadinya lumbung padi, berubah sawit. Banyak petani terpaksa beralih dari pangan ke sektor sawit karena daerah sekitar mereka dulu sawah tak bisa berproduksi lagi karena ada kebun sawit.

“Sawit itu kan rakus air. Karena debit air disedot habis oleh sawit, irigasi-irigasi yang begitu bagus tak berfungsi lagi. Mereka terpaksa jual lahan kepada perusahaan atau terpaksa menanam sawit karena tanah tak bisa jadi sawah lagi.”

Tak hanya itu, petani sekitar sawit yang tadinya bebas hama, sekarang hancur-hancuran. Dulu,  katanya, tak ada wereng atau belalang, sekarang mulai merebak. “Pemerintah mengabaikan apa yang terjadi di lapangan.”

Menurut Sri, banyak permasalahan industri sawit. Dari segi perizinan saja, di Kalimantan Tengah, dari 300 lebih perkebunan sawit,  yang clear and clean hanya 85 kebun. Kondisi ini, katanya, mengindikasikan banyak terjadi kerugian negara.

 

 

Begitu juga sektor pajak. Data KPK, katanya,  menunjukkan yang rajin bayar pajak adalah petani-petani kecil. Sedang perusahaan besar, banyak menghindari pajak dan menyimpan hasil sawit di negara-negara bebas pajak.

“Artinya,  lagi-lagi,  negara dirugikan ketidaktransparan. Industri sawit juga sarat praktik korupsi, kita tahu kasus Akil Mochtar, misal. Kita tahu, industri sawit ini adalah transformasi dari perusahaan-perusahaan HPH yang sebelumnya menghabisi hutan.”

Dia menilai, manuver pemerintah dengan berbagai lobi tak lain hanya menutupi seluruh persoalan industri sawit, bukan memperbaiki.

Tak jauh beda dikatakan Dinda Yura, Koordinator Program Nasional Solidaritas Perempuan. Dia  mengatakan, bisnis sawit banyak melanggar HAM dan menambah beban perempuan.

“Kalau berbicara betapa ekspansif bisnis sawit, itu jadi akar penyebab konflik agraria,” katanya.

Konflik agrarian, sering beriringan dengan pendekatan intimidatif, kekerasan dan militerisme. Berbagai jerat hukum dipakai untuk mengkriminalkan pejuang agraria.

Bisnis sawit, katanya, juga merusak tatanan sosial dan nilai-nilai di masyarakat. “Sangat berpengaruh kepada perempuan. Karena perempuan dan sumber daya alam memiliki keterkaitan sangat erat.”   Belum lagi soal kerusakan lingkungan, selain menghancurkan keragaman hayati juga merusak tanah.

Ada banyak pengalaman Solidaritas Perempuan bekerjasama dengan beberapa perempuan di wilayah sekitar perkebunan sawit. “Air yang biasa dikonsumsi, ketika ada sawit, berubah jadi asam dan kualitas buruk. Berpengaruh terhadap kesehatan,” katanya.

Dalam konteks kerusakan lingkungan, sangat ironis. Eropa ekspor sawit untuk biofuel dengan alasan menjaga lingkungan. Padahal,  di Indonesia, sawit itu jadi penyebab deforestasi.

Dinda menambahkan, wujud pelanggaran HAM tidak hanya dalam perampasan tanah dan konflik agrarian. Bisa juga, katanya, dilihat dari sektor buruh perkebunan sawit. Mayoritas buruh sawit, katanya, harian lepas. Bahkan,  ada banyak perempuan hanya dianggap membantu suami, tak dinilai sebagai buruh.

“Tidak mendapatkan upah. Ketika bicara soal jaminan kesejahteraan dan kesehatan, tak ada. Apalagi kalau bicara perempuan, tak ada cuti untuk haid. Bahkan di beberapa perusahaan perkebunan sawit, mereka dilarang hamil.”

Belum lagi bicara soal kesehatan. Betapa banyak perempuan bekerja di pemupukan dan banyak bersentuhan dengan pestisida. Kontak dengan pestisida berjam-jam itu, katanya,  sangat berpengaruh terhadap kesehatan. “Terutama kesehatan reproduksi perempuan. Ketika dia menyebarkan pupuk ratusan kilogram per hari, itu tak diikuti sarung tangun, masker dan alat-alat pengaman lain. Jadi itu situasi nyata dialami perempuan.”

April Parlindungan, dari Yayasan Pusaka mengatakan, pemerintah dan pengusaha hanya menyuarakan sawit sebagai penyumbang duit. Di lapangan, katanya, masyarakat merasakan sebaliknya.

Kini, pemerintah gencar mempromosikan reforma agraria dan perhutanan social, untuk mengurai ketimpangan lahan termasuk dampak penguasaan bisnis sawit.

“Dengan mengkampanyekan seolah-olah sawit itu positif semua, lobi-lobi mereka ke Eropa termasuk vatikan, pemerintah justru melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan.”

 

Surat Terbuka Kepada Presiden dan Pemimpin Dewan Uni Eropa

 

Foto utama: Sawit, digadang-gadang jadi komoditas andalan dengan beragam masalah di lapangan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Kebun kelapa warga di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, mulai terserang hama kumbang, sejak kehadiran kebun sawit perusahaan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version