Mongabay.co.id

Agustus Ini, Nasib Teluk Benoa Diputuskan Pemerintah Pusat

Batas akhir izin lokasi yang dikantongi investor untuk mereklamasi Teluk Benoa, Bali, pada 25 Agustus 2018 ini. Warga kembali aksi, berbaris di jalan menegaskan tuntutannya selama lima tahun ini pada Sabtu (26/05/2018). Sementara pihak investor menyebut keputusan tergantung pemerintah pusat.

Warga yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) dan Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi melakukan parade budaya dengan membawa kain panjang (lelancingan) bertuliskan tolak reklamasi. Warga membawa bendera dan mengenakan baju kaos berisi penolakan dan nama daerah atau komunitas yang terlibat menyuarakan tuntutan ini.

Seperti aksi-aksi sebelumnya, longmarch dari timur Lapangan Puputan Renon melewati Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi dan dipusatkan di depan kantor Gubernur Bali. Di sinilah tiap perwakilan massa mendapat giliran orasi. Kali ini diisi oleh orator dari Sukawati, Ubud, Tabanan, Sumerta, Kesiman, dan Renon.

baca : Komnas HAM Rekomendasikan Rencana Reklamasi Teluk Benoa Dibatalkan

 

Orasi Mirah Wardani, orator perempuan dari Desa Kesiman, Denpasar dalam aksi ForBALI menolak reklamasti Teluk Benoa, Bali, pada Sabtu (26/05/2018). Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satunya dari Mirah Wardani, ibu dengan dua anak dari Kesiman. Ia menyebut tidak akan ikut terpecah dalam dukung mendukung perhelatan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), walau isu ini jadi bahan kampanye kedua pasang kandidat. “Gerakan ini dimulai hanya mulai puluhan dan turun naik. Tak masalah yang kita pentingkan spirit,” teriaknya lantang. Band rock The Bullhead menyemarakkan aksi dengan mengajak massa menyanyi lagu Darah Juang, hymne Bali Tolak Reklamasi, dan lainnya.

Koordinator ForBALI I Wayan Suardana atau akrab disapa Gendo dalam orasinya menjelaskan duduk perkara dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada 25 Agustus ini. Batas waktu izin lokasi untuk investor dan putusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Gendo menyebut 25 Agustus batas akhir berlaku izin lokasi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi dasar hukum PT Tirta Wahana Bahari Internasional (TWBI) melakukan rencana reklamasi. “Artinya izin tak bisa diperpanjang karena sudah pernah diperpanjang sekali dan berlaku 2 tahun setelah perpanjangan otomatis karena KKP tak merespon suratnya,” urainya.

baca : Kala Bendesa Adat Bali Ngadu ke DPR Soal Reklamasi Teluk Benoa

 

Sumber: presentasi perusahaan

 

Dengan izin lokasi, investor bisa buat AMDAL dan diajukan ke KLHK. “Jika AMDAL lolos baru bisa dapat izin pelaksanaan, baru ngurug. Jika izin lokasi dan Amdal tak lolos proyek ini gagal. Bisakah bikin izin baru? Bisa karena Perpres masih berlaku,” papar Gendo. Ia berharap gerakan ini terus dilakukan karena warga yang aksi, diskusi, menggelar konser mini, mendirikan baliho, mengibarkan bendera, sampai ke istana presiden inilah yang berhasil memperjuangkan suaranya.

Menghindari klaim peserta Pilkada, ia juga menjelaskan ke massa, kemungkinan Agustus nanti sudah ada Gubernur terpilih di Bali. Jika pada 25 Agustus 2018 rencana reklamasi Teluk Benoa batal, maka itu menurutnya bukan karena Gubernur Bali yang terpilih tapi karena gerakan rakyat Bali yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.

Untuk pemerintah daerah, Gendo berharap ada sikap politik, misalnya DPRD Bali sidang paripurna dan bersama rakyat menolak reklamasi lalu surat penolakan dikirim. “Kita tak memaksa tapi jika semua calon gubernur menolak, mestinya parpol dan pejabatnya ikut tolak reklamasi,” ujarnya.

baca : Ketika Tolak Reklamasi Teluk Benoa Jadi Komoditas Pilkada Bali

AMDAL dibuat saat perencanaan suatu proyek diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Pelaksanaan AMDAL terhadap sesuatu rencana usaha atau kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui dampak besar dan penting, dan menetapkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), serta Analisis dampak lingkungannya (Andal).

 

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Mantan Direktur Utama PT. TWBI Hendi Lukman yang mengaku masih di perusahaan ini dikonfirmasi Mongabay Indonesia menyatakan izin lokasi akan berakhir 25 Agustus 2018. “Tindak lanjutnya tergantung AMDAL,” ujarnya. Izin Lokasi Reklamasi saat ini dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pihaknya sekarang sedang ajukan Izin Lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Tergantung pemerintah pusat terkait kelanjutan dari proyek,” sebutnya. Ia menjelaskan masih menunggu proses yang sedang berjalan namun masih memiliki keyakinan. “Ke depan kita cukup yakin, terlebih dengan berjalannya kegiatan perluasan Pelabuhan Benoa, perluasan Bandara Ngurah Rai dan Rencana Bandara Udara di Bali Utara. Semua hampir sama mereklamasi laut/perairan,” sebutnya dalam wawancara tertulis.

Hendi mengatakan rencana reklamasi Teluk Benoa sudah ada sejak tahun 1990. “Kami hanya salah satu dari puluhan perusahaan yang meminati peluang tersebut. Dan dengan banyaknya infrastruktur yang sedang dibangun pemerintah sekarang justru akan makin meningkatkan minat investasi ke depan,” paparnya.

Ketika ditanya soal dokumen AMDAL yang diajukan, ia menjawab dokumen sudah diserahkan kembali ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Mungkin bisa diakses via perwakilan/balai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Denpasar,” sebut Hendi.

Apa dan berapa kerugian TWBI jika proyek ini tak berlanjut? “Sebatas biaya operasional yang sudah berjalan sampai saat ini saja, namun kerugian yang lebih besar adalah iklim Investasi yang menjadi semakin tidak pasti terkait perizinan yang memakan waktu panjang dan tidak pasti,” jawabnya.

 

Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa Bali pada Sabtu (13/01/2017). Foto : Riski Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Perpres SBY

Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres No.51/2014, revisi atas Perpres No.45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita. Menghapus pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 perpres 45/2011. Juga mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa “sebagian” pada kawasan konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut. Hal tersebut menyebabkan luas kawasan konservasi menjadi berkurang luasannya.

Selain menghapuskan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan, perpres 51/2014 mengubah kawasan perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga (pasal 63A ayat 2 Perpres 51/2014). Tidak hanya perairan pesisir Teluk Benoa, kawasan hutan yang yang saat ini masih ditetapkan sebagai kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai, selanjutnya disebut L3 akan didorong perubahannya berdasarkan peraturan undang-undang kehutanan untuk diubah menjadi zona P (penyangga), termasuk Pulau Pudut. SBY juga menghapus besaran luas taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam. Dalam aturan sebelumnya ditetapkan secara spesifik luas Taman Hutan Raya Ngurah Rai, yakni 1.375 hektar.

Berdasarkan arahan zonasi Perpres No.51/2014 pasal 101A huruf d angka 6 kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa. Selanjutnya pada pasal 101A huruf e angka 1 dijelaskan bahwa penyediaan ruang terbuka hijau paling kurang 40% dari total luasan pulau hasil reklamasi.

ForBALI beberapa kali bersurat sampai datang ke istana minta Presiden Joko Widodo mencabut Perpres ini. Selain polemik Perpres juga ada persoalan di penelitian atau kajian kelayakan rencana reklamasi ini, dan berakhir dengan putusan Universitas Udayana yang menyebut tak layak. Menganulir kajian awal LPPM Unud.

 

Exit mobile version